Ciuman Pertama Aruna

III-116. Meremas Baju



III-116. Meremas Baju

0Aruna sama dengan Hendra, menggunakan piama handuk berwarna putih. Saat Hendra meraih dirinya, dan detik berikutnya mendarat kan kecupan pada punggung leher: "sayang, ada tamu yang datang. Aku tinggal sebentar,"     
0

"Enggak!" tugas Aruna menangkap tangan Mahendra.     

Mata biru menarik bibirnya lurus, "huuh, ini hanya sebentar, tidak lebih dari, yaah.. mungkin 15 menit,"     

"enggak!" merebut tangan Mahendra, Aruna menariknya menjerat kuat lengan tersebut.     

"tidak keluar dari rumah induk," Mahendra mengelus tangan Aruna yang lingkar pada lengannya dan berupaya melepasnya perlahan.     

"Hendra.. Aku tunggu di lantai bawah, mereka sudah menunggu di ruang tamu," yang berdiri di pintu tersenyum berpamitan dengan intonasi lembut.     

"Hai.. aku tidak ke mana-mana.. Hanya beda lantai," Mahendra mendekap dari belakang. Tangan kanannya mengelus-elus perut Istrinya.     

"aku nggak mau ditinggal, Aku mau ikut," perempuan ini manja dengan alasan yang ia sembunyikan. Aruna yang dulu terlalu acuh terhadap keberadaan Hendra, suaminya. saat ini ia semakin menyadari posisinya sebagai istri, istri yang memiliki hak di atas semua hak terhadap suaminya selain Tuhan -tentu saja-. Dan kepemilikan tersebut kadang kala perlu di uji. Dia merasa harus begini, supaya orang lain tahu ada batasan berupa garis tegas. Sehingga dia yang menghasratkan tempatnya sadar keberadaannya tak seremeh bayangan ke-halu-an –Nana-. Intuisi Aruna menggiringnya menjadi lebih sensitif terhadap hal-hal yang dulu ia remehkan.     

Tidak ada yang mengerti apa yang sedang dipikirkan Mahendra, setelah terdiam cukup lama memperhatikan polah tingkah istrinya menjerat tangan. Mata biru terlihat kembali fokus, menatap Aruna di cermin, mereka beradu pandang di sana.     

"Apa yang terjadi," tanya Mahendra selepas mengendus pipi istrinya.     

"Maksudnya?" Aruna tidak paham.     

"Mengapa istriku sangat manja akhir-akhir ini?" lelaki bermata biru menegakkan punggung. Tertangkap mengelusi rambut pendek istrinya.     

"Tak semua tamu bisa di temui sembarangan, yang datang secara khusus menemuiku,"     

"Apa itu artinya aku tidak boleh ikut?"     

"Sayangnya iya," suara Mahendra tegas. Menutup segala kemungkinan untuk di lobi apa lagi di berkompromi kan dengan istrinya.     

Lelaki tersebut berjalan menuju pintu, sepertinya berencana berganti pakaian.     

_bantu mommy-mu menangis baby_ ada yang mengelus lembut perutnya, membuat permohonan.     

"Sayang," langkah Hendra terhenti, dia berbalik sesaat sebelum menggapai ruang baju, "minta asisten rumah datang, mungkin Susi atau yang lain," mata Mahendra tertangkap mengerjap, "jangan menyiksaku dengan air matamu,"     

Bibir Aruna terbuka sekian mili, bagaimana bisa niatnya terbaca cucu Wiryo. Wajah Aruna kembali tertangkap cermin, mulutnya mayun untuk sekian detik.     

***     

Barisan komputer menyala bersama para operatornya menghadirkan suasana hening. Mereka yang fokus pada alat elektronik yang mengusung kegunaan tak terukur tersebut sudah mirip robot-robot berbaterai, bedanya para operator itu bernafas.     

Vian menuruni tangga, ruang Pradita mirip cekungan mangku yang menurun ke bawah. Setiap orang yang masuk ruangan Pradita akan di suguhkan anak tangga sebanyak lima untuk mencapai dasarnya.     

Dan pada tiap anak tangga akan bersambung dengan jejeran kursi serta meja berisikan komputer. Semacam bioskop lengkap dengan LCD tanam yang membentang di hadapan kumpulan robot bernafas di balik monitor. Pradita biasanya berdiri, duduk dan mengamati kinerja tiap-tiap anak buahnya di depan LCD tanam tersebut.     

Sayang sekali Vian tidak menemukannya kali ini. Setelah sempat bertanya pada anak buah Pradita dengan memukul punggung mereka supaya menoleh, demi informasi keberadaan atasannya. Vian mendapat penjelasan bahwa Pradita tengah menuju rumah induk.     

Keinginan terpendam Vian terkait mencari keberadaan nomor polisi milik motor matic merah yang berkaitan dengan Thomas ter urungkan.     

"Dengan siapa atasanmu berangkat ke rumah induk?" tanya Vian berikutnya.     

"Saya kurang tahu," jawab lelaki yang kembali larut dalam komputernya.     

Vian segera memeriksa keberadaan Raka dan prediksi terburuknya terjadi menurut anak buah Raka, lelaki kekar itu mendapat panggilan resmi dari tuan muda Djoyodiningrat. Mengapa dirinya tidak? Ada apa ini? Mengapa dia di bedakan? Vian merenungi segala bentuk dugaan di kepalanya.     

***     

"Susi," Perempuan yang sejak kedatangan ajudan dengan rambut klimis terikat lurus menempel pada punggung leher berpadu dengan tubuh atletik tersebut tengah terdiam lama di atas kursi riasnya tiba-tiba menyuarakan nama. Nada bicaranya berbeda, begitu juga raut wajahnya. Dia yang tadi memasang wajah berduka dengan rengek kan manja ketika suaminya usai keluar dari ruang baju dan mengganti sandal kamar dengan alas kaki baru untuk menemui tamu.     

Saat ini tengah mengusung gerakan, berdiri mendekati Susi, sambil menghapus air mata di wajahnya yang menetes tidak seberapa tersebut. Wajah ranum manja Aruna menjadi kerutan membingungkan bagi Susi.     

Aruna memegang lengan Susi, tangan mungil halus nan lembut tersebut menyentuh lengan kekar perempuan yang pandai bergulat: "Apakah kamu tahu aku memintamu menjadi ajudan pribadiku," mata bekas kesenduan berubah menjadi sorotan yang perlahan menajam. Ekspresi yang tidak pernah Susi temukan sebelumnya dari nona muda keluarga Djoyodiningrat.     

Susi mengangguk, dia mencoba mencari pemahaman yang berasal dari perubahan raut wajah dadakan nonanya.     

Aruna pun mengangguk, "Jadi sekarang siapa yang lebih penting dari semua tuanmu?" Mata Aruna menatapnya, "Apakah ak-," belum usai Aruna bertanya Susi sudah menjawab: "Anda,"     

"Tentu saja Anda," mengulangi dua kali.     

"Oke," Aruna tertangkap menghirup nafas dalam, "Andai aku memintamu mencurigai seseorang. Apakah kamu mau mengikuti semua permintaanku. Seperti Herry pada suamiku,"     

"tentu, saya hidup dan di gaji untuk itu," balas Susi mantap.     

Aruna tertangkap menerawang ke bawah, sesaat kemudian dia mundur duduk di tepian ranjangnya.     

"Lebih mudah lagi karena Anda orang yang baik, aku akan mengabdi seperti aku mengabdi pada oma Sukma dan nona Gayatri," perempuan yang menurut taksiran Aruna berusia sekitar 37 tahun tersebut berjalan mendekati nona muda yang duduk di tepian ranjang sulur bunga Lily, Aruna tengah bergulat dengan dirinya sendiri menurut dugaan Susi.     

"Saya mengenal ayah Anda, saya tahu bagaimana Anda di besarkan dengan sederhana oleh ayah Anda. Lesmana," terdengar tawa ringan Susi, "Senior yang selalu positif melihat berbagai tragedi," kalimat ini menggerakkan kepala Aruna hingga mendongak menangkap wajah ajudan perempuan yang berceloteh tentang ayahnya.     

"Sayangnya Anda bukan ayah Anda, -Nona,"     

_Apa maksud Susi_ seperti menyuarakan kode, Aruna mengharapkan penjelasan.     

"Anda bagian dari keluarga ini, Anda bagian dari Djoyodiningrat. Dari rahim Anda akan dilahirkan pewaris berikutnya. Anda bukan kami, Anda berbeda dengan para Ajudan seperti saya termasuk Ayah Anda dulu, Anda lebih dari kami," monolog Susi menggetarkan hati Aruna terlebih ketika Ajudan itu menekuk kakinya menyentuh kedua tangan Aruna.     

"Saya tahu tantangan Anda jauh lebih besar, apa pun yang Anda minta akan saya lakukan, saya di tumbuh kan oleh keluarga ini. Sudah selayaknya saya mengabdi pada Anda," Susi tersenyum menatap wajah Aruna memberi keyakinan.     

"Walaupun, em.. permintaanku tanpa alasan?" tanya Aruna.     

"Apa pun itu," dia meyakinkan, "semustahil dan se-tidak masuk akal pun akan saya lakukan," lengkap Susi.     

"Menurutmu kenapa ada orang yang.. menyerangku?" tanya Aruna.     

"Karena Anda mengandung bayi Djoyodiningrat,"     

Deg     

Ucapan Susi menyajikan frekuensi yang seirama dengan dugaan Aruna.     

"Kenapa? Em.. Kenapa kamu berpikir demikian?"     

"Itulah kenyataannya," secara tersirat Aruna meminta Susi duduk di sampingnya, Ajudan tersebut menolak, memilih berdiri mematung di hadapan Aruna.     

"Kenyataan?" Aruna menelisik kalimat Susi.     

"Iya, Anda boleh tidak percaya dengan ucapan saya. Kelahiran bayi di keluarga ini, selalu di warnai tragedi. Seandainya nyonya Sukma tidak mengalami tragedi mungkin nona Gayatri bukan anak tunggal. Begitu juga dengan suami Anda yang seolah tidak di ketahui keberadaannya hingga mencapai usia 5 tahun, baru lah nona Gayatri di paksa membawanya pulang ke Indonesia," monolog Susi menggiring gerakan perempuan hamil meremas baju di permukaan perutnya.     

"Jangan berkecil hati nona, saya akan ada untuk anda. Walaupun anda tidak pernah tahu. Suami anda, tuan muda Hendra selama ini berusaha sebaik mungkin memastikan Anda aman,"     

"Apa itu sebabnya Hendra mengurungku di rumah induk selama pernikahan kami?"     

Susi mengangguk.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.