Ciuman Pertama Aruna

III-117. Hari Yang Panas



III-117. Hari Yang Panas

0Hari yang panas.     
0

Sopir mobil memeriksa laci kecil di bawah pemutar musik. Dia mencari kacamata hitam untuk mengurangi kesilauan akibat cahaya matahari menerobos kaca mobil.     

"Tidak ada kaca mata?" tangan penanya naik ke atas seolah sedang minta sesuatu. Perempuan yang duduk di sebelahnya segera membuka laci lain. Giliran menemukan benda yang menjadi tujuannya, dia menyerahkan benda tersebut pada kakaknya.     

"macet lagi!" Gerutu laki-laki yang mengemudikan mobil.     

"nikmati saja!" perempuan yang duduk di belakang berseru. Saat pengemudi hendak mengamati spion di atas kepalanya untuk mencuri lihat penumpang di belakang, perempuan yang disapa bunda Indah kembali terlelap, menutup matanya.     

"Kak," panggil Aliana pada pengemudi yang kini tengah berjibaku dengan kerumitannya sendiri. Anantha sibuk mengekspresikan keluh kesahnya, menyandarkan siku pada pintu mobil di mana punggung tangan yang mengepal penopang pertemuan pipi dengan rahang.     

"Apa??" Anantha melirik Aliana malas.     

"Cih, Kenapa sih kamu selalu menyebalkan begitu," cela Aliana yang di dalam benaknya bukan sekedar mendapat lirikkan mata, raut muka Anantha berasa layak di pukul.     

"Macet gini doang, -lihat nih! Aku! aku harus tinggalkan bayi kecilku demi mencarikanmu jodoh," gerutu Aliana.     

"aku cuma males aja, macet gini, waktuku banyak terbuang," Ananta bergerak mengangkat tangannya hendak memukul tombol klakson mobil.     

Untung saja Alia sigap, menyentil tangan Anantha, "Hai.. bunda tidur!" dan Ananta mengurungkan niatnya mengekspresikan kekesalan.     

"yang begini nih, yang bikin aku memilih Nabila Jadi istrimu," ujaran Aliana terkesan tidak ada kaitannya dengan kejadian barusan.     

"ngomong apa kamu?" kepala Anantha menoleh menatap adiknya.     

"Orang sepertimu, termasuk aku nih. Kadang kala harus diimbangi keberadaan orang-orang yang berpikir sederhana serta lurus-lurus saja kayak Nabila," telunjuk Aliana sempat menodong kakaknya yang kemudian menodong dirinya sendiri.     

Lucunya Ananta terdiam ketika adiknya mengucapkan kalimat sarat makna, "apa yang kamu dan Nabila bicarakan, -tadi?" seiring kalimat tanya Alia menyeruak, Aliana menangkap wajah kakaknya.     

"Tidak banyak, kami membuat kesepakatan melangkah ke jenjang lebih serius, -sayangnya.. istilahnya masih, semacam uji coba gitu," berbelit-belit ucapan Anantha.     

"bagaimana sih? Bilangnya serius, ujungnya uji coba," bahu Anantha sekedar diangkat ketika mendengar celoteh Aliana.     

"Kamu masih belum yakin?" Aliana menelisik.     

"Mau bagaimana lagi, kita belum kenal, aku saja baru tahu dia se.." kalimat ini terputus.     

"Se? SE apa?" Aliana jengkel.     

"Entahlah.. intinya, kita belum dekat, -mungkin," bahu Anantha terangkat kembali.     

"kau ragu ya?" Aliana menduga, Anantha terdiam, "Mau tahu, yang ku maksud 'orang seperti kita'?" Pedal mobil terpencet kasar, Ananta seolah tidak berkenan mendengarnya.     

"Manusia yang hidupnya terlalu banyak misi, terlalu fokus pada tujuan, terbalut ambisi, punya cita-cita besar untuk diwujudkan. Karena terlalu sibuk memikirkan impian yang letaknya di masa depan. Tipe manusia macam aku dan kamu, lupa cara menikmati hidup," mobil kembali bergerak ringan.     

"seperti masa kecil kita, aku fokus belajar, kau suka sekali dengan kamarmu sendiri, membongkar semua peralatan elektronik bunda. Sedangkan adik kita bermain di luar, melarikan diri ke kampung sebelah setiap hari. Pulang-pulang diantar sekelompok berandal kecil sambil tertawa renyah lupa kakinya gores, atau badannya kumal, kita marah-marah kepada Aruna. Tapi dia masih senyam-senyum seolah tidak bersalah," ada nafas yang dihirup, ada mata yang menerawang, "ketika aku punya anak, entah datang dari mana aku menyadari satu hal, Alan sebaiknya menikmati masa kecilnya, seperti Aruna menikmati masa kecilnya dengan baik,"     

"Jadi kau. Tidak menikmati masa kecilmu?" celetukan Anantha.     

"Aku tidak separah kakakku,"     

"Kau menyinggungku nih?!"     

"Ya, tentu saja!" Aliana kembali membuang nafas, meraih botol air lalu meneguknya, "kakakku terlalu sibuk," dia berbicara seolah Anantha tidak ada di sebelahnya, "sibuk mewujudkan impian yang terangkai di otaknya. Lupa waktu terus berjalan, nikmatnya jalan-jalan di mal, bercengkerama dengan teman-teman atau sekedar nonton bioskop bareng cewek. Kau tidak memiliki kenangan masa muda seperti itu -bukan?" mendengar celoteh panjang lebar Aliana, Ananta membuang pandangannya ke jalanan di luar jendela mobil.     

"Seperti keberadaan Aruna yang sering kali tanpa sadar mengingatkan kita untuk napakkan kaki di bumi. Aku mengupayakan Nabila menjadi pasanganmu, bukan tanpa Alasan," kalimat Aliana berintonasi tegas.     

Lelaki yang sedang di gurui adiknya tersebut beberapa kali terlihat mengerjapkan mata. Memegangi setir mobil dengan cara unik, setir berbentuk lingkaran tersebut dimainkan.     

"Ketika kamu sempat bersikukuh ingin memisahkan Aruna dan Hendra, aku tahu sebagian besar mungkin karena pengaruh makhluk sialan bernama Rey. Kenyataannya tidak sesederhana itu, -bukan? Kau menyimpan dendam pada Ayah, dan berharap ayah membuka matanya untuk tahu kesalahan masa lalunya," lawan bicara Aliana layaknya manekin, mematung.     

"sejak saat itu aku tahu, kakakku bukan sekedar hidup di masa mendatang padahal impiannya Sudah ada di tangan waktu itu. Kakakku juga hidup di masa lalu," Aliana mendekat, menoleh dan memastikan dirinya tertangkap mata Anantha, "kakakku tidak hidup, di detik ini, tidak hidup di masa sekarang, mungkin saat ini kamu berserta pikiranmu sudah berada di hari esok, bulan dan tahun mendatang," akhirnya Anantha mengangguk, mengakui ucapan Aliana, nafasnya terurai panjang.     

"Harus ada yang menjadi remmu, ketika kau hidup dalam tujuan masa mendatang. Nabila dengan cara berpikirnya yang sederhana dibutuhkan orang-orang seperti kita, supaya kita ingat 24 jam hari ini layak di nikmati. tidak serta merta semuanya diperjuangkan untuk masa depan, masa depan memang menyilaukan bak fatamorgana,"     

"menurutmu gen siapa yang membuat kita hidup seperti ini?" Anantha bercanda. Mengimbangi kalimat Aliana yang terkesan sangat serius.     

Mereka pun sempat tertawa, "aku bicara begini karena aku pelaku,"     

"kau pelaku yang insaf? Sejak kapan?" tanya Anantha basa-basi.     

"sejak perutku terisi baby Alan," kalimat ini mendorong keduanya merengkuh ingat. Menuju ke masa di mana gadis yang berpotensi sebagai wisudawan terbaik strata 2 manajemen bisnis tidak berani hadir pada acara sakral dipindahkannya tali ujung toga.     

Aliana bersembunyi berbulan-bulan lamanya, manajer berbakat yang di cari keberadaannya oleh rekan-rekannya di kantor, tapi dia konsisten bersembunyi.     

Karena ketakutannya sendiri, terkait gunjingan banyak orang. Kala itu Aliana memilih mendekam di balik apartemen pacarnya, tak berani menampakkan diri untuk sekedar menikmati sinar matahari.     

"Menurutmu, apa Nabila bisa jadi alan untukku?" tanya Anantha setelah usai merenungi dirinya sendiri.     

"Mungkin, selebihnya kamu harus berdamai dengan dirimu. Manusia paling tidak adil pada dirinya sendiri, -iya kan?" ungkap mama muda.     

"benar, juga," setuju Anantha.     

"Sudah saatnya Kakak bahagia, bahagia bukan berarti perusahaan kakak kembali, prinsip Kakak terpegang teguh, bukan berarti pula kehidupan berjalan mulus, bahagia bisa diraih disela-sela perjalanan hidup kita, -sepelik apa pun itu," kalimat ini terbit dari perempuan yang duduk di kursi penumpang bagian belakang.     

Giliran Anantha dan Alia menoleh. Bunda Indah tersenyum bangga pada anak-anaknya.     

"Artinya aku harus menikah nih?"     

"Menikah saja," lengkap Aliana.     

"tidak perlu terlalu banyak berpikir apa lagi menyusun teori di dalam otak mu itu," lebih sadis lagi Aliana berujar, setelah dia melihat raut muka Anantha yang berubah serius, pasti Anantha menyusun perencanaan.     

Aliana memukul bahu kakaknya, supaya hidup di masa sekarang. Bukan masa depan, apalagi masa lalu.     

***     

"Kiki..!!" pekikkan kasar, keras dan berintonasi memuakkan berasal dari laki-laki yang berada di depan rumahnya. Pekikan tersebut beriringan dengan suara menendangi benda lainnya.     

"HUUUH," Kiki mematikan kompornya, tahu yang belum usai dia goreng dibiarkan mengapung di antara minyak goreng. Perempuan rambut hitam pekat tersebut meraih pisau terbesar dari dapurnya. Berjalan bersungut-sungut.     

Membuka pintu tanpa ragu dan berdiri di hadapan mereka. Meluruskan lengannya, ke arah kumpulan pendatang yang sempat mengerut sejenak, "Kiki kami ke sini mau ngambil motormu,"     

"Bruak" Kiki mengayukan pisau besar yang sempat yang ia todongkan pada tiga orang laki-laki di depannya. Ayunan pisau itu membentur dinding di samping ia berdiri. Sama sekali tanpa ragu, penonton lah yang kini ragu-ragu, yakni 3 orang laki-laki berpakaian preman.     

"Kalian mengambil motorku karena disuruh bosmu -kan?" nafas perempuan tersebut naik turun. Dia maju beberapa langkah, mengakibatkan 3 orang di depannya mundur sekian langkah.     

"Saat kalian mengobrak-abrik rumahku, apa bosmu ikut?" 3 pria di hadapannya mengangguk.     

"Bruak," kembali pisau diayunkan dan membentur sesuatu.     

"Suruh bosmu datang menemui ku! SEKARANG!! BARU SETELAH ITU AMBIL MOTORKU!!" teriak Kiki kesetanan, menakuti tiga lelaki tatoan, berlari meninggalkan rumahnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.