Ciuman Pertama Aruna

III-118. Aura Dominan Perempuan



III-118. Aura Dominan Perempuan

0"Suruh bosmu datang menemui ku! SEKARANG!! BARU SETELAH ITU AMBIL MOTORKU!!" teriak Kiki kesetanan, menakuti tiga lelaki tatoan, berlari meninggalkan rumahnya.     
0

_Kenapa pagi-pagi sudah ngamuk?_ lelaki di dalam kamar bangkit dari tidurnya, bersama gerakannya bangun untuk duduk. Ia tersentak sendirinya, kain yang menutup tubuh bidang tersebut luruh ke bawah, kian ketika kakinya di turunkan menyentuh lantai, "Ah'," pria tersebut menarik sarung bapak yang merosot ke bawah. Sungguh gila pelakunya sama gilanya dengan teriakan kesetanannya pagi-pagi. Thomas tidur telanjang dada dan bagian bawahnya hanya menyisakan sebuah segitiga yang sarung pelindungnya luruh ke lantai.     

"Sial!" umpat Thomas, merasa seperti orang bodoh di telanjangi.     

"Kamu sudah? Ups!" Kiki yang datang untuk menagih janji Thomas yang kabarnya akan membelikan motor baru, kabur begitu saja.     

"Hai.. Kau tanggung jawab!" teriak Thomas tak kalah nyaringnya, bermodal kain pria ini membuat dirinya masuk ke dalam bagian dalam sarung lalu berdiri mengikatnya, "huuh," hembusan nafas kebodohan ini terbang, seumur hidupnya dia tidak pernah merasakan menjadi seburuk detik ini. Pelakunya memasang wajah tanpa dosa dengan pura-pura menggoreng tahu, ketika Thomas menggunakan penyangga ketiak berjalan menuju kamar mandi.     

Ketika berniat menarik putaran hendel kamar mandi, Thomas membalik tubuhnya: "Kiki,"     

"Hem.." Kiki fokus memasukkan tahu berlumur bumbu bawang ketumbar tentu saja garam yang di siram sedikit air. Tahu masuk ke dalam penggorengan panas menimbulkan bunyi berisik sehingga permintaan Thomas tidak terdengar.     

"Apa?" perempuan yang berbalut daster sepanjang lutut dengan lengan menampilkan ketiaknya sebab terlalu longgar untuk lengan rampingnya tengah menoleh mendapati pria yang bentukannya bikin geli.     

"Kau yang melucutiku! Jangan tertawa!" gertak Thomas. Rambut Kiki di ikat sembarangan naik ke atas memanfaatkan ikatan berupa jepit besar yang memiliki buah-buah gigi, mirip dua tangan yang tengah mencengkeram masuk ke sela-sela rambut, jepit dengan warna bening yang membuat leher perempuan tersebut terbuka. Di tambah potongan kerah leher dasternya yang jatuh membentuk huruf V mengakibatkan leher jenjang berpadu dengan dada sisi atas Kiki terekspose indah. Pria di hadapannya sempat memerah lupa niatnya awalnya -menanyakan sesuatu-.     

"tadi ngomong apa?" kalimat Kiki membangunkan lelaki yang tengah menelan salivanya.     

"Ah' iya.. bajuku, em bajuku kau cuci semua, kamu taruh di mana?"     

" mandi saja nanti aku ketuk pintunya (pintu kamar mandi)," dia yang di ajak bicara mengangguk. Dan Kiki kembali mengangkat tahunya yang telah menguning keemasan.     

"satu lagi," Anehnya Thomas lagi-lagi berbalik, menangkap keberadaan Kiki, "Tolong, jangan gunakan daster selonggar itu," protes Thomas.     

"emang kenapa?" Kiki mengerutkan keningnya.     

_Apa salahnya dengan dasterku? Masak iya karena murahan?_     

"Kamu tak boleh lupa, di rumah ini sekarang ada penghuni baru, pria dewasa," mendengar ucapan Thomas, Kiki menurunkan spatula di tangannya, dia menutup bagian yang Tanpa sengaja tertangkap mata Thomas, -dada atasnya- menggunakan kedua telapak tangan.     

_Huuuh menyebalkan!_ kejengkelan tersebut hanya bisa di telannya sendiri.     

***     

Aruna merasa tidak lagi sendiri, percakapannya dengan Susi mampu memberikan ketenangan.     

"Susi, apa aku boleh tahu, siapa tamu suamiku?" pinta Aruna.     

"Tentu," Ajudan tersebut mundur sejenak.     

.     

.     

Giliran Susi kembali menemui nonanya, betapa antusiasnya Aruna. Susi benar-benar menjalankan tugas pertamanya dengan baik. Susi sungguh-sungguh memberinya informasi terkait siapa yang datang.     

Menurut Susi dua orang tersebut ialah pihak kepolisian yang bertugas menyelidiki kasus penganiayaan yang dia terima. Istri Hendra bangkit dari duduknya, "Apakah sekretaris Nana, e.. ada di sana? mendampingi suamiku?" Susi mengangguk.     

Dan Aruna buru-buru mengambil langkah gusar. Mengapa dirinya tidak boleh ikut menemui tamu sedangkan Nana yang hanya sekedar sekretaris memiliki hak berada di seputar suaminya. Padahal Aruna menaruh kecurigaan yang menurutnya beralasan. Walaupun untuk saat ini dirinya tidak memiliki bukti apa pun. Mungkin dengan bercerita kepada penyidik kepolisian Aruna bisa menceritakan kecurigaannya. Bisa jadi pula, ia mampu mengungkap kasus yang menimpanya lebih cepat.     

Bersungut-sungut Aruna membuka pintu kamarnya, saat ia hendak melangkah melewati pintu pada jangkah pertama. Seorang pelayan bernama Tika mengumpulkan segenap keberaniannya untuk menegur sang nona, Tika memegang tangan kanannya.     

"nona,"     

"Ada apa Tika?!" Aruna sempat menyuarakan kalimat tanya dengan nada tegas. Terbalut emosi.     

"ah.. e.. cobalah bercermin sebentar," Tika memberanikan diri menarik lengan nonanya.     

"anda, em.. anda sebaiknya memperbaiki penampilan anda terlebih dahulu, setelah itu silakan menemui tamu atau marah di hadapan suami Anda," jelas Tika.     

_Ada apa dengan penampilanku?_ Aruna perlahan paham dengan niat baik Tika. Perempuan tersebut berbalik menangkap dirinya di cermin. Baju yang ia kenakan baju longgar lengan panjang. Begitu juga bawahannya, sekedar celana kain.     

Wajahnya tampak pucat dan membiru di beberapa sisi. Kantong matanya menghitam. Aruna tampak tak layak menemui tamu suami.     

"Nona tidak boleh lebih buruk daripada siapa pun," mendengar kalimat Tika Aruna mengangguk mantap.     

"Susi ambilkan aku baju terbaik," perintahnya kepada Susi.     

"Maaf saya tidak bisa dandan," jawab Susi yang notabenenya cenderung mirip laki-laki, kecuali rambut panjangnya serta Lipstik merah yang membungkus bibirnya. Mengalihkan konsentrasi Aruna kepada asisten lain.     

"Tika," Resah Aruna.     

"Jangan khawatir Nona, saya akan membuat Anda terlihat segar, dan tentu saja paling cantik," lengkap Tika mengawali misinya.     

***     

Pagi itu setelah semua masakan Kiki siap di meja makan. Thomas menutup pintu kamar mandi, ia baru keluar dari sana. tadi bajunya di sisipkan Riki dengan mengetuk pintu kamar mandi.     

Bapak dan Riki sibuk mengisi piring kosong dengan nasi panas supaya lekas dingin. Nasi dari penanak Nasi otomatis tersebut di tata sedemikian rupa berjumlah 5.     

Thomas bergabung dengan keduanya selepas meletakkan penyangga tubuh yang kini tidak begitu banyak membantu, Sebab dia sendiri perlahan mulai bisa menapakkan kakinya. Luka di bagian telapak kaki mengering semenjak mendatangi dokter yang ditawarkan Kiki.     

Sedangkan Kiki dan Laila Masih berdiri di depan cermin milik lemari tua dari kayu. Mereka menyisir rambut.     

Baru juga kelimanya menggerakkan tangan, mengaisi sarapan dengan sendok masing-masing. Ketukan bernada kasar terdengar dari pintu rumah Kiki. Berdasarkan instruksi Kiki, perempuan galak yang memiliki kekuatan berbeda bagi siapa pun yang mengenalnya. Mengakibatkan penghuni rumah yang sedang sarapan tetap melanjutkan makan.     

"jangan ada yang membuka pintu, apa lagi peduli dengan ketukan itu. Sampai semua nasi di piring kalian habis," perintahnya menertibkan anggukan pada setiap anggota keluarganya.     

Melihat begitu patuhnya anggota keluarga Kiki pada perempuan galak tersebut. Mendorong Thomas hingga ikut-ikutan mengangguk.     

Sejujurnya Thomas amat penasaran, ketukan di luar bukan sekedar ketukan, di luar sana juga terdengar riuh ramai sekelompok orang yang sedang bergunjing. Entah apa yang digunjingkan, yang pasti suara itu berdengung mirip gerombolan lebah yang siap menerjang penghuni rumah tepat ketika pintu terbuka.     

Namun Kiki bersikukuh dengan pendiriannya, sekukuh itu pula keluarganya seolah merasa terlindungi.     

Baru pertama kali ini Thomas melihat dan menemukan perempuan semacam ini. Thomas memang anak adopsi yang hidup di yellow house. Kemudian dia terbang ke Paris selama 6 tahun untuk melanjutkan kuliahnya. Dia berhasil menempuh semua tantangan tetua Wiryo. Semenjak dia di telantarkan ayah yang merupakan warga asing, dan ibunya entah siapa, sampai nasib buruk menghampirinya dengan mengikuti perintah perempuan bermuka dua yang membayar seseorang untuk membuang tubuh ringkihnya ke sungai. Thomas belum pernah mendapati perempuan yang auranya sedominan Kiki.     

Kiki bukan hanya dominan, keluarganya bahkan dirinya sendiri kadang kala merasa takut tanpa sebab kepada perempuan berambut hitam lebat tersebut. mungkin karena dia adalah tulang punggung keluarga bagi anggota keluarganya.     

_tapi? aku orang lain, untuk apa aku ikut-ikutan takut? Tubuhku lebih kekar, aku bisa menghempasnya dalam satu kali kibasan?_ Thomas bertanya-tanya pada dirinya sendiri.     

"bisa makan lebih cepat nggak??" kenyataannya kalimat peringatan Kiki spontan di sambut Thomas dengan buru-buru melenyapkan sisa makanan di piringnya. Dia memasukkan tiga sendok sekaligus ke dalam mulut. Lalu menelannya tanpa mengunyah dengan benar.     

"Laila Riki," panggil Kiki, kedua adik Kiki -yang detik ini tengah mengepalkan tangannya- mengangguk mantap.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.