Ciuman Pertama Aruna

III-121. Serbuk Putih Melumuri Dada



III-121. Serbuk Putih Melumuri Dada

0Orang lain yang berada di ruang berlatarbelakang foto pernikahan BlueOceans -kecuali Susi-. Entah apa yang mereka sembunyikan, mereka terlihat kasihan pada Hendra daripada dirinya.     
0

Ada apa ini? Apa yang belum ia ketahui?     

Kepala Aruna berkecamuk, hatinya sesak, menyakitkan rasanya.     

"Demi baby, cukup sayang, percayalah padaku, biar aku yang bekerja untukmu," lelaki bermata biru mengusap rambut Aruna, Hendra mengharap dengan sangat. Merundukkan tubuhnya, memohon agar Aruna merelakan interogasi penyidik kepolisian.     

"Kenapa kau begini Hendra??" Aruna tampaknya masih enggan pergi.     

Nafas Mahendra tertahan, berusaha meredam kehendaknya. Tentu saja kehendak untuk menarik mundur istrinya, "aku seperti ini demi kebaikanmu," Mahendra berusaha dengan sangat meraih kesabaran.     

_menyebalkan_ batin Aruna setelah menyadari tatapan getir Anna yang di tunjukkan kepada dirinya.     

"Apa yang salah padaku?? beri tahu aku!" Aruna berapi-api mendorong keberadaan Hendra yang tengah memohon agar dia rela mundur.     

"Tuduhan anda tidak beralasan," Anna menimpali.     

"Cukup Anna!" Hendra bangkit dari caranya menekuk kaki, "istriku korban, dia sedang hamil, tolong maklumi kondisinya," lengkap suami Aruna.     

"maaf hen..," ungkapan berikut terbit dari Nana, terdengar seperti penyesalan manis.     

"Kenapa aku harus di maklumi? Memang aku kenapa?" Aruna menangis, "Siapa korban di sini? kenapa kalian memperlakukanku seperti orang tidak normal, beritahu aku! Beritahu aku sekarang!" perempuan hamil ini kesulitan menekan gejolak di dada, ia tak terkendali.     

"Bukan nona Anna pelakunya," rambut cepak menimpali kalimat Aruna.     

"Bagaimana bisa begitu?! Itu tidak mungkin!" Aruna kembali meninggikan volume suaranya.     

"Kenapa Anda sangat membenci saya?" wajah Anna yang di bingkai kesedihan janggal pada persepsi Aruna, menghadirkan siksaan bukan kepalang.     

"Kau! Beraninya kau bertanya padaku! setelah penganiayaan yang kau lakukan!" Aruna meneriakkan kejengkelan yang ia pendam selama ini.     

"Sayang! Cukup!" Hendra mulai menggenggam lengannya.     

"Kenapa Hendra? Kau juga sama dengan yang lain? Kamu anggap aku halusinasi? Hah!" teriakan dan tangisan terbungkus jadi satu.     

"Tidak sayang, bukan begitu! Anna bersamaku waktu-" kalimat ini terpotong.     

"Pelakunya mustahil nona Anna," penyidik kepolisian berbelah samping menguatkan argumen nya sendiri.     

"Oh, jadi keterangan perempuan itu lebih berharga dari ku?" Aruna tidak berkenan memanggil nama Anna.     

"kelihatannya Anda terpengaruh rasa cemburu. Walaupun Anda korban, tidak selayaknya Anda membuat kesimpulan tanpa bukti. Mohon maaf kami terpaksa mengakhiri interogasi. sejauh ini anda sangat membantu," berambut cepak mematikan perekam suara, dan menutup buku kecil di tangannya.     

"Begitu ya.. kalian benar-benar menganggapku, -halusinasi??" dada Aruna hancur mumur, Hendra mencengkeram lengan kanan Aruna, tangan tanpa luka. lelaki bermata biru menariknya supaya bersedia bangkit dari kursi.     

"Susi bawa nona mu ke kamar, apa pun caranya, aku tidak tahan melihat istriku," Hendra sudah mencapai limitnya, ia benar-benar menderita melihat istrinya.     

"Kau juga hiks.. kau juga sama dengan mereka.. hiks.. kau menganggapku membual?" Aruna di rundung kecewa, menatap mata sendu yang di balut resah milik Mahendra, -seakan dirinya telah runtuh.     

"Nona anda boleh tidak percaya," berbelah tengah bangkit sigap membuka layar handphonenya, "pelakunya mengenakan wig, dia membuang wignya ke tong sampah, beruntung kami temukan," handphone tersebut di tunjukkan pada Aruna.     

" ada noda darah di wig ini, dan benar itu darah anda, kami sudah memastikannya" handphone tersebut ditarik oleh penyidik.     

"kami akan bekerja sebaik mungkin untuk anda, semoga anda mau bersabar," bahkan polisi tersebut menatap nanar Aruna.     

"Oh! Pantas, pantas kamu mengusirku sejak aku datang, aku cuma mengigau," Aruna berlari di buntuti Ajudannya. Perempuan hamil berlari membawa air mata dan rasa kecewa.     

.     

.     

Sempat memilih melanjutkan pertemuan dengan kedua tamu -penyidik kepolisian, Hendra akhirnya tidak betah. Pikirannya berlari menuju istrinya, memikirkan apa yang berlangsung di kamar. Bagaimana suasana hati istrinya saat ini.     

Belakangan Hendra memutuskan melangkah pergi. Istrinya lebih membutuhkannya saat ini.     

.     

Telah sampai ia di depan pintu kamar. Tangannya membuat dorongan, nafas ia atur sedemikian rupa, dan betapa terkejutnya dia ketika pintu ukir Jepara baru tertutup perempuan yang berada di kamar sendirian tengah melayangkan lemparan benda kepadanya.     

Pilu rasanya mendapati Aruna melempar benda di atas meja rias ke arah dirinya. Mungkin dia sedang kecewa berat, atau bisa jadi dadanya sudah tidak sanggup lagi menahan sakit.     

"Pergi kau! Aku tidak mau melihatmu!" teriak Aruna seiring terlemparnya sebuah botol yang di duga parfum, benda tersebut membentur pintu lalu jatuh ke lantai. Benturan ke lantai membuat benda tersebut pecah hingga aroma harum terbang menyengat hidung Hendra.     

Hendra tidak bergeming, dan tidak beranjak dari tempatnya. Dia malah membalik tubuhnya menghadap istrinya. Semoga dengan melihat raut wajah penyesalan, Aruna bisa mereda -itulah pikiran mata biru.     

Kenyataannya perempuan yang menangis serta dirundung kemarahan tersebut kembali melempar benda kepadanya. Bedak putih melumuri dada Mahendra, hamburan serbuk putih melekat rata pada separuh dadanya.     

"Pergi! Pergi dari sini! Aku mau sendiri!" teriakan ini berpadu dengan tangisan. Kejadian langka pada Aruna. Hendra berusaha mengatur nafasnya. Nafas yang keluar dari rasa perih.     

Hendra tidak mau pergi, tidak bergeming dan masih berdiri kaku di tempatnya. Di depan pintu ukir Jepara yang menjulang tinggi sebagai background tubuhnya.     

Hendra lebih dari tahu, Seperti apa rasa frustrasi. Dia tahu istrinya sedang kecewa pada dirinya, -mungkin.     

Kecewa karena suami yang tak mampu menjaganya dengan baik. Terlebih hari ini Aruna merasa terpojok, dirinya dianggap tak normal, seolah tengah berhalusinasi.     

Hendra menerima hukuman yang di layangkan perempuan marah. Bantal terbang menuju mukanya. Selimut tebal di tarik dan di koyak.     

"Kau pasti sama saja, tidak ada bedanya dengan mereka, kau menganggapku sekedar berhalu ria, kau pasti tak tahu penderitaan ku," dia menangis, berteriak dan berakhir meruntuhkan dirinya ke lantai. Hancur sehancurnya Hendra melihat perempuan yang tengah mengandung buah hatinya tersiksa secara fisik dan mental.     

Hendra tetap diam, Aruna tidak butuh jawaban. Sebanyak apa pun ujaran pertanyaan di hujankan padanya dalam teriakan kemarahan. Hendra masih berdiri di tempat yang sama. Masih di sana, mengamati istrinya, yang perlahan lelah mengusir keberadaan mata biru.     

Perempuannya bangkit dari permukaan lantai, dia naik ke ranjang, mulai membaringkan tubuhnya. Sudah dapat diduga Aruna kelelahan. Suara Isak tangisnya masih terdengar, ketika Mahendra mencoba menepuk dadanya, menghilangkan butiran bedak yang menempel pada baju.     

Ia akhirnya memutuskan melangkah ringan duduk di tepian ranjang.     

Tubuh Aruna memunggungi kehadiran Mahendra dari ranjang yang denyutannya terasa. Aruna membenamkan diri ke arah kiri, miring setengah tengkurap.     

"Huuh," ada embusan nafas panjang dan sentuhan tangan di telapak kaki, kaki mungil yang lututnya terbungkus rok bergelombang warna kuning.     

"Aku minta maaf, membuatmu kecewa," Hendra pikir istrinya akan marah ketika kaki mungil tersentuh. Nyatanya Aruna yang diketahui Mahendra masih membuka mata -walau tak selebar biasanya- tidak membalas gerak ringan yang disuguhkan mata biru dengan ungkapan kemarahan.     

"aku melarangmu hadir menemui tamuku, bukan karena aku tidak mau melibatkanmu," sentuhan tangan lelaki itu naik ke tumit, ia mengusung pijatan.     

"Aku tahu akhirnya bakal seperti ini," dia yang tidak mendapatkan perlawanan menggerakkan tangan yang lain. Tangan kiri Mahendra menurut pijatan pada betis perempuan. Kaki Aruna kecil bagi tangan lelaki bermata biru, sehingga sekali dekap tangan tersebut berhasil memberi refleksi bagi kaki istrinya.     

"Aku mengusirmu bukan karena aku tidak percaya padamu, aku sangat percaya,"     

"aku hanya berhalusinasi," kalimat Mahendra mendapat sambutan.     

Antara senang bercampur sedih, Hendra mencoba mencari sisi positif. Kehadirannya di terima istrinya, "tidak, seandainya istriku punya bukti,"     

"akan ku cari buktinya," balas Aruna.     

"fokuslah pada baby kita," kedua tangan Mahendra tengah bergantian memberi pijatan pada seputar kaki istrinya, "Saat kamu sedih, aku yakin ia pasti ikut sedih memikirkan mommy-nya," Hendra tahu perempuannya meneteskan air mata sekali lagi, tapi kali ini bukan kemarahan.     

Bersama gerak tangan Aruna mengusap peluh, Hendra menyusupkan keinginannya: "tak perlu memikirkan, huuh," nafas Hendra yang tertahan berdesir panjang, "biarkan aku yang mengungkap tragedi ini, percayalah padaku sayang, kau boleh menagihnya sebagai hutang kalau aku tak mampu menangkap pelakunya," pijatan berubah elusan lembut ketika mata itu perlahan menutup.     

Hendra bangkit dari duduknya, memeriksa .... .... ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.