Ciuman Pertama Aruna

III-122. Not a Miracle



III-122. Not a Miracle

0Bersama gerak tangan Aruna mengusap peluh, Hendra menyusupkan keinginannya: "tak perlu memikirkan, huuh," nafas Hendra yang tertahan berdesir panjang, "biarkan aku yang mengungkap tragedi ini, percayalah padaku sayang, kau boleh menagihnya sebagai hutang kalau aku tak mampu menangkap pelakunya," pijatan berubah elusan lembut ketika mata itu perlahan menutup.     
0

Hendra bangkit dari duduknya, memeriksa apakah Aruna benar-benar tidur. Setelah memastikan istrinya terlelap, lelaki bermata biru melewati beberapa benda yang jatuh berserakan untuk memungut bantal.     

Bantal di tangan ia bawa menuju kepala istrinya, kepala lunglai terangkat, pipinya masih tertangkap sembab, akan tetapi tidurnya sangat lelap, dia kelelahan.     

Mahendra meletakkan kepala tersebut di atas bantal dan merapikan baju Aruna.     

Dia kembali mengais selimut tebal bermotif sulur bunga lili kesukaan sang istri. Selimut lebar tersebut di seret naik ke atas ranjang tidur. Pewaris itu sendiri yang berupaya merapikannya. Menata ulang sesempurna sebelumnya.     

Sempat tertangkap diam, ia tengah memastikan istrinya nyaman, Mahendra mendekat, mendekati tubuh yang tertidur pulas.     

Akibat amukan istrinya ia menyadari hatinya tengah hancur berkeping-keping, akan tetapi lihatlah ini, lihat betapa bahagianya dia bisa menikmati tidurnya perempuan sambil menyentuh perut berisikan bayinya.     

Membayangkan bisa punya bayi saja dulu tidak berani ia lakukan, bisa tidur bahkan melewatkan malam panjang bersama perempuan tentu dia tak punya harapan seindah itu. Hendra mengecup pelipis istrinya, lalu membisikkan sesuatu pada tempat bersemayamnya janin -pembawa dna-nya-: "maafkan Deddy sayang.. Deddy membuat mommy-mu berduka, Deddy janji ini yang terakhir. Bantu mommy-mu supaya lebih sabar, kuat, tegar,"     

Pintu terketuk dari luar, Hendra berjalan menghampirinya. Ketika ia buka, ibu Gayatri berada di hadapannya. Sangat mengejutkan dia menyapa Hendra lebih berani dari pada semua hari yang pernah mereka lewati -kecuali masa kecil Hendra sebelum tragedi-.     

"Aku dengar Aruna sedang dalam suasana hati tidak baik, mungkin aku bisa menghiburnya," dia tersenyum pada Hendra.     

_dia bisa tersenyum juga?_ batin Hendra terbang menuju ruang praktik dokter Diana -beri kesempatan mommy-mu bicara denganmu, dia pasti senang bukan main-     

"Aruna sudah tidur, anda ingin melihatnya?" Hendra membuka pintu lebih lebar ketika perempuan yang juga ibunya mengangguk.     

Pada langkah pertama Gayatri memasuki kamar sang putra, "Oh," desahannya terbit tatkala kaki menapaki debu-debu halus bedak berhamburan, serta aroma parfum menyatu dengan aroma micellar water yang tutupnya terlepas dan tumpah di lantai.     

"Aruna? E.. Dia marah?" ungkapan tanya sederhana yang sempat mendorong Hendra menangkap mata Gayatri, sang putra membeku sekian detik. Sebelum ia menggeleng sejenak lalu merangkai jawaban.     

"Aruna kecewa padaku," Hendra mendekati tubuh istrinya di ikuti sang mommy.     

"seperti itulah ibu hamil, anda harus banyak bersabar," sebab masih canggung seorang ibu menyebut putranya menggunakan istilah anda.     

"apa hubungannya hamil dan emosi?" tanya Mahendra yang saat ini mencoba memecah kecanggungan dengan menata meja rias istrinya, terdapat di sebelah kanan dekat ranjang.     

"Tentu saja, peningkatan kadar hormon progesteron dan estrogen tidak stabil. Itulah yang memicu serta memengaruhi kondisi kimiawi pada bagian otak. Mood atau suasana hatinya berubah-ubah, naik turun," cara bicara Gayatri mirip dirinya yang dulu, dulu sekali -Hendra masih ingat masa taman kanak-kanaknya- saat perempuan yang kini tengah duduk di ranjang istrinya mengajarinya mencampur dua warna untuk menciptakan warna baru.     

~     

"It's a miracle, mommy" seru Hendra kecil.     

"of course, but it's not a miracle. It's a kind of physics experiment. The red spectrum is partially absorbed by blue and vice versa. So that the light reflected into our eyes is the result of a combination of the two colors,"     

(tentu saja, tapi itu bukan keajaiban. Ini semacam eksperimen fisika. Spektrum merah sebagian diserap oleh warna biru dan sebaliknya. Sehingga cahaya yang dipantulkan ke mata kita merupakan hasil perpaduan kedua warna tersebut)     

"purple,"     

~     

Hendra di wakili hatinya, menyadari ungkapan Diana benar adanya. Gayatri menjalani terapi secara antusias sehingga ia menunjukkan perkembangan pesat. Terlebih saat ini, perempuan tanpa ekspresi tersebut punya inisiatif, bangkit dari duduknya, berjalan mendekati telepon seluler kamar utama pewaris Djoyodiningrat dan terdengar meminta bantuan asisten rumah tangga membersihkan kamar putranya.     

Gerak-gerik tersebut diam-diam di amati dengan Lamat oleh Mahendra.     

Hendra masih tertegun, ketika Gayatri kembali menyapa, "sebaiknya istrimu segera di belikan make up lagi, dia suka berdandan akhir-akhir ini," Gayatri tertawa renyah.     

_ya tuhan dia benar-benar tertawa_ ada mulut yang ternganga sekian Mili     

"Yah.. meskipun yang finishing tetap para asistennya, istrimu sangat imut saat berusaha mengenal make up," Gayatri tersenyum lagi dan lagi.     

Mata Hendra tertangkap mengerjap, mencoba membenarkan penglihatannya.     

Seiring datangnya Ratna dan Tika sebagai penanggung jawab kamar tuan muda beserta istrinya, mereka mulai bekerja memunguti benda-benda tercecer.     

Tertangkap pertanyaan lain yang terbit dari bibir Mahendra, "Apa kehamilan bisa menjadi faktor rasa cemburu, -berlebih?"     

Dia yang di tanya mengangguk, "unik memang, itulah kenyataannya, saat aku hamil anda rasanya apa-apa serba salah, sangat sensitif, inginnya di perhatikan terus, cemburu berlebihan pada Deddy-mu hingga di luar batas wajar,"     

Deg     

Kalimat ringan tersebut mendadak membekukan keduanya. Kata 'deddy-mu' berhasil menyekat keduanya.     

Buru-buru Mahendra mengalihkan fokus Gayatri, sejujurnya supaya dia sendiri tidak larut ke dalam belenggu masa lalu yang menyiksa. Hidupnya sudah sempurna saat ini sehingga Mahendra lebih bijak dan lebih tenang menerima kenyataan, hidup tanpa sosok ayah.     

"Aruna sangat manja, aku tidak pernah menemukan dia semanja ini sebelumnya,"     

"Benarkah?" Gayatri jelas sekali juga berusaha terbebas dari kecanggungan barusan.     

Hendra mengangguk, "menangis tersedu-sedu hanya karena di tinggal, padahal Cuma sebentar,"     

Dia tertawa, Gayatri tertawa lagi.     

"sejujurnya aku amat khawatir pada emosinya, meledak-ledak di luar kendali," tambah Mahendra.     

Hendra bahkan tidak habis pikir, detik ini dirinya tengah bertukar pikiran dan bisa dibilang curhat kepada ibunya.     

"emosi tak stabil bisa mempengaruhi perkembangan janin," Gayatri menanggapi putranya.     

"Itu dia masalahnya, aku kesulitan menghadapi Aruna," keluh mata biru.     

"Nanti, kalau hatinya sudah reda, sudah senggang, akan ku coba menyempatkan waktu bicara berdua, aku yakin Aruna lebih berhati-hati ketika dia tahu risikonya,"     

Hendra mengangguk untuk ke sekian kalinya.     

"Hamil anak pertama pasti ada masa-masanya merasakan bingung gelisah bahkan frustrasi, kadang kala merasa tidak cantik," Gayatri banyak sekali bicara kali ini. Kejutan bertubi-tubi menghantam Mahendra.     

"Ah' itu dia, aku pikir tragedi kemarin yang membuatnya sedih tiap kali menatap cermin," Hendra mengusap rambut Aruna, benar-benar tidur di sergap kepayahan, "sepetinya hamil, menambah rasa gelisah,"     

"Sudah periksa kandungan?" tanya mommy Gayatri.     

"belum sempat," jawab Hendra.     

"Cobalah pergi ke dokter kandungan berdua saja, Aruna pasti senang. Dia bakal mendapatkan baterainya kembali, kekuatan baru untukmu dan istrimu," mata Mahendra berbinar mendengar ide Gayatri. Ide yang tidak sempat ia pikirkan.     

"Mengantarnya mengikuti senam ibu hamil, atau sekedar beli baju, persiapan perutnya yang perlahan membesar," Hendra menyipitkan matanya, lesung pipinya tertangkap bersama ide-ide out of the box mommy Gayatri.     

"Jangan terus-terusan mengurungnya di tempat ini, siapa pun bakal tersiksa," Hendra terenyak. Menatap Gayatri lebih lamat.     

Dua perempuan yang seolah baik-baik saja dengan peraturan yang ada, tradisi yang di ciptakan tetua Wiryo pada rumah induk, ternyata mereka menyimpan rapat-rapat rasa keberatan.     

Lain kali mommy dan oma Sukma, mungkin bisa di ajak keluar bersama, sekedar makan di luar atau berbelanja pakaian. Secara tersirat Hendra menangkap pesan dan permintaan yang sejujurnya tidak diucapkan bibir Gayatri.     

"Tika," Hendra bangkit dari duduknya. Dia ingat, asisten muda bernama Tika cukup dekat dengan istrinya, "tolong beritahu aku apa saja yang rusak,"     

"baik tuan," asisten tersebut sedang menggunakan sarung tangan, memeriksa lantai dengan cermat demi memastikan tidak ada pecahan kaca sekecil apa pun pada lantai kamar pribadi pewaris keluarga ini.     

"Buatkan daftar list nya,"     

"Iya tuan," Tika berhenti sejenak lalu mengangguk, "em.. Apa saya boleh.. menambahkan list make up yang tidak dimiliki nona?"     

"Tika!" Ratna menatap tajam Tika, tidak diizinkan asisten rumah tangga mengajukan komunikasi secara langsung, terlebih mengajukan pertanyaan lebih dahulu kepada tuan muda Djoyodiningrat.     

"Oh, tak masalah itu ide bagus," Mahendra menyanjung Tika. Gadis itu sempat tersenyum pada Ratna sebagai rasa bangga dipuji tuannya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.