Ciuman Pertama Aruna

III-125. Tidak Tahu Diri



III-125. Tidak Tahu Diri

0Entah mengapa memandikan Aruna menjadi kegiatan yang ia nantikan akhir-akhir ini, terlebih si pria berhajat bisa mengajak istrinya menikmati malam yang menyenangkan. Dia berniat memanjakan istrinya seperti saran mommy Gayatri.     
0

Ketika jemari tangan lelaki tersebut menapaki bibir merah favoritnya. Mata perempuan mengerjap, terlihat tangannya turun ke bawah memegangi baju di atas perut.     

Hendra bangkit dari pembaringan, menggeser tubuhnya lebih dekat pada tubuh Aruna, sambil merunduk memastikan keberadaannya kian dekat dengan sang istri, Mahendra membisikan dugaan: "Sayang, apa kamu lapar?"     

Aruna tidak menjawabnya. Butuh waktu 5 menit, untuk menemukan kesadaran di tubuh Aruna, kekuatan untuk duduk.     

Ia menuruni ranjang tanpa kata, melihat barang-barang yang tadinya berserakan karena ulah kemarahan, nyata sudah rapi seolah tidak terjadi apa pun di kamar ini.     

"Aku minta pelayan membawakan makan untukmu, mau?" ia diam tak ada niat bicara. Hendra paling benci kalau keadaan mereka jadi begini. Diamnya Aruna adalah siksaan paling ampuh.     

"Kamu mau ke kamar mandi?" tidak menjawab.     

"mandimu sudah aku siapkan, tapi, Ah' mungkin airnya sudah dingin," Aruna gerak menuju telepon, ia membuat panggilan untuk pelayanan.     

Belum sempat tersambung, pintu kamar diketuk seseorang. Mahendra mundur dari caranya mendekati sang istri. Ia membuka pintu, dan tersaji di depan pintu ialah Tika, asisten yang dengan senang hati menyerahkan list make up pesanan taunnya.     

"Tika," panggilan sang nona membuat tika mendongak. Mengintip ke dalam kamar. Hendra membuka pintu lebih lebar, "bantu aku mandi," pinta Aruna, disusul gerakan mengiyakan -berjalan menuju sang nona- lalu menyusup ke dalam kamar mandi.     

Mahendra terlihat cepat-cepat membuntuti keduanya, giliran sampai di depan pintu. Pintu ditutup dan dikunci rapat. Hendra mencoba merayu dengan mengetuk pintu tersebut, "sayang, aku minta maaf,"     

Berulang pintu diketuk tidak ada jawaban, Hendra tahu yang di dalam tak akan mungkin mendengarkan ucapannya kecuali ketukan pintu. kamar mandi mereka cenderung kedap suara.     

Hendra memutuskan mencari cara menurunkan emosi istrinya dengan menyiapkan baju untuk sang istri. Hal biasa bagi Mahendra menyiapkan semua kebutuhan Aruna, dari yang tampak di luar maupun yang tak terlihat. Digeletakkan rapi di atas ranjang.     

Cukup lama nona serta asistennya menghabiskan waktu di kamar mandi. giliran keluar, Aruna sama sekali tidak memedulikan keberadaan Hendra. Termasuk baju yang susah payah di sajikan Hendra untuknya.     

Perempuan ini memilih masuki ruang berbentuk huruf m. Ruang yang dipenuhi deretan baju miliknya dan milik suaminya. Tika begitu canggung berada di tengah-tengah sepasang suami istri yang terbungkam, tak saling bicara.     

Inginnya Tika keluar saja, tapi Aruna beruang kali memastikan Tika berada di dekatnya.     

Hendra memunguti kembali apa yang sudah dia siapkan, lagi-lagi membuntuti perempuan, memasuki ruang baju.     

Istrinya berada di sana, menurunkan piama handuknya di bantu seorang asisten. Luka pada punggung tersaji -merah. sejenak asisten mundur ke belakang memilih baju untuk nonanya, " keluarlah, biar aku yang mengurus istriku," Tika mengangguk ringan kepada lelaki yang tangan kanannya tersampir 2 potong baju serta telapak Tangannya menggenggam potongan kain yang biasanya berada di dalam tubuh Perempuan.     

Ekspresi penyesalan masih setia ia sajikan. Aruna menatapnya dari bayang-bayang di cermin. Ketika lelakinya sudah menyentuh lengan atas Aruna, dia tahu pria tersebut menamati tubuhnya, tubuh yang hanya berbalut segitiga pada bagian bawah sana.     

Lelaki bermata biru menatap wajah serta tubuh istrinya dari pantulan cermin. Menyentuh epidermis bagian perut, tak lagi rata.     

"Kamu dan bayi kita," ada jeda sejenak, "harta yang paling berharga untukku," ungkap Hendra meraih kain di lengan dan memindahkannya di bahu sisi kiri, "bagaimana mungkin aku lancang menyakiti dua manusia yang berhasil mendatangkan kebahagiaan terhebat di hidup lelaki sepertiku," Hendra hati-hati menyajikan sebuah lubang lengan untuk Aruna. Betapa leganya mata biru ketika harapannya ter sambut.     

"hee.." tawa ringan mengutuki dirinya, "benar-benar tidak tahu diri pria ini," sekali lagi Hendra menyajikan lubang lengan untuk Aruna sambut.     

"berani-beraninya melukai hati penyembuh traumatic ku, tidak tahu diri banget ya aku," mata biru mengaitkan buah kancing dari arah atas menuju ke bawah, sedangkan perempuannya sendiri melakukan hal yang sama, dari buah kancing paling bawah.     

"Mau nonton film bareng?" Aruna hanya meliriknya, ketika Mahendra beranjak ke hadapannya menyajikan rok untuknya. Aruna merebut ringan kain panjang selutut tersebut. Ia memakainya sendiri, masih tak mau bersuara.     

"Sayang ingat, nggak? Waktu Dea dan Surya mempertemukan kita? makan steak daging bareng-bareng?" Aruna konsisten terbungkam.     

Dada berdesir, "tempat itu masih sepesial bagiku, walaupun kita hanya bertemu sesaat di sana, sepeti perjumpaan tanpa di sengaja, walaupun ternyata setingan, hari itu aku sangat bersyukur bisa melihatmu lagi setelah kita saling menjauh," Aruna melangkah keluar raungan.     

"Aku sudah reservasi semua kursi malam ini," Aruna tidak mau berhenti untuk sekedar mendengar ucapannya. Terdengar suara nafas di hela sang pria.     

Dari pantulan cermin membentang tertangkap tangan kanan lelaki naik menyibak ke belakang rambut kecokelatan miliknya.     

Ia menarik handphone dari sakunya, membalas pesan yang berjejer memenuhi notifikasi.     

[Maaf, aku belum bisa menemui kalian] pesan ini di gulirkan Hendra kepada Pradita dan Raka.     

Sedetik kemudian panggilan datang, [ada informasi penting yang harus anda terima, Presdir]     

[Aku tahu, bagaimana kalau kalian sampaikan via telepon saja? Atau nanti malam kita meeting online] Yang di sana terkekeh.     

[Kita bisa menunggu Anda di sini sampai Anda senggang] balas Raka yang kini tengah berada di ruang kerja Mahendra. Kedatangan dua orang pimpinan lantai D bukan atas dasar undangan tuan mereka. Keduanya berniat menemui Mahendra secara mandiri, berniat mengungkap sebuah fakta.     

[Kau boleh menertawakanku, tapi istriku sungguh tidak bisa jauh dariku] yang di ujung sana saling memandang satu sama lain dan laki-laki yang tubuhnya lebih kekar mengangkat kedua bahu serta tangan. Kalimat Mahendra terdengar asing dan cenderung lucu, bukankah dia seorang workaholic. Bukan cuma lupa waktu, lupa makan, bahkan sering kali lupa pada perempuan yang kabarnya selalu menunggu kehadirannya sepanjang hari. Itulah yang selama ini diketahui Raka dan Pradita.     

[Hari ini aku tidak bisa meninggalkannya, sekedar beda ruangan pun aku rasa belum bisa] Lagi-lagi yang berada di ujung sana melempar senyum ganjil satu sama lain.     

[Anda serius?]     

[Sungguh! Aku sedang berusaha supaya tidak ada trauma yang menghinggapi istriku] handphone yang sengaja di loudspeaker untuk diperdengarkan 2 orang sekaligus tak lagi mendatangkan senyuman, keduanya terbungkam detik ini.     

[Sejujurnya informasi ini tidak layak disampaikan tanpa tatap muka, namun kalau itu yang anda inginkan apa boleh buat]     

[Ya, kembalilah pada kesibukan kalian masing-masing kutahu aktivitas kalian cukup padat] ada yang mengangguk ringan.     

[ malam nanti, andai ada kesempatan, biar aku sendiri yang menghubungi kalian] panggilan Handphone dimatikan. Lelaki bermata biru meninggalkan ruang baju.     

***     

Lelaki bertubuh besar dan kekar keluar menutup pintu selepas lelaki lain yang berkacamata telah keluar dari ruangan yang sama.     

Ketika mereka melangkah untuk pergi, bunyi langkah berlari hadir dari arah belakang keduanya.     

"Raka.. Pradita..?" perempuan memanggil dengan riang keberadaan dua laki-laki tersebut. Spontan keduanya menoleh ke belakang.     

Pelukan hangat menyambar dua pria sekaligus.     

"Leona?" suara Raka terdengar biasa saja, seolah tidak terkejut oleh keberadaan Leona di rumah induk. Pradita secara halus perlahan menjauh. Lelaki berkacamata tersebut pernah dekat dengan Leona sebelum akhirnya perempuan ini memilih Thomas yang konon lebih mudah diajak berkomunikasi ketimbang dirinya.     

Cukup umum bagi manusia-manusia yang memiliki latar belakang teknik, apalagi teknik informatika. Pekerjaan mereka berkutat pada mesin elektronik, minim kosakata dan tidak memiliki kemampuan bicara yang menyenangkan.     

"tidak ada yang ingin merayakan kedatanganku?" tanya Leona riang.     

"Aku tidak," tegas Pradita, mengamati jam yang melingkar di pergelangan tangan.     

"gitu ya, bagaimana dengan Raka," Kembali Leona bertanya.     

"sejujurnya aku memilih untuk tidur andaikan punya waktu lain selain bekerja," kalimat ini ungkapan yang biasa diucapkan para pekerja lantai D, ketika mereka teramat sibuk.     

"huuh, sepertinya kalian sangat sibuk,"     

"Yah.. kami terhantam masalah bertubi-tubi semenjak kepergian Thomas," masih jawaban Raka. Pradita memilih memeriksa handphonenya.     

"Raka, kalau kamu ingin berlama-lama, aku pergi dulu. Anak buah ku bilang Vian mencariku," maksud Pradita pasti Vian punya hal penting yang harus diketahui oleh dirinya.     

"Sorry, Leo.. kita harus pergi," Leona mengangguk, dia mengiringi jalannya mobil hitam yang membawa rekan sejawatnya.     

***     

"Huk.. hueks.." Aruna tidak terlihat pada tiap tangkapan mata di ruang utama kamar mereka. Mahendra buru-buru mencari sumber suara, pintu kamar mandi terbuka, dan dari situlah suara menggelisahkan terdengar ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.