Ciuman Pertama Aruna

III-134. Lenguhan



III-134. Lenguhan

0"Susi," ini suara Aruna. Susi paham kode ini, ajudan tersebut menunduk sejenak lalu menuju pintu dan menutupnya rapat.     
0

"Beri aku ciumanmu Aruna," perempuan yang terpanggil namanya, memandang damai wajah suaminya.     

Lelaki yang duduk di tepian ranjang dan menghamburkan pelukannya untuk sang istri mendapati belaian pada rambut kecokelatan miliknya. Menyusupkan jari-jari mungil di sela-sela rambut dengan gerakan ber- ritme lambat ialah keahlian Aruna.     

Cara memuja lelaki ala perempuan ini benar-benar membuat mata biru membeku. Mahendra menarik wajahnya, membuat jarak supaya ia bisa melihat mata Aruna.     

Mata perempuan menatap berbinar sebelum memberi denyutan pada bibir bawah suaminya. Mahendra serta merta lupa luapan rasa marah yang tadi bergemuruh di dada, membakar hati.     

Bibir bawah lelaki tersebut di tarik lalu kembali di susupkan ke dalam cecapan. Hendra tidak membalasnya, dia ingin tahu rasanya di cium Aruna. Ingin tahu bagaimana istrinya menumpahkan rasa.     

Dadanya berdegup kian kencang tatkala perempuan dinginnya menjalarkan rasa nikmat lain, berupa lidah menjulur masuk ke dalam mulut. Mahendra terpejam dan mulai kehilangan rasa ingin menikmati, dia ingin mendominasi. Pada akhirnya mata biru sendiri yang tak tahan, menangkap lidah Aruna lalu menyesapnya. Bibir mungil itu tersesap berulang.     

Entah apa yang terjadi, Aruna hampir tak ingat kapan Hendra meletakkan kedua tangannya di leher Aruna. Kedua tangan itu berpadu, kompak beradu yang mana ujung-ujung jari di belakang leher sang istri kecuali ibu jari, Saling bertautan. Sebagaimana masing-masing jempolnya mendorong rahang perempuan naik ke atas, mendongak sempurna, untuk menerima permainan lelaki yang menggelapkan matanya sendiri, lelaki yang kian lama kian brutal.     

"Hen.." perempuan meremas piama, mencengkeram balutan kain yang melekat pada tubuh Mahendra. Hendra tak mau berhenti, padahal desahan mereka lebih dari menjadi-jadi.     

Selepas mengabsen susunan gigi sang istri, mata biru menghisap bibir Aruna sekali lagi. Rasanya seluruh Saliva Aruna menghilang tak tersisa detik ini juga.     

Barulah Hendra melepaskannya, melepas dekapan tangan di leher.     

Sekejap berikutnya Mahendra membuka mata. Ia baru sadar kelakuannya membuat perempuan yang tadi menerbitkan pandangan mata damai berubah terengah-engah. Aruna yang mencengkeram kuat piama, menarik meminta lebih.     

***     

[Maaf. aku tak bisa bergabung, Aku baru keluar rumah induk] Wisnu menghubungi timnya. Di ujung sana Wisnu mendapatkan pesan berupa ungkapan 'tak masalah asal kamu berhasil menutupi keberadaan black Pardus'.     

Wisnu ingin sekali membalas pesan dari timnya, tentang kenyataan bahwa keberadaan mereka telah diketahui. Pertengkaran hebat dua pimpinan tertinggi Djoyo Makmur Group. Sejujurnya memperdebatkan misi yang akan di jalankan black pardus malam ini.     

Sama seperti harapan mayoritas manusia yang berada di bawah naungan Djaya Makmur Group, terutama penghuni lantai D. Terkait hasrat menuntut balas atas perilaku tarantula selama ini. Wisnu memutuskan untuk memendam pengetahuannya. Membiarkan teman-temannya tetap beraksi.     

Ia mematikan handphonenya. [Good luck] memutuskan menebar semangat untuk timnya.     

***     

Mahendra bangkit dari duduknya, sejenak lesung pipinya tertangkap lagi. Ia tersenyum lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.     

Aruna termenung cukup lama, sebelum akhirnya berdiri dan berjalan menyusuri jendela kaca. Di luar masih hujan, hitam, gelap, kadang kala gelegar menyapa pendengaran. Perempuan tersebut rindu suara hujan, ia membuka jendela kaca yang tersaji satu persatu semua jendela di kamar berukuran besar ini terbuka lebar.     

Aruna tidak menyadari suaminya sudah kembali dari kamar mandi. Mengubur dirinya dengan menyusup ke dalam selimut lalu memejamkan mata. Ia berbaring terlentang menghadap atas. Tidak menghadap dirinya seperti tiap-tiap malam yang disajikan Mahendra.     

Aruna sempat mendekat, mengamati Mahendra yang terkesan angkuh memilih memejamkan mata tanpa permisi. Tak lama langkah kaki mungil itu menghilang ke dalam ruang baju. Giliran ia kembali, ia tak lagi berpakaian sama. Pakaiannya kini menampakkan lekuk tubuhnya. Dress dengan bahan kain jatuh yang memperlihatkan belahan dada. Bagian bawah pun sangat minim. Ketika ia bergerak menaiki ranjang tidurnya mudah sekali segitiga yang letaknya di dalam tertangkap mata.     

Tangan kanannya menggenggam sebuah kain penutup mata, sambil menyusup mendekam di dalam selimut, dia mendekap dada suaminya.     

Perempuan ini membuka tangan kanan Mahendra. Ia meletakkan kepalanya di lengan lelaki bermata biru, "Daddy sudah tidur?" Mendengar pertanyaan Aruna, Mahendra menggerakkan tubuhnya miring ke kanan. Masih enggan membuka mata lelaki tersebut memeluk tubuh sang istri.     

Aruna bisa melihat seluruh wajah lelaki bermata biru yang tersaji di atas kepalanya dengan mendongak. Walaupun terpejam, intuisi Mahendra seolah bisa melihat Aruna yang sedang menatap ke arah wajahnya, Hendra menenggelamkan kepala perempuan pada ceruk leher. Dia mengelus rambut pendek sebahu.     

"Aaah.." Hendra buru-buru membuka matanya. Mulut perempuan melumuri lehernya dan kini berani menggigit. Menyesap ke sekian kali tanpa permisi.     

"Apa kamu tak sadar, kamu sakit?" suara lirih mata biru beradu dengan embusan udara hujan dan berisik air jatuh ke bumi. Angin malam menerbangkan kain-kain di seputaran jendela.     

Perempuan yang kelakuannya menggelisahkan tidak membalas apa pun. Ia malah mendorong bahu kiri Mahendra sehingga pria ini kembali berbaring terlentang. Bisa dibayangkan bagaimana mata lelaki yang tubuhnya kini dinaiki sang istri membelalak lebar.     

Aruna yang saat ini duduk di atas perut suaminya, ia bisa juga tersenyum nakal. Perut lelaki di bawahnya terapit oleh dua paha perempuannya. Mata biru yang mengamati polah tingkah perempuan mungil bermata coklat hanya bisa menelan saliva. Ketika ia perlahan bergerak mendekati wajahnya. Aruna lagi-lagi memberikannya ciuman.     

Mahendra tak bisa menolak kenikmatan miliknya, dengan menekuk satu kaki membentuk sudut lancip segitiga serta sebuah tangan memegang kepala perempuan dan tangan lainnya meremas si kenyal di ujung dress. Tuan muda Djayadiningrat sama nakalnya.     

Kali ini lenguhan nafas di dominasi pria yang bernafsu membanting tubuh perempuan. Lalu menjalankan imajinasi liar di kepala.     

***     

Mobil berputar-putar tak tahu arah, tiba-tiba meminta berhenti di sebuah minimarket dengan todongan HS-9 di bagian punggung belakang. Thomas berhasil mendorong tubuh Leona untuk berbelanja beberapa bahan makanan. Entah apa yang dipikirkan Thomas. Lelaki tersebut juga meminta perempuan yang tertodong untuk membeli handuk.     

Giliran perempuan yang menjadi pengemudi kembali menancapkan gas mobilnya. Pria berambut panjang yang tengah membajak mobil Leona mendapatkan panggilan.     

Masih setia memegangi pistol mengarah ke kepala Leona. Thomas sibuk mengeluarkan handphone dari dalam tas.     

[Iya Kiki] Suara ini berpadu dengan gerakan meletakkan smartphone di telinga.     

[Thomas, kamu di mana? Kenapa belum pulang?] Suara kegelisahan perempuan yang biasanya berintonasi kaku dan galak. Detik ini lebih mirip seorang ibu yang menyajikan kekhawatiran terhadap anak lelakinya.     

[Aku?] Lelaki yang memegang HS-9 sedang merawang mencari jawaban. Dia juga mendapat lirikan mata dari tawanannya.     

[Malam ini aku tidak pulang, tapi aku baik-baik saja jangan khawatir]     

[Bagaimana aku.. gimana caranya supaya tak khawatir?] Yang di ujung sana tengah marah.     

[Jangan marah aku baik-baik saja]     

[Apa aku perlu, menemui lelaki bule yang ada di Instagram kemarin?]     

[Tidak perlu, karena aku baik-baik saja]     

[Thomas..] suara Kiki samar-samar terdengar telinga Leona. Mobil bergerak lambat. Sebab pengemudinya berupaya menangkap gerak-gerik pria yang mendapatkan panggilan.     

Thomas memindah panggilan handphone mode suara menjadi mode video. " parkir mobilnya!" perintahnya kepada Leona. Tepat ketika mobil berhenti di tepian jalan. Ada yang lupa, dia menurunkan pistolnya. Cukup aneh, Leona tidak berniat melarikan diri.     

[Hai.. aku baik-baik saja. Kau sudah puas?]     

[Apa.. nak Thomas pergi karena ucapan bapak] di ujung sana bukan cuma Kiki yang tertangkap layar kamera handphone Thomas. Bapak turut hadir, begitu juga adik-adik Kiki yang sempat terlihat.     

[Bukan, bukan begitu?] Thomas menggaruk sudut lehernya. Leona yang sedang memegangi setir mobil, tak kuasa untuk tidak melirik interaksi Thomas dengan sekelompok orang, -entah siapa-.     

Terlebih Leona hafal gerakan menggaruk sudut leher itu, kebiasaan Thomas tatkala ia merasa bersalah.     

[Kak Thomas makasih motor barunya..] suara Laila atau yang biasa dipanggil Lala muncul dari bawah layar handphone. Senyum Thomas terbit. Mengimbangi senyum Laila.     

[Sudah sampai motornya?]     

[Laila minggir dulu, Kakak mau ... ....      

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang menjadikan novel ini semakin menanjak : -D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.