Ciuman Pertama Aruna

III-136. Fluida Pekat (Menikah+)



III-136. Fluida Pekat (Menikah+)

0Tawanya terbit, membumbung dan bergema memenuhi ruangan, tawa itu berbenturan dengan suara lain di luar. Hujan dan malam yang dingin sempurna untuk mendapatkan gigitan nakal di ceruk leher.     
0

Kelakuan perempuan mungil menjarah bulatan-bulatan pengunci bajunya. Menyajikan gigi putih tersusun rapi ketika Mahendra mengamati betapa lincahnya tangan lembut, halus, kadang kala bak bayi. karena tipisnya permukaan kulit telapak tangan Aruna. Walaupun ujung ibu jari dan ujung jari telunjuk tampak tebal dibanding yang lain. Sebab mahasiswi desain mudah lupa, Sudah berapa lama tangannya digunakan untuk memegangi mouse tatkala membuat desain.     

Gigi rapi itu kian melebar, tawa ringan kembali terdengar. Manusia kecil sudah menjadi penguasa. Membuka lebar permukaan dadanya. Lebih lincah lagi ketika ia menenggelamkan kepalanya untuk menyesap pucuk dada yang tak sebesar apalagi sekenyal milik pelakunya.     

"Sayang please stop!" Hendra beberapa kali memungut kepala istrinya, supaya memberi jeda. Terutama ketika nalurinya sudah mencapai ubun-ubun.     

Bagaimana bisa mulut kecil itu. Memberinya listrik kegilaan selain menautkan ciuman pada bibir.     

Kenakalan candu pertama yang kini bergeser menjadi nomor dua berhasil memberinya hadiah berupa tanda pada seputaran kedua pucuk dadanya.     

"siapa yang mengajarimu senakal ini," Mahendra membangkitkan tubuhnya. Kepalanya naik, mengintip perilaku nakal pemberi noda merah di dada, menatap perempuan yang mendongak menangkap wajahnya.     

Istrinya tersenyum, senyum yang melambangkan kepuasan berhasil menjarah dan berkuasa malam ini. Ia bergerak naik ke atas. bahkan kedua paha itu sudah berhasil naik mencapai setengah dada Mahendra. Ketika tubuh ringan, dan terlihat mudah sekalian andai Hendra berkenan membantingnya.     

Tengah melengkung merapatkan dahi miliknya dengan dahi milik Mahendra.     

"kau tahu aku tidak berani menonton video dewasa? Semua kenakalan ku belajar darimu," matanya menyipit, seolah sedang merencanakan siasat berikutnya. Benar saja bibir itu baru saja menyesap kuncup dadanya kini melesak masuk dan melumat bibirnya.     

Lenguhan terbit bukan dari perempuan, tapi dari laki-laki yang tengah berusaha keras tidak membanting si kecil nakal. Guratan usahanya meredam imajinasi liar di dalam otak, memaksakan kedua tangan menjerat sela-sela ukiran dedaunan yang disajikan kepala ranjang. Tangan Mahendra menggenggam sulur dedaunan kayu ukir milik kepala ranjang.     

"Argh," lenguhan ini terbit tatkala bibir tipis melepas cecapannya di antara nafas ngos-ngosan milik lelaki. Lalu meninggalkan jejak Saliva pada Pina bahkan melumuri helix -nya.     

"Stop! A- ah aku.." pria ini protes tapi tak dibiarkan. Mulut protesnya disumpal candu ketiga yang serta merta membuat pria berambut coklat damai seketika.     

Perempuan yang sejak tadi menyiksa laki-lakinya, kini disiksa lelaki. Mahendra tak bisa mendekap erat punggung perempuannya. Tapi dia bisa menjerat kedua lengan segenggam Aruna. Perihal benda yang nanti harus dia bagi secara bergilir, kurang lebih 8 bulan lagi. Hari ini harus dinikmati sepuas puasnya mumpung masih hak milik tunggal.     

"Hen.." resah Aruna tak di izinkan berpindah dari posisi yang sama, "Hen!" panggilan yang awalnya lembut berupa protes, "kau bisa melukai nya sudah cukup," kalimat ini bercampur dengan tiupan di pelupuk yang menyembunyikan kornea mata biru agar mau mengerjap, segera membuka mata dan sadar, hendra terlalu lama.     

"Huuuh," ini suara Hendra, akhirnya mau melepas candu ketiga.     

"sayang, aku yang kanan, baby yang kiri," kalimat Mahendra mulai ngaco.     

"Kenapa begitu?"     

"Nanti kalau dia rakus dan menguasai keduanya, aku hanya dapat sisanya doang," mulutnya ditekuk, seperti bocah kecil dengan mimik wajah serius. Hendra bicara sambil mengusap, mengeringkan bekas denyutannya.     

"logika macam apa itu," hina Aruna.     

"Aku sudah memikirkannya matang-matang, pembagian metode ini paling adil. Kalau tidak, aku selalu dapat bekas," lagi-lagi memasang wajah serius. Menatap seluruh tubuh perempuan yang bajunya terbuka mirip jagung muda baru dikupas.     

"bukannya dua-duanya bekasmu?" sarkas Aruna bergerak ke bawah dan sekali lagi tangan mungil lembut itu melakukan penjarahan. Menjarah celana pria.     

Kalimat tanya istrinya membuat Mahendra tersenyum puas, "benar juga," kornea mata biru kembali tersembunyi di dalam pelupuk yang menyempit, "Aku.. a- Ah.. ah.. Aaarrgh," telapak tangan tipis mengelus bagian yang paling sensitif. Dan lagi-lagi Hendra mencari pegangan, sulur-sulur daun di ukiran kayu yang sela-selanya menyisakan sisi kosong tersusupi jemari tangan mata biru. Dia seolah akan merobohkan kepala ranjang ketika berdecap saat miliknya terbenam di dalam tempat yang paling ia inginkan.     

Perempuan itu bergerak lambat dan halus, tangannya menyentuh dada. Ritme lambat mengakibatkan isi kepala laki-laki ini berkecamuk bukan main. Terlebih saat yang di bawah sana melumuri miliknya dengan fluida yang ikatan antara partikelnya begitu kuat dari pada ikatan partikel zat cair biasa. Fluida yang lebih pekat, lebih hangat. Dan tentu saja Hendra kembali berdecap siap merusak ukiran cantik di kepala ranjang tidurnya.     

"Kreak.." suara pertahanan Mahendra, mengoyak kepala ranjang. Berusaha setengah mati menahan diri menghadapi perempuan hamil dengan punggung terluka.     

Aruna bergerak lagi, dan Lagi-lagi lambat, "Aku bisa gila!" Dia mengeluh pada akhirnya, "Stop! Please! jangan terus-terusan begini," Mahendra bangkit dari tidurnya. Mengakibatkan perempuan di bawah sana terkejut, mendapati lelakinya kini merengkuh tubuhnya. Lalu mengangkat pinggang dan melepas tautan mereka.     

"Kenapa?" suaranya lembut, polos.     

"Apa kau lupa? Ritme tadi bukan kesukaanku, terlalu lambat bisa-bisa otakku konslet," mata biru menggerutu. Tak habis pikir, dia menggerutu di tengah suasana deburan ombak dua anak manusia yang madu hasrat.     

"He.. hehe.." bukannya kasihan aruna terkekeh. Aruna tahu suaminya sering kali tak sanggup menahan kemelut naluri biologisnya sendiri ketika terlalu tinggi dan ia benar-benar tersiksa andai tak di izinkan menyalurkan sesuai kehendaknya. Hendra selalu ingin berkuasa daripada dikuasai.     

"Aku mau, aku yang bergerak!" Protes itu dilayangkan seperti sekelompok pedemo yang membawa plakat bertuliskan 'Selang****an istriku urusanku!' perut Aruna geli rasanya raut wajah protes mata biru berakhir kebingungan.     

"kapan aku bisa di atas," dia bersedih, wajahnya murung bukan main. tampaknya ia mengamati punggung Aruna.     

Aruna bergerak merambati sulur bunga lili, lalu mendapatkan penutup mata di tangannya. Menyerahkan gulungan sapu tangan di atas telapak tangan suaminya.     

"Setan bermata biru," bisik Aruna, berupa embusan hangat di telinga. "sekarang kau diizinkan melakukan apa pun yang ada di kepalamu,"     

Lesung pipi lelaki itu spontan menyapa lawan bicaranya, ia tangkas meraih 2 bantal lalu menumpuknya, "supaya baby kita aman," pesannya kali ini terdengar bijak. Lalu meminta Aruna tengkurap memeluk 2 bantal. Detik berikutnya Mahendra mengikat kepalanya dengan gulungan sapu tangan penutup mata.     

Jangan tanya apa yang terjadi berikutnya, pria itu membuat pelepasan pertamanya setelah berjuang keras menahan kebrutalan yang sudah ia rangkai di otak.     

Kenyataannya dia lembut demi istrinya.     

.     

.     

" istirahat 10 menit," kata mata biru menyerahkan gelas berisikan air putih segar.     

"Hemm??" Aruna meneguk air di dalam gelas sambil mengamati pria yang mengelusi tepian punggungnya. Perempuan ini menerbitkan ekspresi bingung.     

"Apa.. 10 menit terlalu cepat?"     

"Ada lanjutannya?" tanya Aruan.     

"kado untukku harusnya lebih spesial, -bukan begitu?" Mata biru menerima gelas kosong, lalu menuruni ranjang, berjalan mengitari separuh tempat tidur dan meletakkan gelas kosong di atas nakas.     

"Kado??" Aruna mengerutkan keningnya.     

"Jadi yang tadi bukan kado?"     

"Aku tidak mengerti kamu bicara apa?" _Kenapa membicarakan kado?_ kadang ucapan Mahendra sulit diterka istrinya sendiri.     

"Ah' terserah lah apa pun istilahnya," Hendra tersenyum menebar semburat putih gigi rapi miliknya, selepas ia meredupkan cahaya, mendinginkan temperatur AC dan lebih parah lagi meraih kaki perempuan.     

"sambil menunggu tenagamu pulih, berbaringlah," bukan pijatan yang di tawarkan. Dia lebih gila dari dugaan perempuan yang kini setengah tengkurap melepas lelah.     

***     

Sekelompok lelaki berpakaian hitam menuruni kuda besi berbentuk balok. Menyisakan satu orang saja. Satu orang tersebut lekas mengubur konsentrasinya pada seperangkat komputer yang sengaja di pasang pada mobil khusus tersebut.     

Tiga laki-laki berjalan menembus hujan dan malam. Mereka melebur menjadi satu dengan bulir-bulir air yang enggan pergi. Atap bumi mengirimkan sinyal akan datangnya narasi panjang, tepat di mana kelompok baru sedang menjalankan tugas pertama mereka.     

Herry, Rolland dan Alvin menyingkirkan keraguan. Bergerak cepat, melompat, menaiki tembok rumah ... ...     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang menjadikan novel ini semakin menanjak :-D      

IG bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.