Ciuman Pertama Aruna

III-137. Ingin Menjadi Kunti



III-137. Ingin Menjadi Kunti

0"Kenapa memunggungiku," suaranya serak dengan tekanan intonasi yang kuat pada ujung kalimatnya. Lelaki paruh baya baru saya mendapatkan bantuan sekretarisnya naik ke atas ranjang. sayang sekali teman tidurnya memutar tubuh dan hanya menyajikan punggung.     
0

"Kau senang?" Kembali lelaki tersebut berujar sembari merapikan selimutnya. Cukup lama terdiam, akhirnya dia memilih menurunkan posisi duduknya menjadi terbaring -hendak tidur. Sedetik berikutnya gerakan merapikan selimut perempuan yang tadi sempat memutar tubuh sehingga menghadirkan punggung mengakibatkan selimut terbuka, lalu ditutup lelaki paruh baya.     

"Sudah cukup!" secara mengejutkan perempuan yang terdiam seribu bahasa menyuarakan isi hatinya, "Apa kau tak lelah mengatur kehidupan orang lain," perempuan yang memunggungi laki-laki seolah ingin menoleh, melihat bagaimana ekspresi yang tersaji dari pria yang ia ajak bicara. Tapi di urungkan.     

"kesatria wajin mempertahankan janjinya, seperti Bisma yang berakhir di panah Srikandi," bukannya menjawab keresahan perempuan yang memunggunginya, lelaki ini malah menerbitkan perumpamaan.     

"tapi kamu bukan Bisma, Bisma tak beristri, tak memiliki putri, apalagi cucu," perempuan itu menyanggah lawan bicaranya.     

Lama mereka saling terdiam, "berputarlah, jangan memunggungiku," tangan besar yang menampilkan banyak kerutan karena termakan usia menyentuh bahu perempuan yang tengah jengah lawan bicaranya.     

"Kali ini, aku akan seperti ini (tidak memedulikanmu), sampai kau mencukupkan keinginanmu mengatur hidup cucuku,"     

"Jadi benar, kau senang?" ungkapannya cukup membingungkan bagi orang yang tidak mengerti asal mufasal komunikasi mereka.     

"kita semua tahu, betapa hancurnya Mahendra mendapati istrinya dianiaya. Mereka mengincar kandungannya, tidak ada perempuan yang tidak bangga mengetahui ada suami yang menuntut balas untuk istrinya," perempuan yang menyajikan punggung tersebut duduk dari pembaringan. Meraih lampu tidur yang ada di atas nakas untuk dinyalakan lebih terang.     

Dimasa Lalu ada perempuan yang kehilangan janin di kandungan, tetapi suaminya tak bisa berbuat banyak.     

"sedangkan kamu! Kamu ingin menikahkannya lebih dari satu istri, cih!," perempuan paruh baya itu kini meraih kacamatanya, "supaya dia tidak bersedih berlarut-larut jika terjadi sesuatu pada salah satu istrinya, cara berpikirmu lebih aneh daripada rezim otoriter," perempuan tersebut bangkit.     

"kau mau ke mana Sukma?!" Wiryo bangkit, duduk, merelakan pembaringannya.     

"Huuuh," Sukma akhirnya berkenan melihat Wiryo, kacamatanya membenamkan mata berkilat yang telah ia usung, "akhirnya aku bisa mengatakan ini: 'Aku lelah, Aku lelah mendampingimu'," perempuan ini kembali melangkah, tampaknya menuju pintu keluar.     

"berhenti!" suara dingin, serak dan pada ujung kata ditekan kuat, "kau mau ke mana?" kata tanya ini terbit dari hati yang ingin meledakkan kemarahan.     

"Aku ingin tidur bersama putriku mulai malam ini," perempuan tersebut hampir meraih hendel pintu.     

"kamu ingin memamerkan pertengkaran kita,"     

"Huuuh," kembali Sukma menghela nafas panjang, ia memutar tubuhnya mendapati suaminya mencoba meraih kursi roda, "putriku, akhirnya menemukan dirinya setelah puluhan tahun, dia pasti memahami keputusanku," Sukma benar-benar meraih hendel pintu.     

"Berhenti!" Lelaki yang tak berhasil menaiki kursi rodanya menggertak istrinya sendiri.     

"jangan sampai kau berani melawan perintahku,"     

"Wiryo! kali ini aku ingin menjadi Kunti (berjuang merawat putra-putranya sebagai ibu yang tangguh), aku tak sanggup terus-menerus berperan seperti dewi Madrim, mati bersama suaminya (menceburkan dirinya sendiri ke dalam api menyusul Pandu)," kalimat kiasan Sukma, merupakan majas asosiasi [1] yang nyata, terkait perjalanan pernikahannya bersama Wiryo.     

Sukma perempuan cerah yang mendampingi kehidupan Wiryo tanpa menuntut apa pun, dia bersedih bersama rasa sedih yang dihadirkan suaminya. Ikut merasakan sakit ketika suaminya sakit, walaupun perempuan ini tak diizinkan tahu apa pun yang ada di balik lelaki misterius yang meminangnya di usia muda dengan perbedaan umur yang terpaut jauh.     

Sukma sekedar perempuan penurut yang tak punya banyak keberanian untuk menuntut, mengikuti apa pun yang diinginkan Wiryo terhadapnya.     

"Apa kau berhak memiliki pilihan? Mau jadi apa dan ingin bagaimana?" Wiryo mencengkeram kursi roda. Guratan marah timbul bersama ketidak sanggupan nya menaiki kursinya sendiri.     

"Sukma berhenti!" Sukma tak habis pikir. bagaimana mereka yang sudah tua Ini masih bisa bertengkar dengan mengusung banyak kata. Harusnya saling terdiam lalu melebur bersama waktu. Kenyataannya Wiryo tidak setenang dirinya di luar kamar megah rumah induk yang mewah.     

Malam ini Sukma tidak memedulikan ujaran kemarahan Wiryo. Dia memutar hendel pintu, sampai sebuah ungkapan yang seharusnya terpendam dan tak layak diungkit setelah lebih dari 30 tahun perjalanan pernikahan mereka. Wiryo lempar malam ini, "haruskah aku memperingatkanmu?!" Wiryo mendorong kursi roda nya, kasar. bunyi benturan tak terelakkan.     

"Ingat baik-baik! Kamu dijual keluarga pamanmu kepadaku. Aku sudah membayar tubuh dan jiwamu," hendel pintu yang dipegang perempuan paruh baya itu bergetar. Bongkahan dinding besar seolah menghantam dada Sukma. Dan seketika kepalanya bukan lagi sekadar pening pada mata yang perlahan mulai kabur, atap rumah mewah ini tengah roboh menimpa tubuhnya.     

Sukma jatuh tersungkur dibalik pintu ukir Jawa yang kabarnya paling mahal di antara seluruh ukiran yang berada di rumah ini di karenakan kualitas seninya.     

***     

"Tok tok tok!" pintu diketuk dengan ritme cepat, tiga ketukan pertama diabaikan. Lagi-lagu ketukan berikutnya terdengar, tampaknya tidak cukup bagi pengetuk di luar sana.     

Dia, entah siapa, berani sekali mengganggu kenikmatan tuan muda Djayadiningrat bersenang-senang bersama istrinya.     

Betis yang digigit laki-laki seperti seorang vampir yang sedang asik menghisap darah, menekan kulit yang berada di tengah-tengah dua alis. Dia yang kini berpindah naik lalu menggigit sudut di belakang lutut masih mirip vampir, haus darah -lagi-lagi mengabaikan ketukan-.     

Sedangkan perempuan yang bersabda menjadi mangsanya berusaha bangkit, gerakan itu mengakibatkan kaki yang dikuasai pemangsa bergerak naik.     

Tentu saja pemangsa itu tidak terima, dia menjerat kaki perempuan yang detik ini tergigit kembali.     

Perempuan setengah tengkurap memutar tubuhnya, "mungkin ada pesan penting, keluarlah sebentar," kalimat yang diucapkan Aruna menghancurkan kesenangan Mahendra.     

Ekspresi kesal di tunjukan terang-terangan pada raut mukanya.     

Lelaki bermata biru, mau tak mau berdiri, meraih piama yang berserakan di atas sulur bunga lili. Piama tersebut lekas bergerak menutup tubuh, ikatan kuat disuguhkan dari cara pria menali jubah yang awalnya sebagai pelapis baju tidur miliknya.     

Dibalik gerakan itu perempuan yang terbaring di atas kasur bunga lili. Menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut.     

"Kenapa kamu mengganggu tidurku?!" Mahendra membuka salah satu pintu, perempuan yang tengah berdiri di hadapan pintu tanpa sengaja bisa melihat bagian dalam. Jubah yang menyajikan kaki telanjang Mahendra, serta dadanya yang tak sempurna tertutupi -sebagian dapat diamati. Warna-warna merah itu menaburi dada dan ceruk leher Mahendra. Termasuk bagian yang di dalam kamar, tampak berantakan, serta serahkan baju yang belum sempat dirapikan.     

_mereka bersenang-senang rupanya_ gumaman perempuan yang belum bisa mengalihkan pandangannya dari Mahendra.     

Seorang asisten rumah tangga yang diketahui Mahendra bernama Ratna, membungkuk, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan.     

Yang tidak diketahui Mahendra ialah, Ratna lah seseorang yang awal mula mengetuk pintu. Sebab merasa tak berhasil dia mengurungkan niatnya, tepat ketika Anna berjalan cepat melewati tangga yang menuju kamar tuan muda Djoyodiningrat. Nana mengambil alih apa yang seharusnya menjadi tugas Ratna, "Oma jatuh pingsan, beliau belum siuman,"     

Mahendra mengingat pertengkarannya dengan tetua Wiryo. Lelaki bermata biru menduga, bisa jadi hal tersebut pemicunya. Terlebih pertengkaran hebat dengan suara yang membubung tinggi, serta kalimat-kalimat tajam maupun kata larangan di langgarnya malam ini.     

Laki-laki itu bergerak cepat, meraih celana serta bajunya.     

"Ada apa Hen?" Aruna turut khawatir. Perempuan bermata coklat ini ingin mengikuti gerak langkah suaminya, sayangnya pintu kamar remang tersebut masih terbuka.     

Ada perempuan yang berdiri di sana, sumber cahaya yang paling terang dari luar kamar masuk menuju ke dalam, terhalangi tubuh Nana yang berdiri memegangi pegangan pintu yang terbuka satu sisi saja.     

Mahendra menghilang di balik lorong kamar mandi, dua mata perempuan bertautan saling menatap di tengah-tengah kegelapan. Bedanya perempuan yang satu berdiri sedangkan yang satunya setengah duduk menutupi dirinya menggunakan selimut tebal.     

Tak butuh waktu lama Mahendra keluar, dia tampak lebih segar serta bersih. celana dan baju lengan panjang yang biasa menemani tidurnya seraya terlapisi piama beludru lembut yang tadi yang ia gunakan sementara.     

"sayang, tunggu di sini sebentar. Aku ingin melihat kondisi Oma,"     

"Hen," suaranya bergetar, "kamu tahu aku tidak bisa ditinggal? Aku tak sanggup sendirian," tangan mungil perempuan menjerat jubah beludru mata biru.     

.     

.     

[1] majas asosiasi adalah sebuah ungkapan dengan gaya bahasa yang membandingkan dua hal yang berbeda yang didasarkan pada persamaan dari kedua hal tersebut sebagai bahan perbandingan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.