Ciuman Pertama Aruna

III-140. Gelombang Suara Wiryo



III-140. Gelombang Suara Wiryo

0Sejujurnya outfit dan tiap-tiap perlengkapan malam ini ialah hasil curian black pardus dari bungker inventaris tim Raka, divisi keamanan. Termasuk yang kini tengah di jalankan Jav yaitu seperangkat komputer khusus serta Drone yang sudah direkayasa oleh tim Pradita, sama-sama hasil curian black Pardus. Kecuali mobil yang mereka gunakan, bagian yang disiapkan Mahendra.     
0

Itu sebabnya siang sebelum kedatangan black pardus, Hendra tidak berkenan berjumpa Raka maupun Pradita. Mata biru sengaja, dia tahu kemungkinan besar kedatangan dua pimpinan lantai D tak ubahnya seputar laporan ke mangkir-an yang terjadi di lantai bawahnya tanah tersebut. Padahal kemangkiran tersebut di kehendaki oleh Mahendra sendiri.     

Hal itu disebabkan tim kecil bentukan Mahendra kesulitan mendapatkan peralatan canggih se-mutakhir milik tiap-tiap devisi lantai D. Seperti yang mereka kenakan malam ini. Kelimanya belum memiliki kapasitas layaknya para petingginya dalam hal jual beli barang-barang yang tak ada di pasaran.     

Latar belakang ini lah yang menjadi asal mufasal pengetahuan Wiryo terkait jaringan hitam bentukan Mahendra. Black pardus lupa mereka mencuri seperangkat peralatan manusia 1000 mata Pradita. Setelah siang itu tidak bisa menjelaskan apa pun kepada Mahendra. Pradita membuat pengamatan lebih mendalam terkait kehilangan inventarisnya. Dan dia menemukan kelompok baru misterius di antara lantai D. Pradita dan Raka ialah Putra Wiryo yang tak bisa ditandingi kesetiaannya.     

Masih ingat bagaimana Raka memukul kepala Hendra, pewaris tunggal Djoyodiningrat, cucu asli ayah angkatnya sendiri. Tapi perintah Wiryo kali itu sangat tegas, "apa pun yang terjadi, kembalikan anak malang itu (Aruna) kepada keluarga Lesmana yang tengah murka," sehingga Raka tidak berbuat banyak selain perbuatan yang mengarah pada kacau dan berupaya melepas Putri Lesmana dari jerat cucu tetua Wiryo.     

Lelaki bermata biru yang terkesan sangat menggilai istrinya, memegang erat gadis malang seperti pria kehilangan akal.     

.     

Bersama bulir-bulir air yang jatuh dari langit dan mendung hitam yang enggan pergi dari bumi, tiga orang berbaju hitam melempar seorang laki-laki ke dalam mobil mereka. Pay bahkan tidak bisa melihat apa pun, mulutnya terkunci, matanya tertutup, tangannya borgol.     

.     

Ketika Pay membuka mata, yang ia dapati adalah ruangan dengan ventilasi sejengkal dan semua putih bersih, ranjang polos putih bersih, kursi putih bersih bahkan pintunya tidak bisa di prediksi berada di mana. Pay sadar ia tengah diisolasi. Memorinya bergerak mencari makna di setiap simbol-simbol yang mungkin bisa ia tangkap pada kejadian semalam. Sayang sekali hasilnya nihil. Ia hanya mendapati telapak Tangannya terbalut perban, lagi-lagi putih. Ini bukan mimpi, penyerangan senyap semalam dan ruangan putih ini nyata. Buktinya tanyanya benar-benar nyeri bekas bidikan senjata api.     

Tak ada satu pun simbol yang mampu ia baca. Pay bergerak memegangi kepalanya. Siapa musuh tuannya sehingga dia berakhir pada ruang berbentuk balok serba putih.     

***     

"sayang, tunggu di sini sebentar. Aku ingin melihat kondisi Oma,"     

"Hen," suaranya bergetar, "kamu tahu aku tidak bisa ditinggal? Aku tak sanggup sendirian," tangan mungil perempuan menjerat jubah beludru mata biru.     

Hendra menghentikan langkahnya, jubahnya tertarik oleh perempuan yang detik ini menyajikan Awan kelabu pada raut mukanya.     

"Huuuh," nafas Mahendra terbit di barengi ekspresi sama getirnya. Susah sekali menjauh barang sejenak saja dari Aruna.     

"sebentar, kamu tahu artinya sebentar?" kadang Mahendra ingat pekerjaan office yang saat ini di-hendel oleh Surya. Bahkan tidak tiap saat Surya bisa menghubunginya, Aruna lebih menyulitkan dari semua pekerjaan office. Sulit makan, tidak seperti dulu yang sama sekali tak pernah pilih-pilih makanan. Sulit untuk ditinggal. Sukanya mendekam terus di dalam kamar dan meminta Mahendra tak jauh-jauh darinya.     

Akhir-akhir ini Aruna juga sering kali melakukan hal unik di luar kebiasaannya, belajar make up. Dulu dia suka sekali membuat benda kerajinan tangan -apa pun itu- berserakan di dalam kamar.     

Sekarang hanya tinggal dua jarum rajut yang menghasilkan beberapa sepatu rajut kecil warna-warni. Dia bisa lupa tak tidur siang, lupa makan, demi belajar berbagai macam tehnik make up pada Tika. Maupun merajut bersama Ratna.     

Sedangkan Mahendra tiap kali izin sejenak keluar kamar ketika dia tengah asik dengan kesibukannya. Entah apa masalahnya, perempuan bermata coklat tidak mau ditinggal sama sekali, padahal ia sering kali sibuk sendiri.     

"Ratna akan menjagamu," rayu Mahendra, mengeraskan suaranya memanggil nama Ratna. Hendra tidak menawarkan Nana untuk menjaga Aruna. Hendra tahu mereka sempat bersitegang.     

"Ratna bakal membantumu mandi," lelaki bermata biru merundukkan tubuhnya, mengecup ubun-ubun perempuan, "nanti susul aku, Oma.." suara Mahendra tertahan. Mahendra ingat kembali, bisa jadi neneknya pingsan disebabkan dirinya melawan sang kakek.     

"Nona mau minuman hangat? Atau mau makan yang manis-manis?" tampaknya Ratna yang berada di antara sepasang suami istri ini. Mencoba membantu Tuan mudanya sehingga perempuan hamil tersebut berkenan melepas jerat tangan pada jubah suaminya.     

"Aku tidak mau ditinggal.." lagi-lagi Aruna mengeluh.     

"Tika saya minta datang, kabarnya dia bakal mengajari nona cara make up terbaru," senyum Ratna melebar, perlahan Mahendra mengusung langkah, pria tersebut menjauh, "oh ya setelah mandi.. anda akan di rias cantik, kita jenguk oma," akhirnya Aruna tersenyum. Ternyata Tika sudah muncul di balik pintu kamarnya.     

Aruna tahu punggung Mahendra ikut menghilang bersama kedatangan Tika. Tak apa ditinggal Mahendra, toh dia akan menyusulnya sebentar lagi. Setelah dirinya di rias oleh para asisten rumah induk.     

***     

Ketika Mahendra sampai pada kamar utama rumah induk, yang dihuni oleh kakek dan neneknya.     

Perempuan paruh baya tersebut sudah membuka mata. Sinar wajahnya penuh duka, kedatangan Mahendra seperti harapan baginya. Perempuan paruh baya mencoba bangkit, ketika Mahendra mendekat dia mendapat dekapan.     

"Bawa aku keluar dari kamar ini hen.. aku minta tolong padamu," ujaran yang berisi permintaan sarat makna. Memaksa Mahendra melirik keberadaan kakeknya. Lelaki di atas kursi roda, yang kini berada tidak jauh dari ranjang tempat tidur kamar utama, tak mengucapkan sepatah kata pun. Akan tetapi matanya mengamati Sukma lebih dari yang dibayangkan orang lain.     

"aku minta maaf, maafkan aku Oma.. Aku tahu aku lah yang membuat oma seperti ini," tampaknya Mahendra lebih bisa mengucapkan kalimat maaf setelah ia hidup berdampingan dengan Putri Lesmana. Perempuan yang sering kali mendapat ungkapan kata maaf darinya.     

"Bukan..." suara ini bergetar, sukma kembali terbaring. Entah bagaimana Mahendra layaknya mendengar rintihan dibalik ucapan, "bukan... Bukan karenamu, oma malah bangga padamu," perempuan yang kedudukannya ibarat ibu suri pada rumah megah ini. Jelas sekali tengah tak berbahagia.     

Hendra diam-diam melirik kakeknya sekali lagi. Lelaki tua tersebut sama sekali tidak mengeluarkan kata. Tidak terdengar suaranya semenjak kedatangan Mahendra, Apakah mungkin sudah sejak istrinya siuman?     

Pengamatan Mahendra menyimpulkan; tentu sudah terjadi sesuatu di antara mereka berdua sampai-sampai Omanya ingin pergi dari kamar ini.     

Tak lama, suara langkah kaki gesit menyita perhatian. Mommy Kelihatan baru bangun tidur, dia menekuk kakinya. Hingga lutut itu menyentuh lantai. Meraih tangan Sukma. Mendekatkan kepalanya kepada sang Mama, "Ma.. Mama jangan terlalu capek, jangan terlalu memikirkan yang macam-macam,"     

Deg     

Ini suara detak jantung para lelaki, bukan jantung Sukma apalagi jantung Gayatri. Sukma terlihat tidak begitu terkejut, mendengarkan ujaran putrinya yang teramat sangat berbeda di banding dua puluh tahun yang ia lewati seperti mayat hidup.     

Wiryo dan Hendra lah yang tengah terbelalak. Pupil mata mereka sempat membesar. Keduanya masih belum yakin dengan apa yang terlihat.     

_Mommy? Apakah terapinya bisa berhasil sejauh ini?_ tanda tanya di benak Mahendra tak bisa ia tepis. Aura Gayatri perlahan sehangat masa di mana lelaki bermata biru kerap meminta tidur bersama mommy-nya     

"Gayatri, Aku ingin tidur dan dirawat di kamarmu," keluh Sukma, perempuan paruh baya tersebut mencoba bangkit dari pembaringan.     

"Jangan lakukan!," suaranya dingin, pada ujung-ujung kalimatnya terpahat ungkapan larang mendesak tentu saja mudah tertebak, gelombang suara tersebut milik tetua Wiryo.     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang menjadikan novel ini semakin menanjak :-D     

IG bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.