Ciuman Pertama Aruna

III-141. Simbol Kenangan



III-141. Simbol Kenangan

0"Gayatri, Aku ingin tidur dan dirawat di kamarmu," keluh Sukma, perempuan paruh baya tersebut mencoba bangkit dari pembaringan.     
0

"Jangan lakukan!," suaranya dingin, pada ujung-ujung kalimatnya terpahat ungkapan larang mendesak, tentu saja mudah tertebak, gelombang suara tersebut milik tetua Wiryo.     

dua pasang mata anggota keluarga Djayadiningrat mengamati kepala keluarga. Gayatri dan Mahendra sekedar mengamatinya.     

Masih saja pria paruh baya tersebut menandaskan gertakan pada suasana sekalut ini.     

Di sisi lain gerak-gerik Gayatri menunjukkan ke tidak peduli-annya terhadap gertakan tetua Wiryo. Perempuan yang hampir mencapai usia 50 tahun namun parasnya bak perempuan 30 tahunan, berjalan mengitari ranjang, melewati kursi roda tetua. Gayatri meraih telepon, ia membuat panggilan kepada asisten kesehatan yang siap sedia di rumah induk.     

"Siapkan perawatan Oma di kamarku," ungkap Gayatri tanpa basa basi.     

"Gayatri!" titah ini membuat Gayatri terhenti di hadapan ayahnya sendiri. Hendra mulai membantu Oma Sukma bangkit.     

"Pa, Mamaku hanya minta permintaan kecil. Aku anaknya, aku punya kewajiban memenuhi keinginannya. Apalagi selama ini aku belum pernah membuatnya bahagia," Gayatri juga menatap mata Andos, pria tersebut secara tersirat mendapatkan pesan. Bahwa Andos harus membantunya. Andos mengangguk ringan pada perempuan yang usianya harusnya lebih tua dari dirinya. Tapi parasnya bahkan berkali-kali lipat lebih muda.     

Andai perempuan tersebut berjajar dengan Mahendra, Gayatri lebih mirip kakaknya. Di mana Gayatri sebagai anak pertama dan Mahendra anak kedua keluarga Djoyodiningrat.     

Sedangkan Wiryo tanpa sadar sedang membeku. Hanya dengan satu kata yang terdiri dari dua huruf 'Pa' kependekan dari ungkapan papa, Wiryo berupaya keras supaya Gayatri berkenan memanggilnya 'papa' selama ini. Dan ternyata dalam kondisi semustahil malam ini. Gayatri malah memanggilnya 'Pa'.     

Di sudut berbeda, dengan bantuan punggung Mahendra, neneknya dipindahkan, meninggalkan kamar utama rumah induk menuju kamar Gayatri, maminya.     

Gayatri membuka pintu kamar, sambil menawarkan ekspresi cerahnya yang ganjil. Hendra sempat tersekat beberapa detik di pintu kamar itu. Kamar yang tak lagi ia datangi selama 24 tahun. Terakhir kedatangannya, tentu saja di malam naas yang telah berlalu. Hendra ragu-ragu melangkah, ia bahkan merundukkan pandangannya. Ketika harus dihadapkan pada ranjang tidur paling mengerikan dalam benaknya.     

Anehnya, setelah keberaniannya datang bersama gerakan menurunkan Oma Sukma. Mahendra menemukan sesuatu yang berbeda. Ranjang maminya tak lagi sama. Ranjang tersebut perlahan ia amati, bahkan ia duduki. Warnanya biru, sebiru lautan. Terdapat pola seperti kristal air yang menghiasi bed cover biru laut.     

Sejenak mata Hendra menangkap kesibukan Gayatri yang berusaha merapikan benda-benda, -sejujurnya telah rapi. Hendra tidak tahu, saat ini maminya sedang salah tingkah.     

Bersama raut muka penasaran Hendra mencoba mencuri curi lihat apa yang suguhkan kamar yang dindingnya pernah bergerak menghimpit tubuh, berikutnya dadanya, hingga dia hilang kesadaran.     

Dinding putih, langit-langit biru laut, nuansa campuran biru dan putih, cerah.     

Dan di sela-sela dinding, di almari putih pada pojok ruangan, di kedua nakas, semuanya menawarkan benda berupa bingkai serupa. Bingkai-bingkai tersebut, menyajikan foto-foto dirinya yang tumbuh dari kecil sampai dewasa.     

Terutama pada almari putih yang berada di pojok ruangan. Hendra mendapati album foto berjejer tiga lapis di sana. Mahendra penasaran, mungkinkah sama-sama berisikan foto dirinya?     

Seperti apa sudut pandang maminya terhadap dirinya?     

Tanda tanya tersebut bergulat di dalam kepala Mahendra. Lelaki bermata biru tak pernah memiliki ekspektasi sejauh ini kepada perempuan yang lebih cocok di sebut mayat hidup, karena bertahun-tahun sebelumnya dia (Gayatri) tak bisa diajak komunikasi.     

Tanpa sadar mata biru bergerak, bukannya pamit dan lekas keluar dari kamar untuk menemui istrinya. Mahendra mengusung langkah kaki mendekati almari di pojok kamar Gayatri. Dia menyentuh tiga lapis album, lalu jari-jarinya meraba salah satu album foto. Lelaki bermata biru membuka harta karun kenangan. Album tersebut berisikan bayi kecil bermata biru, Tentu saja itu adalah dirinya kala masih berada di negeri Paman Sam. Hidup berdua bersama mommy Gayatri.     

Masih sambil berdiri, tiap-tiap lembar ia buka dengan mempertunjukkan jeda lambat. Degup jantungnya berisik, berbalikan dengan mulut terkunci maupun tubuh membeku.     

Lelaki bermata biru kian membeku kala menatap sebuah foto di halaman ke-5. Ada seorang pria yang memangku bayi bermata biru. Pria yang tentu saja berperawakan bule, duduk di dekat maminya yang kala itu matanya juga tertuju pada bayi bermata biru. Pria bule tersebut berambut coklat sama seperti dirinya. Sayang sekali wajahnya tidak terlihat, sebab pria tersebut terlalu dekat memeluk bayi tersenyum kegelian.     

_Jadi ini ayahku?_     

"Hendra, kamu lihat apa?" suara oma Sukma yang terdengar lebih riang menyapa gendang telinga Mahendra. Suara tersebut berhasil menghamburkan lamunan pria yang kini memegang benda -simbol Kenangan-, "coba bawa kemari. Oma juga mau lihat,"     

Inilah oma Sukma, perempuan yang sangat pandai menutupi gudahnya sendiri. Ketika bencana datang menimpa keluarganya. Perempuan paruh baya tersebut menjelma layaknya energi positif yang selalu berusaha menyuguhkan suasana hangat. Ia seolah lupa dengan getaran suaranya tadi, getaran yang cenderung serupa rintihan.     

Hendra buru-buru melipat album foto yang ia pegang. Dengan posturnya yang lebar, perempuan penasaran terhadap apa yang ia amati. Tak akan tahu ketika laki-laki itu menyelipkan album yang tadi ia pegang dan diganti dengan album lain.     

Mahendra mendekap album foto lain, kemudian berjalan cepat menyerahkannya kepada oma Sukma.     

"wah.. ini foto masa mudamu.." ekspresi wajah Sukma kian berbinar melirik dan menggoda putrinya, Gayatri. Mahendra ikut penasaran, ia mendekat duduk di ranjang bersama Sukma. Gayatri teramat cantik di masa mudanya. Seperti putri dalam negeri dongeng. Bersinar, cerah, riang, tidak jauh dari kehangatan ala oma Sukma. Sangat jauh berbeda dibanding wujud manusia rapuh bertahun-tahun.     

Tatkala Hendra mengamati foto tiap-tiap momen yang di tawarkan masa muda maminya. Setiap orang di masa itu, di yakin-i Mahendra tentu tak akan menduga gadis remaja secantik dan seberuntung Gayatri bertemu masa dewasa yang amat memprihatinkan. Mengalami traumatis berkepanjangan, seakan berhasrat mengakhiri hidup tiap saat.     

"Lihat baju ini! Gayatri, apa bajunya masih ada?" Gayatri mendekat lalu mengamati Apa yang dilihat ibunya.     

"masih," perempuan itu mengangguk menjawab pertanyaan Sukma. Baju yang Sukma maksudkan ialah kado ulang tahun ke-17 untuk Gayatri. Baju buatan tangan Sukma.     

"berikan bajunya pada Aruna, Oma ingin melihat Aruna mengenakkannya, ku yakin dia bakal gemesin," Sukma bersemangat seketika.     

"Akan saya siapkan Oma," sahut Gayatri.     

"Ingat, Aruna bukan boneka. Dia istriku, dan aku bisa membelikannya baju, lebih cantik dari itu" tandas Mahendra, menyuarakan ke tidak setujuannya.     

"Iya.. Oma tahu..." perempuan paruh baya menepuk lengan Mahendra, menenangkan cucunya yang terkesan posesif.     

***     

Tok tok tok     

Ketukan pintu tiga kali terdengar di kamar utama. Seorang laki-laki yang terpendam dalam kegelapan, bangkit perlahan-lahan, meraih kacamata untuk ia kenakan sambil tangan lain menjangkau lampu nakas, lampu kamar tidur temaram.     

"Masuk," suaranya masih terdengar bak kata perintah.     

Tangan mungil mendorong pintu tersebut, dan betapa terkejutnya ia ketika semua terasa gelap.     

"Aku tidak bisa melihatmu, nyalakan lampunya!" laki-laki yang bahkan tidak memiliki kata 'tolong', bisa jadi termasuk kata 'maaf' dalam tiap-tiap ucapannya. Mengingatkan perempuan yang saat ini berdiri terpaku kebingungan mengamati ruangan kosong nan gelap, pada suaminya sendiri di masa awal perjumpaan mereka.     

Perempuan lain yang mengekor nonanya mengambil inisiatif, bergerak masuk dan lekas mencari remote lampu untuk memenuhi permintaan tuannya.     

Tepat ketika cahaya menyebar menawarkan kondisi yang lebih terang, Aruna mengerjapkan matanya, dia menyadari tak ada oma di sini apalagi suaminya, Mahendra.     

Gugup, mungkin itulah yang dirasakan Kebanyakan orang ketika menghadapi Wiryo. Begitu juga Aruna pagi ini, perempuan tersebut menundukkan kepalanya untuk memberi hormat. Seperti yang dilakukan ayahnya.     

"masuklah..." Wiryo memberinya perintah, padahal di tenggorokan Aruna sudah siap kalimat minta izin, berpamitan.     

"Siapkan tempat duduk nonamu di dekat ranjangku," jantung Aruna serasa akan copot dari wadahnya. ketika suara dengan patahan kaku tersebut mengakibatkan Ratna kelabakan. Ratna terlihat menggeser kursi terbaik yang ia dapati. Tentu saja kursi tersebut berat.     

Langkah pendek-pendek Aruna menuju pada Ratna, "nona tolong! jangan membantu saya!" bukannya merasa tertolong Ratna merasa sangat terganggu mengetahui perempuan ringan tangan tersebut pasti berniat membantunya.     

setelah susah payah Ratna menyajikan kursi di dekat ranjang tetua Wiryo, "kau boleh keluar," suruh Wiryo pada Ratna. Tentu saja Ratna segera menundukkan kepalanya dan bergerak cepat keluar dari kamar utama rumah induk.     

"Ada yang bisa saya bantu?"     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus pembaca yang menjadikan novel ini semakin menanjak :-D     

IG bluehadyan     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.