Ciuman Pertama Aruna

III-143. Laksamana Perempuan



III-143. Laksamana Perempuan

0"Seperti apa cara Anda membuat ramalan,"     
0

"putri Lesmana mau tahu?" Aruna mengangguk tegas.     

"Berdirilah di tempat yang aku tunjuk," Aruna mengikuti arah telunjuk tetua Wiryo, "Sekarang berbalik lah!, buka matamu!"     

Deg     

_Cermin??_     

Aruna terdiam lama, dia mencoba menerka, Apa maksud tetua Wiryo. Istri Mahendra menggunakan seluruh isi kepala tentu saja termasuk rasa yang tersembunyi di dadanya, bersama dengan gerakan meraba perut -tanpa sadar ia tunjukan-. Aruna menemukan sesuatu yang menurutnya sejalan dengan isi kepala tetua Wiryo, "apa karena aku terlihat lemah di mata anda?" dia membalik arah pandangnya. Mengamati tetua Wiryo. Perempuan tersebut tidak gentar sedikit pun.     

"bisa jadi," lelaki tua mengangguk.     

"Siapa perempuan hebat yang bisa memenuhi standar kuat di mata anda pada keluarga Djoyodiningrat?" Wiryo terdiam. Bahkan matanya tidak mengembara. Jelas dia tidak punya jawaban.     

"tidak ada. Sebab, tidak ada yang pernah diberi kesempatan," berikut ini adalah kalimat Aruna. Kalimat yang tujuannya membuka fakta.     

"Anda menghasratkan cicit laki-laki. Mungkinkah karena anda kecewa Putri Anda tak berhasil menggantikan Anda sampai setua ini?" Kalimat-kalimat ini menelanjangi Wiryo secara lancang, "Beruntungnya Mahendra lahir lebih cepat, -bukan begitu?" Wiryo mengamati Aruna sambil tersenyum. Paham, bungsu Lesmana kian ke sini kian berani.     

"bagaimana kalau saya melahirkan bayi perempuan, tapi saya bisa membuatnya menjadi pemimpin yang hebat?"     

Jawaban Wiryo lagi-lagi sangat unik, "cobalah untuk bercermin sekali lagi!"     

"Tak perlu. Aku, sudah menangkap maksud anda menyuruh saya bercermin?" Aruna berjalan menuju kursinya, "Aku tak ubahnya terlihat seperti perempuan ringkih yang tidak akan mungkin bertahan menghadapi hal-hal besar, bisa jadi tidak layak mendampingi Mahendra di publik," Aruna duduk di kursinya, "seperti itu -kan, maksud anda?"     

"sebagian ucapanmu, dapat dikatakan 'iya benar'," kalimat Wiryo datar, padahal perempuan yang kini tengah diajaknya bicara mulai berapi-api.     

"saya tahu, Anda sangat menyayangi Mahendra. Buktinya Anda memikirkan Mahendra secara detail. Anda memprediksi banyak hal, termasuk Apa yang bakal terjadi padanya andai saya mengalami tragedi buruk. Lalu... bagaimana jika hal buruk tersebut ternyata berasal dari perilaku Anda kepada saya?" dahi Wiryo mengerut. Seolah akan ada kalimat yang tidak ia sukai meluncur dari bibir mungil Putri Lesmana.     

"Saya mungkin tidak akan bisa menyaingi kehebatan Anda, maupun kehebatan suami saya. akan tetapi saya bisa menjadi Diah Pitaloka pada karier gemilang maha Patih gajah Mada," mulut Wiryo terbuka sekian inci, tak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar, dari ungkapan istri cucunya.     

"Butul sekali, ternyata kamu secerdas ini," Wiryo tahu Putri Lesmana menemukan cara untuk mengancamnya. (Mengakhiri hidup seperti Diah Pitaloka lalu menghancurkan karier Mahendra seperti kehancuran karier mahapatih Gajah Mada)     

"tapi saya tidak akan jadi Diah Pitaloka," untuk ke sekian kali permukaan kulit di antara dua alis Wiryo mendapat tekanan.     

"Lalu?"     

"saya akan menjadi Keumalahayati, turut mengangkat senjata dan pemimpin kerumunan saya," suara tawa Wiryo pecah, Wiryo paham harapan Aruna. Keumalahayati atau Malahayati merupakan laksamana atau panglima angkatan laut wanita pertama di dunia. Malahayati pernah memimpin ratusan perempuan, terutama perempuan yang suaminya telah meninggal dalam perang untuk melawan kapal-kapal Belanda di tahun 1599. Pada salah satu duel yang dilakukannya tersebut, Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman dan mendapat gelar sebagai laksamana perempuan pertama di dunia.     

"Kau yakin kau bisa seperti dia?" Wiryo berhenti tertawa dan melempar pertanyaan.     

"asal saya mendapatkan kesempatan," sebelum Wiryo sempat mengambil nafas untuk mematahkan argumen Aruna, perempuan ini mendahului kalimat Wiryo, "saya bukan bayang-bayang Maya di cermin, saya bukan pembiasan cahaya pada cermin yang wujud aslinya adalah Putri serta istri anda," cermin yang digunakan Wiryo dengan tujuan membuka mata Aruna atas ke ringkihan-nya. Detik ini, Putri Lesmana membalik fungsinya demi membuat kunci -sekakmat- terhadap raja tertinggi keluarga Djoyodiningrat.     

"Lalu apa maumu sekarang?" kiasan cermin yang diujarkan Aruna kepada Wiryo. Layaknya jari telunjuk yang tengah menunjuk orang lain, tapi lupa bahwa keempatnya menunjuk diri sendiri. Wiryo seakan ditampar Aruna menggunakan fakta. Bahwa ia sendirilah yang memersepsikan perempuan tidak bisa berbuat banyak, tak bisa apa-apa, seperti caranya memperlakukan Oma Sukma dan putrinya, Gayatri.     

"Beri saya kesempatan," Aruna tahu Hendra bisa ia kendalikan, tapi tidak dengan tetua Wiryo yang terus merongrong Mahendra untuk menjaga perempuannya dengan memaksa para perempuan mendekam di rumah induk.     

"kau yakin kau bisa setangguh Malahayati?" kembali hati Aruna di goyahkan.     

"aku bahkan berhasrat menjadi Zenobia," tandas Aruna. Zenobia menjadi penguasa perempuan setelah suami dan anaknya terbunuh. Dia ratu dari kerajaan Palmyrene. Pada masa kekuasaannya, Zenobia mampu melawan serbuan dan invasi yang dilakukan oleh Romawi untuk menguasai wilayah yang dimilikinya. Sebagai penguasa perempuan, dia juga dikenal sebagai pengendara kuda yang cekatan serta pemimpin yang mau berjalan jauh bersama prajurit-prajuritnya. Saking tangguhnya, bahkan pada tahun 274, ketika dia berhasil ditangkap oleh Romawi, dibuatlah sebuah parade militer dan Anugerah untuk memperingati hal tersebut.     

Wiryo menarik bibirnya, Aruna sadar mungkin Wiryo merasa dirinya sedang berbicara dengan anak kecil.     

"Sekarang giliran anda, Anda berani membebaskan saya?" Wiryo membeku sekian detik menatap istri cucunya.     

Melihat Wiryo terdiam Aruna mengambil kesempatan, "Apakah anda tidak pernah berpikir," ucapan Aruna kali ini lebih dari lancang, "berandai-andai, kalau saja Putri Anda, -Anda beri kesempatan. Apa yang bakal terjadi??" Ada dehem yang terdengar dari mulut Wiryo, "mungkin saja, saat ini ibu Gayatri bisa memimpin salah satu anak perusahaan anda," tampaknya Aruna merambah pada cara pandang Wiryo yang terlalu kaku, "atau istri anda, anda izinkan menemani anda pada setiap perjalanan bisnis, kira-kira Apa yang terjadi sekarang?" berandai-andai adalah cara paling tepat untuk mematahkan sikap otoriter tertua Wiryo menurut benak Aruna.     

"bisa jadi saat ini anda punya sahabat bertukar pikir, ketika Mahendra membuat sebuah kebijakan untuk masa depan perusahaan dan kehidupan keluarga Djoyodiningrat. Anda berdua sebagai sosok yang paling dihormati di keluarga ini punya keseimbangan dalam berdiskusi, cari langkah terbaik demi mengarahkan anak cucu anda,"     

Lelaki paruh baya tersebut meraih bantal pada sisi kiri tubuhnya, lalu ia letakkan di belakang punggung. Kacamatanya juga dicopot, "dari mana kau dapatkan inspirasi berandai-andai semacam itu," _Apa dia ingin menyindir pertengkaranku dengan Sukma?_     

"ayah dan bundaku," Wiryo yang mau meletakkan kacamata di atas nakas, terlihat membiarkan kacamata tersebut tertahan di udara -sekian detik.     

"Lesmana selalu berdiskusi dengan istrinya?" ini kalimat tetua Wiryo.     

"kami selalu mendiskusikan banyak hal sebelum mengambil keputusan, yah.. kecuali perceraianku, kakak tidak mampu kami kendalikan waktu itu. Akan tetapi kakak perempuanku yang masa depannya hancur karena hamil di luar nikah.. saat ini kehidupannya tidak seburuk yang dibayangkan orang lain sebab ayah mau meredam keegoisannya dengan mendengarkan resah bunda termasuk saya," Aruna menunjukkan perbedaan yang terdapat pada keluarga Djoyodiningrat dan keluarganya sendiri.     

Aruna tidak menyadari kalimat-kalimatnya adalah tamparan untuk Wiryo. Istrinya pergi dari kamarnya beberapa jam lalu, tentu saja di sebabkan keegoisan yang tak mau ia akui, "Apa kau juga melihatku seperti lelaki tua yang egois?"     

"Aku akan lancang ketika menjawabnya iya, tapi.. sudah sejak tadi kalimat-kalimat ku tergolong kelancangan. Maka dari itu saya akan jujur jawab, 'iya'," tawa Wiryo membumbung memenuhi ruangan, pecah. Tidak ada satu pun dari anak buahnya maupun keluarganya sendiri yang berani menghinanya terang-terangan, sambil menyajikan ekspresi santai, tanpa rasa takut maupun bersalah. Ayah dari perempuan mungil yang kini duduk di hadapannya pun tak berani mengucapkan kalimat hinaan.     

.     

Di ruangan lain lantai 2 rumah induk. seorang laki-laki tengah mencari istrinya. Dia gusar, melangkah lebar-lebar menuruni tangga menuju dapur mencari Ratna. Asisten rumah tangga yang terakhir bersama istrinya. Sayangnya Ratna tak ada, lelaki bermata biru menanyakan di mana keberadaan istrinya serta Ratna pada setiap asisten yang ia temui. Hasilnya nihil, dan ia makin khawatir.     

Mahendra tidak tahu Ratna sengaja bersembunyi, di kamar mandi. Dia takut ketika mendapatkan pertanyaan ke mana istri tuannya, lebih takut lagi kalau-kalau tetua marah besar karena mengantar Mahendra menuju kamar utama. Daripada harus dihadapkan dengan kondisi pelik di antara dua juragan paling berpengaruh di rumah megah ini, Ratna bersembunyi ketakutan di kamar mandi.     

"baiklah, Aku akan memberikanmu kesempatan," nafas lega Aruna tertangkap telinga Wiryo.     

"Namun, aku tetap tak setuju tentang keinginanmu mencetak pemimpin perempuan,"     

"Saat di hadapkan dengan kondisi darurat, bukankah hal itu tak masalah," kembali terjadi perdebatan sengit.     

"ketika mereka menikah, segala hal bisa terjadi, pikirannya bisa berubah, dipengaruhi pasangan mereka. Seperti Daddy Hendra yang mempengaruhi Gayatri, dia-" lelaki paruh baya tertawa getir, "hampir merebut Putri serta cucuku, untung saja tidak berhasil membawa lari Gayatri dan Mahendra,"     

Di antara percakapan yang merenggut konsentrasi, keduanya tak sadar. Ada celah pintu terbuka, lalu ditutup kembali, perlahan-lahan, supaya tidak menimbulkan suara.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.