Ciuman Pertama Aruna

III-144. Beri Aku 10 Prinsip



III-144. Beri Aku 10 Prinsip

0"ketika mereka menikah, segala hal bisa terjadi, pikirannya bisa berubah, dipengaruhi pasangan mereka. Seperti Daddy Hendra yang mempengaruhi Gayatri, dia-" lelaki paruh baya tertawa getir, "hampir merebut Putri serta cucuku, untung saja tidak berhasil membawa lari Gayatri dan Mahendra,"     
0

Di antara percakapan yang merenggut konsentrasi, keduanya tak sadar. Ada celah pintu terbuka, lalu ditutup kembali, perlahan-lahan, supaya tidak menimbulkan suara.     

"Bukankah lelaki sama saja, walaupun sebagian besar mereka cenderung dominan. Tapi adakalanya lelaki terpengaruh oleh istri," kalimat ini tertahan sejenak, dia yang bicara tengah memperhatikannya guratan wajah lelaki tua yang mengamatinya. Aruna sadar yang di ajaknya bicara ialah seseorang dengan segudang asam garam kehidupan, "Entah pengaruh baik atau pengaruh buruk, yang terpenting bagaimana orang tua memperlakukan putra-putri mereka. Jadi kami, anak-anak, percaya yang terbaik adalah yang keluar dari ucapan Ayah ibunya," Wiryo menyadarkan punggung, menatap Aruna.     

"Em.. e. Itu," Aruna salah tingkah sendiri, "yang aku katakan barusan sekedar perasaanku terhadap ayah bundaku," perempuan ini sedang berupaya agar dirinya terbebas dari tatapan paruh baya dengan guratan-guratan yang menunjukkan dia mulai lelah.     

"Saya pam-," ujar Aruna.     

"Tidak salah aku mengambil putri Lesmana," kali ini Wiryo menyajikan guratan senyum tulus.     

Komunikasi mereka berikutnya lebih mencair. Bertukar pikiran sampai bercanda tentang riasan Aruna yang terlihat berbeda se-pagi ini. "Jadi kamu sudah mandi?"     

Aruna menyipitkan matanya tapi tidak berani menjawab, kecuali batinnya protes _Mau bagaimana lagi, cucumu membuatku terpaksa mandi dini hari_     

.     

Pada langkahnya keluar menuju pintu, malam sudah disisihkan fajar. Terangkai jadi satu dan dikemas dengan manis oleh pria paruh baya yang memanggil namanya "Aruna," tepat ketika dia memegang hendel pintu, "Tantangan pertamamu, bawa Oma-mu kembali ke sini, ke kamar ini," Aruna yang tidak tahu menahu terkait kejadian sebelum kedatangannya, mengangguk ringan menyiakan.     

Merundukkan kepalanya sebelum menutup pintu kamar utama rumah induk.     

.     

.     

"Prinsip! beri aku 10 prinsip hidupmu. -Yang kira-kira akan kau pegang teguh sampai akhir usiamu, itu syarat awal mendapat kesempatan,"     

"Em.. harus sepuluh ya -Opa?"     

"Dari 10 akan aku seleksi menjadi 5 kemudian 1 kesimpulan utama,"     

Selepas perjalanannya keluar dari pintu kamar, perempuan ini mengingat jelas tiap-tiap kalimat yang ia diskusikan bersama seorang pria menakutkan, Pria tua yang memimpin perusahaan besar namun merupakan aset keluarga tunggal secara ambisius berpuluh-puluh tahun.     

"menginginkan dominan sebagai perempuan? Itu mustahil untuk gadis biasa yang tak punya prinsip hidup," Kalimat-kalimat percakapan bersama tetua Wiryo terngiang-ngiang di telinga Aruna.     

"Apakah anda sedang coaching saya?"     

"aku hanya melakukan, apa yang pernah aku lakukan kan pada ayahmu,"     

Aruna bahkan ingat betul, bagaimana Wiryo mengamati dirinya dari ujung rambut hingga ujang jari kaki.     

"karena pagi ini aku punya teman bicara yang menyenangkan, seperti berjumpa ayahmu dalam wujud lain,"     

"Jadi anda akan membimbing saya? (Seperti ayah Lesmana yang di bimbing hingga menjadi pimpinan DM Delivery)     

"Ku lihat dulu, apakah kamu bisa menaklukkan tantanganku,"     

"Baik,"     

Aruna bahkan tersenyum girang mengingat betapa bersemangatnya dirinya menyambut tantangan tetua Wiryo.     

"Tapi, jangan yang berat-berat,"     

"Srikandi menyelesaikan tantangannya membunuh Bisma, dia hanya titisan. Dia perempuan yang wajib membunuh kesatria hebat yang tak pernah ada hubungannya pada kehidupan yang sekarang. Orang besar, dikagumi, dan dihormati. jika Srikandi hidup di masa sekarang, kau! harus ingat betul! tantangan paling berat adalah mental mu sendiri,"     

"Apakah Anda juga punya 10 prinsip yang tidak mungkin Anda langgar?"     

"Hehe, Aku punya banyak doktrin. Yang tidak akan aku langgar dan orang-orang ku langgar,"     

Aruna kini sudah mencapai tangga, dia naik ke lantai dua menuju kamarnya. Ingatannya tentang kalimat tetua Wiryo yang ingin ia kunci tengah melayang-layang di kepala.     

"Mengapa anda memaksakan diri.. sekaku.. em," Aruna takut bicara.     

"ribuan kepala mengedap di satu kepala -pemimpin. tidak ada kesuksesan atau hal besar yang mampu bertahan hingga tahun demi tahun berganti, kecuali oleh para pekerja keras yang memegang prinsip-prinsipnya. bullshit! Orang yang bersenang-senang bisa menghasilkan sesuatu," Aruna mengangguk, "itu yang di katakan kakekku, Wijoyo. Sebelum ke dua keluarga sepakat menghapus ayahku dari silsilah keluarga, dan memaksaku tidak berduka saat ibuku mati,"     

"Yang tumbang, itulah -yang lemah," Aruna mendapatkan kalimat ini dibalik ekspresi penuh ambisi, yang terbit dari raut muka serta mata Wiryo, "-tertinggal! Dan sengaja di tinggalkan!" kalimat ini masih berasal dari ingatan Aruna. Ingatan tentang ujaran-ujaran tetua Wiryo yang membuatnya tertantang.     

"saat kau pergi dari rumah induk, termasuk luka di punggungmu itu! Tanda bahwa kamu lemah!"     

"Jadi anda hampir, em.. sengaja meninggalkan saya,"     

"Sampai beberapa detik lalu, aku, hehe, ingin mendatangkan orang baru, untuk melengkapi kelemahanmu,"     

Aruna akhirnya mengerti kehidupan keras di masa lalu tetua Wiryo. membuat beliau sekaku sekarang, -mungkin. Itulah persepsi awal istri Mahendra yang kian penasaran dengan kakek suaminya.     

"Apakah detik ini anda masih punya keinginan mendatangkan yang baru?"     

"Aku berjanji memberimu kesempatan, dan aku laki-laki yang memegang janjiku,"     

"Terima kasih opa,"     

"kecuali kau tidak menunjukkan tanda-tanda, bangkit, menjadi orang yang lebih kuat,"     

"tunggu keajaiban yang muncul pada diri saya,"     

"Ralat kata-katamu! Tidak ada keajaiban!"     

"tunggu kerja keras saya! Sampai Anda tertegun dengan perubahan saya!"     

"Nah! Itu baru Lesmana,"     

Aruna saat ini tengah mendorong pintu ukir kamarnya sendiri, dia mendapati lelakinya berdiri mengamati sesuatu di luar jendela. Tangannya bersedekap, tampaknya danau di bawah sana menyita perhatiannya. Sampai-sampai kedatangan Aruna tak mendapatkan sambutan.     

Aruna sengaja memelankan langkahnya, perlahan-lahan hingga kian dekat dengan punggung Mahendra. Lalu tangan kecil itu menyusup, memeluk perut dari belakang.     

"aku mencarimu," suara Hendra menyapanya, tapi tidak menyambut pelukannya.     

"ngobrol sama kakekmu," Mahendra sempat menduga Aruna akan berbohong kepadanya. Kenyataannya tidak.     

"Apa yang kamu obrolkan?" tangan Mahendra melepas pelukan Aruna. Sesaat berikutnya, tertangkap dia tengah memutar sedikit tubuhnya.     

"Banyak sekali, hehe berdebat juga, tapi aku sangat suka akhirnya berkesempatan bicara dengan tetua, kakekmu berbeda,"     

"Aku yakin saat ini kau pasti ketakutan," Aruna menggeleng. sentuhan tangan Mahendra telah sampai. Lelaki bermata biru meletakkan tubuh istrinya di depan tubuhnya. Pria itu membalik posisi. Aruna lah yang kini didekap dari belakang.     

"Tidak.. opa membuatku kian penasaran,"     

"penasaran?"     

"Ya, aku yakin banyak hal hebat yang dia lalui sepanjang hidupnya,"     

"Ah, heh. Hehe," Tawa Mahendra seperti seseorang yang sedang keberatan terhadap opini orang lain.     

Tak lama kemudian ia mengabaikan tawanya, padahal Aruna ingin protes. Namun, keburu lelaki itu mengusap perutnya. Tangan tersebut kini menyelinap ke dalam hem pendek yang kenakan Aruna. Mungkin, merasakan permukaan kulit lebih disukai Mahendra.     

"dia pasti menginginkan bayi laki-laki, -jangan sampai kamu terbebani, Aku ingin bayi perempuan yang lucu. Yang bisa jadi teman kecilku,"     

"yang kamu katakan tidak salah, tapi aku sudah mendebatnya,"     

"Ah' yang benar?" tampaknya Mahendra tidak percaya. Aruna punya keberanian berdebat dengan kakeknya. Sejauh yang ia tahu, dirinyalah satu-satunya orang yang paling berani mendebat tetua Wiryo.     

"Benar," Aruna mendongak menatap wajah Mahendra, seolah menghantarkan isyarat 'buat apa aku berbohong'.     

"jadi," berikut ini suara Aruna, "entah laki-laki atau perempuan, baby kita bakal menjadi seseorang yang hebat, itu janjiku. Janji yang harus aku tepati kepada diriku sendiri," Aruna menemukan prinsip pertamanya. Akan menjadi sosok ibu yang hebat, yang mengantarkan putra-putrinya menjadi manusia-manusia luar biasa.     

"Jangan membuat janji dengan tetua Wiryo, dia akan menagih semua janji yang di buat"     

"Aku berharap beliau berumur panjang, hingga ia bisa melihatku memenuhi janjiku,"     

"APA??" Hendra melepas pelukannya. Benar-benar tertegun dengan kalimat yang diucapkan istrinya. Dirinya sendiri sebagai cucu Wiryo, kadang kala berharap lelaki paruh baya keras kepala dan egois itu lekas menghilang dari muka bumi.     

"Kakekmu, hidupnya tidak bahagia,"     

"Ah' dari mana kamu tahu,"     

_apa Aruna sudah kena doktrin Wiryo??_     

"bayangkan saat ia kecil ayahnya dihapus dari silsilah keluarga, lalu ibunya meninggal bunuh diri,"     

"Dan tetua Wiryo mengulangi kisah hidupnya, melalui keputusan-keputusan ekstremnya terhadap kehidupanku," Suara Mahendra bergetar.     

Deg'     

"Jangan lanjutkan tradisi yang tak layak di lanjutkan, em.. kita bangun sejarah baru di keluarga kita,"     

Hendra memeluk istrinya kembali.     

Pintu terbuka.     

"Heppy birthday to you.. happy birthday to you..."     

***     

"Kiki... Kiki..." suara ketukan pintu meraung-raung, "Buka pintunya.. Ki... Buka.. cepat buka.. Ki.."     

"Apaan.. sih.. ribut banget pagi-pagi! Aku masih goreng tempe.. tunggu sebentar..!!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.