Ciuman Pertama Aruna

III-145. Aroma Rempah-Rempah



III-145. Aroma Rempah-Rempah

0"Kiki... Kiki..." suara ketukan pintu meraung-raung, "Buka pintunya, Ki... Buka.. cepat buka.. Ki.."     
0

"Apaan.. sih.. ribut banget pagi-pagi! Aku masih goreng tempe.. tunggu sebentar..!!" perempuan berambut hitam pekat tersebut mematikan kompornya. Sayang sekali daging di atas telenan yang baru saja ia potong-potong Sudah saatnya dimasukkan ke dalam air mendidih. Air beraroma rempah-rempah di sisi kiri wajan yang digenangi minyak panas bekas tempe -baru di tiriskan.     

"Bapak.. buka pintunya dong.." pagi ini seperti biasa rumah Kiki berisikan kesibukan. Terkecuali bapak, yang hanya bekerja sebagai kuli angkut. Serabutan tanpa jam kerja pasti.     

Bapak mengamati Riki yang sedang menyisir rambut di depan lemari kaca, sedikit retak pada bagian kiri bawah, "Bapak maaf, aku kejar waktu," terpahami oleh Riki bahwasanya lirikan bapak mengandung makna beliau meminta di gantikan membuka pintu yang berada di balik punggung mereka. Riki lekas meraih sepatu dan tidak peduli dengan wajah penuh harap bapaknya, "Lala, cepat! gunakan sepatumu! Kita sudah telat,"     

"Ki... Buka pintunya, Kiki.." yang di luar konsisten meraung-raung mengetuk pintu tak beraturan.     

"Bapak, aku masih repot nih.." perempuan yang baru saja berteriak, begitu terkejut karena bapaknya sudah berdiri di belakang, "Bapak??"     

"Ki.. yang mengetuk pintu suara Sasono.. anak buahnya juga..," tampaknya Bapak tidak berani membuka pintu.     

"Ya ampuun.. Kiki sudah nggak punya hutang, kebiasaan deh Bapak ini enggak berani sama orang!" gadis ini sering kali lupa etika berkomunikasi dengan bapaknya. Bapak Kiki laki-laki pemalu, sejak Kiki kecil dia sudah seperti itu.     

Dulu kiki sangat membenci ibunya karena minggat begitu saja. Menjadi tenaga kerja di luar negeri, hingga sudah lebih dari 8 tahun ia belum juga memberi kabar apalagi tanda-tanda kembali. Walaupun rasa benci itu masih tersisa. Akhirnya kini Kiki sadar betapa menggemaskannya harus mendorong bapaknya untuk lebih banyak bicara dan lebih berani di hadapan orang lain. Tidak ada gunanya minder dan malu. Entah masa lalu kita seburuk apa, hidup harus terus berlanjut karena perut perlu makanan sehari tiga kali. Itulah kata mutiara yang tidak ada bagusnya, tapi begitu melekat di diri Kiki . Kata mutiara karya Kiki sendiri.     

Kalimat sederhana itu menjelma menjadi bagian terpenting dalam hidup Kiki untuk terus bertahan. Kiki bertahan menjadi tulang punggung keluarga dan menjaga adik-adiknya.     

"Gantiin Kiki ya pak.. jangan sampai gule kambingnya kering! Itu pesanan Thomas," bau rempah-rempah terbang membius penghuni rumah sempit ini.     

"Lala, Riki sarapan cepat! Lihat jamnya!"     

"Kak hari ini aku mau bawa bekal saja, mumpung masak gule kambing," ini suara Lala yang disambut anggukan oleh Riki. Keduanya sadar kalau mereka sarapan pagi ini pastilah telat sampai sekolah nanti.     

"Ki.. Kiki.."     

"CEREWET!!" sentak Kiki kepada orang-orang yang berada di balik pintu.     

Di teras, dua orang lelaki berpakaian rapi bahkan sepatunya saja brand tertentu. Sepatu sport, yang tidak cocok dengan lantai plester Kiki. Sudah diusahakan halus, sayangnya lantai plester rumah Kiki cukup tua untuk di usahakan mengkilap.     

Lantai plester itu sendiri ialah jenis lantai rumah yang paling sederhana dan paling murah. karena diperlakukan seperti saat memlester dinding dan diaci hingga halus. Perbedaan dengan perlakuan pada dinding adalah adanya langkah penggosokan lantai hingga halus dan mengkilap.     

Dua orang yang belum terbiasa dengan karakter Kiki, tertangkap Sasono dan seorang anak buahnya, gelagapan terkejut.     

"Ada apa sih! Enggak pagi, enggak siang, enggak malam, bikin ribut terus!" perempuan ini marah-marah, sembari membuka pintu rumahnya yang bermotif kotak, berwarna coklat kusam.     

Sasono mendekati tubuh Kiki, Kiki otomatis mendorong tubuh kekar Sasono yang hanya tampak keren pada lengannya saja. Sebab, perutnya sama kekarnya, alias hamil 4 bulan.     

"Ki.. dengerin dulu.." Sasono merengkuh bahu Kiki yang tak seberapa dibandingkan ukuran lengannya, "Kiki, mereka mencari suamimu," kata-kata ini membuat Kiki luluh ke dalam pelukan lengan kanan Sasono.     

"judi anda pemilik motor matic tersebut?" orang berpakaian rapi, berada di belakang seorang anak buah Sasono bergerak sekian langkah mendekati Kiki.     

"Montor??" Kiki masih belum paham dengan apa yang dimaksudkan dua lelaki asing.     

Lelaki tersebut diamati Kiki dari ujung rambut hingga ujung kaki. Mirip sekali jika dibandingkan gaya berpakaian Thomas, malam dimana Kiki mengunjungi rumah mewah yang menawarkan kamar khusus hanya untuk menggantung baju serta meletakkan sepatu.     

"jadi.. Dua orang ini dan seseorang.." kalimat Sasono terputus.     

"Ka' Ki," panggil Riki kepada kakaknya, mengganggu percakapan orang-orang yang tubuh dan tingginya di atas sang kakak perempuan, "kita berangkat dulu," Riki mencium tangan Kiki di ikuti dengan adiknya Lala.     

"kalian tidak pamit denganku?" ini suara Sasono, yang tangannya sudah disodorkan. Sayang sekali, tak disambut adik-adik Kiki.     

"Malas!" ejek Lala, mengikuti gerak cepat kakaknya. Riki sudah meraih sepeda, menunggu Lala naik di kursi bonceng belakang. Dua siswa, yang satunya berseragam SMA dan yang satunya seragam SD tertangkap bergegas berangkat sekolah. Memacu sepeda dengan kecepatan semaksimal mungkin.     

"Siapa kalian?" Kiki to the point menanyakan keberadaan dua orang asing yang kini tengah mengamati Kiki.     

Perempuan yang membalut tubuhnya menggunakan daster longgar warna merah, dan rambut terikat sembarangan naik ke atas ialah Kiki. Tubuhnya putih bersih sebab jarang berjumpa matahari. Bagaimana cara kiki berjumpa matahari. Ketika sift pertama datang, Kiki harus berangkat pukul 8 lalu pulang saat matahari sudah meninggalkan bumi belahan tempatnya berpijak.     

Giginya gingsul di bagian kanan, rambutnya hitam. Sayang sekali di antara kedua alisnya sering mengerut. bahkan saat ini Kiki sedang merengut mengamati dua orang asing tersebut.     

Orang asing berjalan begitu saja, masuk ke dalam rumah Kiki tanpa aba-aba, "Hai.. Apa maksud kalian?" betapa terkejutnya Kiki ketika kedua orang asing tersebut tidak memedulikan ujaran Kiki sebagai tuan rumah, mereka seolah berburu waktu, mengamati ruang demi ruang membuka pintu tiap-tiap ruangan sederhana rumah Kiki yang tak lebih dari 3 ruang. Dua orang tersebut kian lancang, menatap Kiki dengan raut muka sangar, terlebih ketika salah satu berjalan mendekati Kiki.     

"dimana kau sembunyikan pimpinan divisi eksternal kami?" gertak salah satu.     

"pimpinan divisi? makanan macam apa itu," balas Kiki. Perempuan yang pikirannya terbang ke dapur, takut gulai kambing nya hancur.     

"Dia memang tinggal di sini," jawab pria asing yang baru keluar dari kamar tempat Thomas biasanya terbaring. Menggenggam salah satu baju Thomas yang Kiki tata rapi di dalam almari pakaian. Tangan kanannya yang sekarang ditatap oleh banyak orang, juga menyajikan alat penyangga tubuh Thomas.     

"Kemana kau sembunyikan senior Thomas," kata senior mewakili tiap-tiap anggota sebuah tim atau divisi dalam menyebut pimpinan mereka maupun pimpinan divisi lain.     

"Oh, Thomas," Sayangnya konsentrasi Kiki terpecah, dia malah fokus dan berjalan mendekati pintu menuju dapur sederhana. Gulai kambing, saatnya di cicipi dan koreksi rasa.     

Spontan, dua orang yang sedang mencari Thomas bergerak cepat menjerat lengan Kiki, "Eh, apa-apaan ini?" gadis tersebut bukan lagi merengut, dia terserang amarah. Menginjak kaki salah satu dari 2 orang yang tak tahu diri -Menggeledah rumah, lalu menangkap pemilik rumahnya.     

Sasono si preman kampung malah diam membeku, "Sasono! Kenapa kau diam saja?!"     

"Aku... Em.." suara gemetar Sasono seiring langkah 2 orang menarik tubuh Kiki keluar rumah. Melewati titik berdiri Sasono, "Maaf Ki.. mereka sudah menghajar Memet," Memet salah seorang anak buah Sasono yang tidak kelihatan pagi ini, "mereka juga punya Dor.. Ki...," ekspresi pasrah Sasono memberi ruang gerak dua orang laki-laki membawa Kiki pergi.     

Pada dasarnya Kiki gadis yang sudah kehilangan urat rasa takut, kian menjadi-jadi membuat perlawanan, dia menggigit lengan dua orang yang memegangnya secara bergantian. Gigitan Kiki yang tidak tanggung tanggung, memberi efek terkejut sampai-sampai tanpa sadar mereka melepas tangan Kiki.     

Perempuan berambut hitam lebat, lekas berlari ke dalam rumah, menutup pintu rumahnya sekuat tenaga, Sebab yang di luar sedang mendorong pintu.     

Bapak buru-buru datang, sesungguhnya pria ini sejak tadi mencuri-curi lihat. Namun tidak berani keluar menghadapi, "Bapak, api gulai kambingnya sudah dimatikan??" Kiki masih sempat Menghawatirkan olahannya. Masakan yang ditujukan sebagai cara merayu suami siri tipu-tipu supaya buru-buru pulang ke rumah.     

"cepat matikan dulu kompornya.."     

"Tapi nanti kamu??"     

"Sudah.. cepat! nanti gosong lagi!"     

"iya iya," bapak bergegas mematuhi perintah Kiki, lupa anak gadisnya menghalau 2 laki-laki dibalik pintu.     

"Bruak," suara tubuh Kiki jatuh dibarengi pintu terbuka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.