Ciuman Pertama Aruna

III-146. Daster Merah



III-146. Daster Merah

0"cepat matikan dulu kompornya.."     
0

"Tapi nanti kamu??"     

"Sudah.. cepat! nanti gosong lagi!"     

"iya iya," bapak bergegas mematuhi perintah Kiki, lupa anak gadisnya menghalau 2 laki-laki dibalik pintu.     

"Bruak," suara tubuh Kiki jatuh dibarengi pintu terbuka.     

"Bapak.." teriak kiki. Tepat ketika Bapak baru saja memutar tombol kompor gas, beliau sudah terlambat untuk berlari mengejar tubuh putrinya yang dimasukkan secara paksa ke dalam mobil hitam.     

Mobil itu melaju, mobil lain yang di belakang dihadang oleh Sasono dan salah seorang anak buahnya, bahkan Bapak membawa sapu memukul kaca mobil itu.     

Hasilnya, menggugah 2 orang penghuni mobil keluar. Bapak maju ragu-ragu mengumpulkan seluruh keberaniannya. Sasono dan satu anak buahnya memasang kuda-kuda.     

Hanya sekali tendangan di dada, dari laki-laki yang baru menuruni mobil. Sasono jatuh, terkapar di tanah. Padahal mereka tak terlihat punya tubuh besar nan kekar layaknya Sasono. Anak buah Sasono pun sama saja. Sekali tebas, menggunakan gerakan kaki kidal lelaki yang keluar dari pintu mobil. Yoyok, anak buah Sasono terkapar pingsan. Sudut di atas ceruk leher, alias bagian di belakang telinga yang menjadi titik keseimbangan, tertimpa tebasan manusia misterius pembawa mobil mewah berwarna hitam.     

Bapak menjatuhkan sapunya, "kami pasti mengembalikan anak anda, ketika dia Jawab dengan jujur, di mana Thomas berada," kata pria misterius kembali masuk ke dalam mobil lalu melesat, meninggalkan perkampungan pinggiran sungai.     

***     

"Heppy birthday to you.. happy birthday to you..." Pintu kamar yang terbuka menyajikan perempuan membawa nampan berisikan Cake lengkap dengan lilinnya. 2 buah lilin tersusun rapi menyajikan angka 3 dan 0.     

Perempuan bermata bulat lebar, melangkah memasuki kamar mengenakan baju yang serupa dengan style Aruna. Termasuk pilihan sepatunya, khas Aruna. Sepatu kets sport berpadu dengan midi dress. Tentu hal tersebut Outfit khas Aruna, sebab Putri Lesmana sejak awal kesulitan mengenakan high heels, itu sebabnya dia lebih suka menggunakan sepatu kets. Walaupun baju yang dikenakan sejenis midi dress. Paling-paling kalau harus berpenampilan sangat perempuan, Aruna akan memilih flat shoes.     

Aruma tersenyum melihat tangkapan matanya, entah mengapa perempuan bermata cokelat ini merasa sangat baik-baik saja. Nana yang menampilkan sosok percaya diri. Kali ini tak lagi membuat hati Aruna panas, Apalagi meradang.     

"Selamat ulang tahun, sayang," kaki Aruna berjinjit setinggi mungkin, berharap Mahendra yang sedang melepas pelukannya. sebab tertegun mengamati sekelompok asisten rumah Induk beserta perempuan mantan sekretarisnya yang 2 tahun terakhir memberikan kejutan ulang tahun untuk lelaki bermata biru menyajikan cake ulang tahun berwarna merah biru, warna favorit Mahendra.     

"Terima kasih Kak Nana," Aruna menyipitkan matanya sebab tertimpa tarikan bibir, manis sekali senyum perempuan ini.     

Hendra kembali menoleh kepada istrinya setelah mendengar ucapan Aruna yang nyaring di telinga. Mengingat kejadian hari-hari sebelumnya. Terutama hari kedatangan para penyidik kepolisian. Mahendra tahu keduanya menaruh kecurigaan satu sama lain. Lelaki bermata biru yakin istrinya tak suka dengan Nana.     

Wajar sekali, mengingat perempuan pembawa cake ulang tahun Mahendra alias Nana yang sempat mendominasi rumah induk. Dia menjadi sentral yang bertugas menyiapkan berbagai kebutuhan lelaki bermata biru selama Aruna pergi dari rumah keluarga Djoyodiningrat ini sampai-sampai mencuri perhatian seluruh anggota keluarga.     

Namun detik ini bagi Aruna segalanya telah berubah. Putri Lesmana seperti punya pijakan setelah percakapan panjangnya bersama tetua Wiryo. Sejujurnya Aruna sendiri tidak mengerti, bagaimana dirinya bisa setangguh ini. Menghadapi perempuan lain, perempuan membawa nampan kue ulang tahun suaminya.     

Aruna bergerak ringan menengadahkan tangan. Meminta nampan kue yang dibawa Nana. Kulit di antara ke dua alis Anna mengerut. "berikan pada saya Kak," Nana yang langkahnya terhenti sebelum lebih dekat kepada Mahendra tertegun dengan keberanian istri Mahendra. Perempuan biasa-biasa saja yang kelihatannya tak akan mampu melakukan tindakan seperti ini tengah mengayunkan kedua tangannya sekali lagi. Meminta nampan berisi cake.     

Nana, tak bisa berbuat banyak ketika Mahendra bergerak mendekati mereka. Cake Tersebut akhirnya berada ditangan Aruna, giliran berbalik badan, suaminya sudah berada tepat di belakangnya.     

"make a wish honey," pinta Aruna. Mahendra menarik bibirnya, lesung pipi itu muncul menyapa lawan bicaranya.     

"semoga Baby selalu sehat, istriku selalu sehat, keduanya selalu bahagia, lancar hingga baby lahir ke dunia," Mahendra terlihat menutup matanya sejenak, mengucapkan mantra berisikan harapan. Lalu lilin tersebut ia tiup, sebab beberapa kali menyala lagi. Aruna pun ikut meniupnya.     

Selepas acara tiup meniup lilin selesai, Aruna mengembalikan cake ke tangan Anna. "Anda dan-" Aruna menyapa Nana, sambil memiringkan kepala turut serta menyapa para asisten yang secara langsung memberi salam kepadanya. Asisten di luar pintu kamarnya mendapat titah, "boleh keluar dulu?" padahal asisten sudah berada di luar.     

"Kau akan memberiku apa?" ekspresi riang Mahendra terbit seketika.     

Satu persatu asisten yang berada di luar pamit undur diri. Dalam kondisi terpojok seperti ini, Nana pun keluar dari kamar pasangan suami istri, "tolong di tutup pintunya sekalian, ya Kak," perintah Aruna. Dalam benak perempuan bermata coklat, ia sedang meletakkan sesuatu pada tempatnya. Pengekor tempatnya ada di belakang, tak perlu susah payah menunjukkan urat marah. Ratu versus entah siapa pun sebutan si pengganggu, punya strata yang beda. Ratu mengendalikan keadaan. Dan pengganggu menyembunyikan keberadaan.     

Ungkapan tetua Wiryo terkait, "yang tumbang, itulah yang lemah. Tertinggal dan sengaja di tinggalkan," Aruna tak akan lagi berada di kategori 'yang lemah'.     

Perempuan bermata coklat menarik Krah baju suaminya, lelaki bermata biru tahu kode itu. Kode dirinya perlu merunduk menyambut bibir istrinya, candu yang memperlambat gerak neuron di kepala.     

"Kado untuk suamiku; 'ajukan tiga permintaan, dan jinni (jin perempuan) pasti mengabulkan permintaan tersebut,"     

"Benarkah??"     

"Ya.. begitulah.."     

"benar nih? Tiga ya..?"     

"Iya benar.."     

"Asyik.." pria tersebut langsung memacu kerja otaknya, berpikir keras.     

"ada waktu sehari supaya kamu bisa memikirkannya matang-matang. renungi, jangan buru-buru," Ungkap Aruna bergerak ringan mendekati jaringan telepon yang berdering, "iya.. oke, kita segera turun," telepon kamar di tutup. Mahendra didorong supaya bergerak keluar. Sebab pria yang baru menginjak kepala tiga tengah lupa daratan, terlalu fokus mencari 3 permintaan penting.     

"Pestamu sudah di siapkan di bawah.." Aruna mendorong keluar kamar tubuh lelaki tinggi tegap yang asyik memegangi pelipisnya.     

"Tunggu.. tunggu.. aku menemukan satu permintaan penting," suara Mahendra menyapa secara tiba-tiba membuat Aruna terperanjat.     

"Mulai sekarang tidak ada lagi ... ... ..."     

***     

"Aaaargh.. Lepaskan aku!!"     

Lelaki yang kini menjerat Kiki sama sekali asing terhadap perempuan yang punya kelakuan liar sejenis Kiki. Liar dalam artian sesungguhnya sebab rambut pria jangkung dengan hidung mancung tersebut baru saja terlepas beberapa helai dari kulit kepala, ditarik dan dijambak Kiki.     

"Tuhan.. bisa diam tidak sih!?" Vian kesal bukan main.     

"DUK!!" bunyi rahang dagu Vian dihantam kepala perempuan berdaster merah, "Aaargh!!" hidung Vian berdarah. Mobil segera menemui tepian jalanan, terhenti sejenak.     

Tahu mobil dihentikan, dan pengemudi di depan melepas kunci otomatis pada pintu penumpang demi memberi kesempatan lelaki yang berada di kursi penumpang bagian depan keluar menuju kursi penumpang bagian belakang guna membantu seniornya.     

Per sekian detik, peluang tersebut ditangkap Kiki. Gadis ini buru-buru pendorong pintu, berhajat melarikan diri. Di tengah rasa pening mendapati kucuran darahnya sendiri. Spontan Vian meraih Kiki. Sayang sekali, tangan Vian hanya sempat meraih kerah leher daster longgar.     

Mendapati Kiki hampir lolos menuruni mobilnya, Vian menariknya sekuat tenaga.     

"wreeeek," bunyi ini tak terhindarkan. Vian lekas-lekas melepas jerat tangannya. Daster merah yang tentu saja cukup mudah dirobek sebab bahannya standar daster biasa. Sudah terbelah lurus ke bawah dari pangkal leher belakang sampai punggung putih bersih milik perempuan yang rambutnya awut-awutan. Kulit punggung Kiki terekspos lengkap dengan kait milik kain penyangga bagian dada.     

Kiki yang sudah menyentuhkan salah satu kakinya di aspal, hendak melarikan diri. Buru-buru kembali duduk dan merapatkan tubuh sisi belakang pada sandaran kursi mobil. Melekat rapat, supaya 3 lelaki penghuni mobil ini tidak melihat bagian belakang tubuhnya.     

"Maafkan aku," kata Vian, meraih segenggam tisu membersihkan darah di hidungnya. Anak buah Vian yang tadinya hendak membantu Vian dengan berpindah posisi duduk di kursi penumpang belakang dengan tujuan mengikat tangan Kiki. Saat ini, ia berbalik arah, kembali duduk di kursi depan. Dan mobil hitam perlahan bergerak menembus jalanan kota.     

Vian tidak menyadari, perlahan tubuh Kiki bergeser kian dekat kepada si jangkung berhidung mancung. Kiki melepas sandal jepitnya.     

Tangan terangkat ke udara, Kiki jengkel setengah mati, dan, "PLAK!!" muka Vian bertemu sesuatu yang menjijikkan, bahkan bibirnya mengecup dasar permukaan sendal jepit rumahan yang di beli di pasar tanah Abang.     

"Perempuan GILAAAA!!" Vian meledak, dia marah besar ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.