Ciuman Pertama Aruna

III-147. Gadis Bar-Bar



III-147. Gadis Bar-Bar

0Tangan terangkat ke udara, Kiki jengkel setengah mati, dan, "PLAK!!" muka Vian bertemu sesuatu yang menjijikkan, bahkan bibirnya mengecup dasar permukaan sendal jepit rumahan yang di beli di pasar tanah Abang.     
0

"Perempuan GILAAAA!!" Vian meledak, dia marah besar, lelaki tersebut meraih tangan Kiki kemudian digenggam erat hingga sendal Kiki jatuh ke dasar mobil.     

Tangan lain Kiki yang berusaha mengayun berniat memukul kepala Vian, langsung ditangkap lelaki kurus berhidung mancung tersebut. Pria jangkung ini mendapati dua pergelangan tangan Kiki berada di dalam genggamannya.     

Kiki gadis pantang menyerah. Semua orang mengetahui itu, kecuali Vian. Jadi ketika kedua tangannya terkunci, "lepaskan aku!" gadis ini berteriak sambil menjauhkan kepalanya kemudian kepala tersebut berayun membentur kening Vian dengan kekuatan penuh.     

Sekian detik kepala Vian oleng. Pengemudi yang ada di depan termasuk salah seorang anak buah Vian yang duduk di kursi penumpang di sisi depan. Berusaha menoleh memastikan senior mereka atau lebih tepatnya atasan mereka baik-baik saja.     

Setelah laki-laki yang memiliki tatapan sendu tersebut menemukan kesadarannya, Vian tidak mau tanggung-tanggung lagi. Dia mau memberi pelajaran kepada gadis barbar nan aneh. Vian meletakkan sopan santunnya, dia merengkuh tubuh Kiki hingga punggung tanpa pelapis tersebut mendapatkan dekapan dari belakang, lalu tangan Kiki yang berada di sisi depan dijerat oleh genggaman kuat Vian.     

Vian menyodorkan pergelangan tangan menyatu tersebut condong ke depan, ke arah anak buahnya yang duduk di depan, "lepas dasi mu," demikian ungkapan Vian yang langsung disambut anak buahnya dengan melepas dasi yang melekat di kerah lehernya, sejalan kemudian mengikat tangan Kiki.     

Kiki tidak berhenti bergerak. Dekapan dari belakang yang membuat punggung tanpa pelapis kain tersebut melekat di dada Vian merendahkan rasa percaya dirinya sebagai perempuan. Setangguh apa pun Kiki, sisi gadisnya tak bisa dipungkiri, "aku, lepaskan aku!" kemarahan yang membuat wajahnya merah, kini berubah menjadikan dirinya redup.     

Sampai pada titik di mana mata kiki berkaca-kaca, ialah ketika tangan Vian yang melengkungi dada beserta lengannya menggunakan satu dekapan tangan kiri. Karena tangan kanan lelaki tersebut digunakan pemiliknya untuk melepas dasinya sendiri.     

Sejalan berikutnya terlihat Vian melempar tubuh kiki hingga tersungkur di sofa, kursi penumpang. Kiki bergerak memastikan punggungnya tidak terlihat secara gamblang di hadapan penculiknya. Gadis ini menggeser tubuhnya, menepi, paling tepi, sejauh jauhnya dari lelaki hidung mancung.     

Vian yang sudah geregetan dengan kelakuan Kiki, tak lagi berkenaan menggunakan hati. Lelaki tersebut meringkus kedua kaki telanjang Kiki. Direngkuh dan detik ini telapak kaki telanjang gadis tersebut terletak di separuh paha kiri Vian, kaki tersebut diikat kuat-kuat.     

Segala upaya perlawanan tidak berguna, yang dapat dilihat saat ini ialah gadis dengan punggung terbuka yang menempel sandaran sofa, kursi mobil. Di mana tangan dan kakinya terikat. Serta mata berkaca-kaca.     

tak butuh waktu lama untuk mendapati air mata mengalir di pipinya.     

Tapi tiap kali Vian melihatnya dia masih menyala-nyala. Perempuan berambut hitam lebat yang kini terurai berantakan menatapnya penuh rasa dendam. Air mata boleh membasahi pipi, raut muka konsisten penuh emosi.     

"dengar! Aku, akan baik padamu kalau kau bisa dikendalikan. Diam dan turuti perintahku sekarang!" Vian.     

"Tak Sudi! PULANG KAN AKU SEKARANG! AAAAAA...." menggunakan suaranya Kiki mengganggu seisi mobil.     

"nona kau mau mulutmu aku ikat juga?? Jangan membuatku marah?!" Vian yang tak habis pikir bakal menemui gadis tidak waras, bar-bar serta menyulitkan bukan main. Meraih rahang Kiki, lelaki berhidung mancung dengan mata sayu yang sejujurnya menawarkan raut wajah pria baik-baik. Terdapat-i menjerat rahang Kiki menggunakan genggaman tangannya. Tangan tersebut menekan rahang mulut Kiki, sebab Kiki hampir saja mengumpulkan saliva untuk dilempar ke wajah Vian.     

"Kau!" ancam pria marah yang mana hidungnya berdarah, tangan tergigit, dahi terhantam sampai kepada rambutnya dikoyak gadis yang tampaknya tak memiliki banyak tenaga, kenyataannya sangat pemberani dan tak punya ekspresi takut sama sekali, "semakin kau sulit diajak bekerja sama, aku akan memperlakukanmu buruk! Camkan itu!!" Gusar dada Vian membuatnya mengancam Kiki, "sekali kau berusaha memberontak, akan ku tarik kain tipis ini sehingga dirimu terlucuti di hadapanku," Vian memandang daster merah.     

Air mata kiki jatuh kian banyak, membuat pipinya sembab. Vian yang sesungguhnya tidak punya niat berperilaku seburuk ini, tak kuasa melihat gadis itu menawarkan air matanya. Vian membuang tangan kanannya, itu artinya dagu Kiki dilepas dengan cara kasar.     

Kiki menangis tanpa suara, bibir bawahnya digigit supaya tak terbit suara-suara kelemahannya. Di sisi lain, tertangkap Vian melepas jasnya. Daster yang sobek di sisi belakang perlahan-lahan menawarkan bahu kosong bagian kanan milik gadis yang permukaan kulitnya jarang berjumpa matahari.     

Jas Vian yang sempat di biarkan lama dalam posisi tergenggam oleh tangan kirinya, "Huuuu," Vian berusaha menyingkirkan kemarahan, ujung-ujungnya si pria menelungkupi punggung gadis menangis tanpa suara.     

Sembari membuang pandangan, saking ilfil nya terhadap perempuan barbar tersebut. Vian terdapati mengikat bagian lengan baju tanpa melihat Kiki.     

"berhenti menangis!, Aku tidak sejahat isi otakmu," itu pesan Vian, lelaki tersebut menggeser dirinya jauh-jauh dari gadis barbar yang berbahaya.     

***     

Mata terbuka, langit-langit terang. _Ah, lampu.. di mana aku.. banyak sekali lampu.." Thom sempat melihat sosok terlapisi kain hijau menuju tosca membawa gunting di tangan, mendekatinya. Dan sebuah jarum perlahan-lahan menusuk lengan kiri lalu kesadarannya hilang.     

***     

Sepanjang perjalanan Kiki yang lelah berontak lalu menangis, berakhir tidur pulas. Giliran matanya terbuka dia sampai di sebuah tempat, tidak asing untuknya. Lelaki yang memberinya penutup tubuh berupa jas. Kini menggenggam lengan kirinya.     

_tunggu?? Mengapa tubuhku melayang_     

"Argh, lepas!"     

"sekali kau berontak aku akan membantingmu ke lantai!" pria yang tadi bergulat dengannya. Ternyata menggendong tubuhnya. Dia masih tampak marah. Berjalan gusar menaiki tangga, dan berakhir membanting tubuh Kiki di atas ranjang empuk berwarna putih.     

Sungguh, detik ini Kiki benar-benar merasakan rasa takut, tangannya masih terikat Begitu juga dengan pergelangan kakinya. Kiki bergerak sejauh-jauhnya menuju tepian ranjang tempatnya dibanting. Sayangnya, baju yang melapisi tubuh Kiki tak bisa membuatnya banyak bergerak. Atau sobekan itu kian menjadi-jadi.     

"Kau ingin ganti baju," Vian menawarkan, Kiki terdiam menatapnya tajam terlebih kini ruangan yang desain dasarnya tidak jauh-jauh dari rumah mewah Thomas yang dulu pernah ia kunjungi. Secara mengkhawatirkan menyajikan empat orang laki-laki, selain lelaki yang hidungnya Kiki buat berdarah.     

"Senior kita interogasi sekarang?"     

"biarkan dia ganti baju dulu," kata pria yang hidungnya masih merah, pria tersebut baru memasuki ruangan. Kemudian kembali dengan hem serta bawahan berupa celana olahraga yang terdapati Kiki dilempar ranjang tepat samping dirinya berada.     

"Oke," satu persatu keempat lelaki itu menghilang. Menyisakan pria hidung merah yang menyajikan tatapan sendu. Lelaki berwajah menipu. Harusnya wajah sendu tersebut identik dengan lelaki baik. Realitasnya di mata Kiki, Vian penjahat kelas kakap. Mungkin sejenis mafia, sebab Thomas sempat mengatakan dirinya bukan bunuh diri. Melainkan dibunuh oleh sekelompok orang, bisa jadi sekelompok pembunuh tersebut dipimpin pria yang saat ini melepas ikatan tali pada kaki Kiki.     

Baru saja kaki Kiki bebas, gadis yang merasa hidupnya dalam keadaan bahaya. Berusaha berlari menuju pintu, "Sial!!" umpat Vian jengkel.     

Pria tersebut, bergerak tangkas menangkap Kiki, merengkuh gadis yang tingginya tak seberapa. Menyampirkan tubuh gadis yang tangannya masih terikat, dan tubuhnya dilindungi oleh jasnya pada salah satu bahunya. Vian menyambar baju yang tadi dia lempar. Tidak butuh waktu lama Vian sampai di dalam kamar mandi.     

Kiki memukul-mukul punggung Vian tanpa henti, sedangkan Vian sendiri seolah tidak peduli. Seperti seseorang yang kebal terhadap pukulan.     

Padahal pukulan tersebut semakin lama semakin kuat, sejalan dengan rasa takut Kiki yang meninggi setelah perempuan ini memahami dia berada di kamar mandi mewah. Bathtub yang biasa hanya dilihat di TV, kini tertangkap matanya.     

Pria tersebut akhirnya menurunkan tubuhnya, "sebesar apa pun, kau berusaha melarikan diri, percuma!" Tandasnya, "kamu tidak tahu apa yang sedang kamu hadapi," pria yang menawarkan segalanya lancip, baik kontur wajah hingga hidungnya yang mancung, dia tengah menerawang.     

Selepas melempar baju di kepada perempuan, yang berdiri sambil mengamat-ngamati ingin melarikan diri. Vian sedang mengamankan beda tajam. Seperti pencukur kumis, ke dalam saku celananya.     

"Kau ingin aku yang menggantikan bajumu, atau kau ganti baju sendiri?, He.." ada tawa berupa hinaan yang di terbitkan suara Vian. Sembari melepas tangan Kiki yang terikat dasi, Vian membisikan sesuatu di telinga Kiki, "... ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.