Ciuman Pertama Aruna

III-150. Bekas Luka



III-150. Bekas Luka

0"Kau ingin aku yang menggantikan bajumu, atau kau ganti baju sendiri?, He.." ada tawa berupa hinaan yang di terbitkan suara Vian. Sembari melepas tangan Kiki yang terikat dasi, Vian membisikan sesuatu di telinga Kiki, "cobalah melarikan diri kalau kamu bisa. Asal kamu tahu, semakin kamu berontak semakin besar kemungkinan aku, memperlakukanmu dengan buruk," Vian menggunakan tangan kanannya meraih lengan jas yang tadi ia ikat. Jas tersebut terlepas seketika.     
0

Kiki Demikian terkejut, ia buru-buru mengamankan dirinya dengan menyilangkan dua tangannya di depan dada. Untungnya pria ini tak menoleh kepadanya lagi. Ia berjalan begitu saja, Menuju pintu keluar dan meninggalkan Kiki sendirian di kamar mandi.     

***     

"Rumah sakit, ini bau rumah sakit," Thom mendengarkan langkah kaki orang yang tengah berjalan, terpadu dengan gesekan 4 buah roda.     

Lelaki berambut sebahu ini sedang berada dalam pengaruh obat bius selepas operasi. Thom merasa dirinya mulai menemukan kesadaran. Sayang sekali matanya belum berkenan untuk dibuka.     

Semakin lama roda berputar, semakin awas dia memahami suasana sekitar. Kepalanya berada di atas bantal sama dengan tubuhnya yang kini tengah terbaring di atas benda empuk.     

"Aku berada di atas ranjang rumah sakit?" mata Thomas berusaha terbuka, kenyataannya kesadaran tersebut tidak berlangsung lama.     

***     

"Sayang," Hendra membangunkan istrinya yang ia paksa tidur selepas sarapan. Mengingat semalam perempuan tersebut bergadang.     

Mahendra membangunkan Aruna, sebab dokter yang biasa memeriksa lukanya sudah datang. Aruna masih malas, ia enggan bangkit dari pembaringan.     

"Bagaimana punggung Anda nona?" dokter lekas duduk di kursi yang sengaja bergeser lebih dekat kepada ranjang sulur bunga Lily.     

"Dokter Martin??" Aruna lekas bangkit, wajahnya memerah setelah memahami Mahendra membangunkannya sebab datangnya tamu yang ia tunggu-tunggu.     

"Boleh di tunjukkan lengannya?" Aruna memperlihatkan lengannya, lengan kiri yang juga memiliki berbekas luka. Kenyataannya bekas luka itu menuju samar dan hampir menghilang. Obat luar yang memiliki kandungan gel silikon dan vitamin C untuk membantu menghaluskan bekas luka berhasil mempercantik kulitnya. Sehingga kembali ke bentuk semula kecuali luka di punggung, yang sampai detik ini Aruna sendiri belum tahu separah apa punggungnya. Hendra melarangnya untuk mencari tahu dan Aruna mengikuti kehendak lelaki bermata biru.     

"kita bisa menghilangkan bekasnya?" ini suara Mahendra yang baru saja menelungkupkan selimut di bagian depan tubuh istrinya, ketika punggung perempuannya terpaksa terbuka untuk diamati sang dokter.     

"Saya sudah bekerja sama dengan dokter bedah kecantikan, sayangnya nona sedang hamil muda, sebaiknya melewati 3 bulan pertama baru kita bisa menjalankan prosedur operasi tahap 2," Mahendra terlihat mengangguk setelah mendengarkan monolog dokter Martin.     

"Aku punya permintaan lain, lukanya yang ada di bagian sensitif di perbaiki sekalian," lelaki bermata biru bangun dari duduknya, berjalan mendekati nakas tak lama kemudian kembali dengan menunjukkan hasil rontgen.     

"Hen.. Dari mana kamu dapatkan itu?" Ini pertanyaan Aruna, di balas senyuman menggoda.     

Aruna tidak tahu Hendra sempat membuat heboh keluarga Lesmana dengan pencarian dokumen perawatan masa kecil si bungsu yang tertumpuk di gudang. Seisi rumah kecuali Aliana bersusah payah menggeledah gudang sempit pemilik rumah standar, Tapi dalamnya sesak bukan main mengingat gudang berikut ialah benda-benda yang dipindahkan dari rumah mewah menuju rumah 2 lantai standar.     

"Boleh aku bawa?" Tanya dokter Martin.     

"Tentu," jawab Mahendra, dokter Martin sempat berdiskusi dengan Hendra terkait jadwal operasi Aruna yang kemungkinan masih dua bulan lagi. Dokter Martin diantar hingga melambaikan tangan kepada tuan muda Djayadiningrat dari dalam mobilnya.     

Dan saat pria tersebut kembali, Hendra secara mengejutkan melempar tubuhnya ke atas ranjang. Lalu alat pemotong kukku ia keluarkan dari kantong celananya. Mahendra mengulangi hal sama yang tadi tidak disadari Aruna. Meraih tangan ibu hamil, lalu jari-jari itu ia amati sambil dipegang perlahan-lahan. Tangan besar Mahendra merapikan kuku yang terletak pada jari-jari kecil istrinya.     

.     

Aruna yang mengamati jemari tangannya telah usai dibersihkan oleh suaminya. Menatap lekat mata biru sembari bergerak duduk. Mahendra menggenggam tisu yang berisikan kuku-kuku kecil istrinya. Aruna mendekat, memejamkan mata, memberi Hendra denyutan pada bibir.     

"Terima kasih," kata mata coklat melepas ciumannya.     

"begitu saja?"     

"kamu mau yang bagaimana?"     

"Ayo mandi denganku,"     

"Hen.. ingat pesan dokter kandungan?" Hendra tidak memberi jawaban, "beri ibu hamil waktu istirahat yang cukup," Hendra tertawa mendengarkannya.     

"sungguh, kali ini aku hanya ingin menggosok tubuhmu,"     

"Ah, mustahil!"     

"Sungguh.." Tampaknya rayuan Mahendra tak berhasil. Aruna kembali berkeinginan untuk berbaring. Tak mau kalah, dan keinginannya minta dituruti, lelaki bermata biru meringkus tubuh istrinya.     

Melangkah menuruni sulur bunga Lily dengan tubuh perempuan pada pondongan.     

"Hanya mandi,"     

"iya.. hanya mandi di bathtub,"     

***     

_mengapa perempuan itu lama sekali,_ Vian sudah menunggu di depan pintu kamar mandinya lebih dari 15 menit.     

Vian mengetuk pintu kamar mandinya sendiri, ketukan sudah terulang tiga kali. Giliran ingin membukanya tampaknya masih dikunci dari belakang.     

"Hi, ayolah buka pintunya," vian sempat marah mengetuk dengan suara meresahkan, "percuma kau mencari cara, kamar mandiku tidak memiliki segala kemungkinan melarikan diri," Vian kembali marah tapi ternyata celah tanda pintu terbuka menyapa lelaki yang berkeinginan masuk.     

Vian baru saja membuka pintu, "BRUAK!!"     

Entah apa yang dihantamkan Kiki pada Vian sehingga pria tersebut jatuh tersungkur di lantai.     

"Aaarh, sial kau!!" Kiki melompati tubuh Vian berniat lari, sayangnya Vian tidak 100% pingsan. Pria berhidung mancung tersebut menjerat kaki kanan Kiki. Menggenggam-i kaki Kiki kuat-kuat sambil memanggil anak buahnya.     

Vian sudah hilang kesabaran. Hingga gadis rambut panjang hitam lebat berujung diikat di sofa oleh Vian dan anak buahnya.     

"Baru sekarang aku menyekap orang dengan cara tidak elegan!" Amuk Vian.     

***     

"Thom?" Thomas mengenali suara ini, "Sukurlah kamu sudah sadar, biar aku panggilkan dokter," Leona bangkit dari duduknya. Mendekati susunan tombol yang berada di atas ranjang tidur Thomas, Leo memencet tombol panggilan khusus dokter.     

Hal pertama yang dilakukan Thomas saat ini, ia berusaha mengingat segala-galanya. Lelaki ini mengenal baik siapa Leo, kehilangan ingatan bisa terjadi kapan saja pada dirinya. Kenyataannya lelaki ini mengingat segalanya, dia juga mengingat keadaan terakhirnya sebelum hilang kesadaran. Dirinya ingin memberi kabar pada Kiki, gadis galak yang saat ini pasti tengah menghawatirkan keberadaannya.     

"kau tahu di mana handphoneku?" Tom bangkit dari tidurnya.     

"mengapa kau mencari handphone mu?" balas Leo mengerutkan dahinya, "kamu tidak ingin tahu, apa yang baru saja kamu lalui,"     

bahkan Thomas tidak peduli kakinya baru saja dioperasi. "tolong berikan handphone-ku,"     

Baru, di saat Leo tampak sibuk mencari handphonenya, Thomas mengamati kakinya. Dia yang dulu menghilang sebelum prosedur akhir penyembuhan, bersyukur bisa melengkapi operasi tersebut.     

"Thom, apa Vian tahu kamu masih hidup?"     

"Tidaak.." Tom tampak bingung mendengar pertanyaan Leo, gadis itu menyerahkan handphone Thom.     

"Aku mengenali nomor handphone vian," ujar Leo menunjukkan layar handphone Tom dipenuhi panggilan dari nomor yang sama.     

"Boleh aku melihat nomor Vian," Thom melihat nomor Vian dengan cara meminjam telepon genggam Leo.     

_Ada yang tidak beres_ ini ungkapan hati Tom, mengetahui nomor Vian benar-benar nomor yang sama yang telah menghubungi handphone baru, identitas baru dan nomor baru kehidupan kedua Thomas.     

.     

"Kiki.." mulut Thomas menyebut nama perempuan yang pesannya Sedang dibaca.     

Mengejutkan gadis itu menelepon di saat yang tepat.     

[Kiki] suara Thomas.     

[Thomas..] ada rintihan di ujung sana, [jangan pedulikan aku, pergilah sejauh-jauhnya, selamatkan dirimu] Suara yang familier, hanya saja Tom masih mengumpulkan isi kepalanya. Belum bisa mencerna Apa yang sedang disampaikan Kiki. Dia takut suara Kiki sekedar imajinasi karena pengaruh obat.     

[Apa yang kau katakan, Hah! Gadis menyusahkan!!] Ada suara yang membentak, suara itu lagi-lagi familier di telinga Thomas.     

[Hai bro.. lama tak jumpa, akhirnya kau angkat juga teleponku,]     

_Vian.. Kiki.. ada apa dengan mereka? Mengapa di satu tempat?_ pertanyaan berikut ini membaur jadi satu.     

Deg     

Jantung Tom berdetak, dia sadar akan datangnya bencana berikutnya, terlebih di ujung sana Vian lagi-lagi menerbitkan ujaran kemarahan, [Tutup mulutnya! supaya dia tak mengganggu percakapanku,]     

Thomas! ... ...     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.