Ciuman Pertama Aruna

III-152. Bukan Kamu, Tapi Kita



III-152. Bukan Kamu, Tapi Kita

0"airnya sudah dingin, nyalakan kran air hangat untukku!" ini ucapan perempuan kembali menutup matanya.     
0

Hendra menuruti permintaan Aruna. Bersama suara gemercik air hangat menggeser air dingin dan busa di bathtub, untuk kedua kali Aruna mengucapkan ujaran uniknya, "apa yang paling gelap selain pernah mencekik istrinya dan mengurungnya sampai pingsan?, Beri tahu aku!"     

"Berniat menghilangkan nyawa orang lain, bagaimana dengan itu," Mahendra menyesap bahu istrinya.     

Aruna terperanjat sekian detik, _jalan hitam, bunker bawah tanah menakutkan, Apakah ucapan Mahendra sejenis dengan cerita Rey?_ (season II) perempuan bermata coklat tak lagi Bisa menutup matanya. Aruna tidak memberikan jawaban. Dia meraih salah satu tangan Mahendra, dan mengarahkan telapak tangan tersebut di atas permukaan perutnya.     

Komunikasi tidak harus berupa ucapan. Bahkan kalimat tanya yang tak bisa di tanggapi, dapat menjumpai banyak makna melalui bahasa verbal lainnya.     

Mahendra merapatkan pelukannya. Meraba bentuk yang tak lagi rata, "ada yang mengusahakan kehidupan seseorang, semoga ada yang mengusahakan menghentikan kematian seseorang," Aruna mengangkat tangan di dalam air, lalu mengecup punggung tangan tersebut.     

"Semoga tangan ini tetap bersih, Karena dia akan memeluk putra putriku," hanya kalimat itu yang disuarakan Aruna. Sebelum akhirnya, perempuan ini mengizinkan suaminya mendekap lebih erat dirinya, memenuhi keinginan lelaki bermata biru.     

***     

"Apa yang kau katakan pada Vian," kata tanya Thomas menyapa Leona selepas dokter pergi hingga keduanya terdiam cukup lama.     

"Dia yang akan datang ke sini menemuimu," Leo mengangkat sebuah nampan tersisihkan makan siang Thom.     

"Tidak, letak kan! Aku belum ingin," Tandas Thomas membuang pandangannya ke jendela kaca lebar di sisi kiri tempatnya terbaring.     

"Huuh.." suara embusan nafas Leo terbang bersama keinginannya menyentuh Tom.     

"Siapa Kiki," sejak semalam Leo sejujurnya amat penasaran.     

"Gadis yang menyelamatkanku, aku berhutang Budi banyak kepadanya dan keluarganya," mata Tom masih mengarah ke jendela. Jelas sekali ia tidak ingin mengamati Leo yang duduk di kursi sebelah ranjang belakang arah pandangnya, "Tanpa mereka mungkin saat ini aku.. aku sudah tidak ada, entah tak bertahan hidup, atau memilih mengakhiri hidup,"     

"kelihatannya dia sangat spesial," ungkapan ini sejujurnya sebuah kode bahwa Leo merasakan debaran cemburu.     

"dia sangat bersemangat, dalam segala hal mengajarkanku untuk bertahan hidup. Aku bahkan Sempat berpikir tak akan pernah kembali pada kehidupanku semula dan memilih tinggal dikeluarganya yang sederhana," mata Thomas menerawang kembali pulang ke rumah bapak. Ke kamar lusuh, yang tiap malam akan ada perempuan yang menanyakan kondisi kakinya, mengganti perbannya tanpa permisi, atau kadang-kadang sekedar menanyakan 'mana bajumu yang kotor?' atau memarahi Thomas yang tak bisa melipat baju dengan benar, 'lipat bajunya yang benar!'     

"terima kasih, kau membiarkan kenanganku hidup," ujar Thomas.     

"apa kamu pikir aku akan tega melakukan itu?" Leona tercengang dengan ucapan terakhir Thomas.     

"Entahlah, tapi kakakmu tega membunuhku,"     

"anna? Kau yakin Anna tega melakukan itu??" Leo terus memandang wajah Tom. Berharap pria itu menyambut dirinya barang sekejap saja.     

"Bukti?, aku tidak punya bukti, kecuali Darko membuat pengakuan, Sebab dia yang melempar ku ke dasar sungai," kali ini Thomas ingin membuka segalanya.     

Leo menelan saliva, "semua orang berpikir kamu bunuh diri, karena kaulah pelaku peledakan kantor Vian,"     

"iya, aku pelakunya, kalau toh aku tidak meledakkan kantor Vian, aku bakal kehilangan pekerjaanku di lantai D, bukan cuma itu, mungkin saat ini aku mendekam di penjara bawah tanah, di ruangan putih, heh," dia tertawa menghina dirinya di akhir kalimat.     

"Apa alasanmu meledakkan kantor Vian?"     

"kantor Vian menyembunyikan bukti kebodohanku,"     

"Kau melakukan kesalahan sebelumnya?"     

"Ya tepat sekali," Thom memindahkan arah pandangannya tapi tidak melihat Leo, "karena rayuan anna yang mengatakan bakal membawamu pulang ke Indonesia dengan bantuan tetua. aku membocorkan proses sidang perceraian tuan muda. Sidang itu berakhir ricuh, tim Pradita tidak tidur berhari-hari, blokir banyak situs, menghalau konten-konten Vidio menyebar,"     

"Apa aku masih ada dihatimu Tom," kalimat ini terbit setelah dipikirkan matang-matang oleh Leo     

"aku ingin hubungan kita berakhir," pada akhirnya kalimat Thomas yang ditakuti Leo terdengar juga.     

"Apakah kau lupa? kita punya rencana menikah," suara ini bergetar, wujud rasa getir di dada.     

"aku akan berakhir di ruang putih, hehe, dan kamu berkata seperti itu," kalimat Thomas mengingatkan Leo bahwa ia sebentar lagi tertangkap Vian. Tidak ada harapan lagi baginya.     

"kau tidak ingin lari? Kita lari berdua?" Thomas spontan menggeleng.     

"kiki dan keluarganya, aku tak bisa mengabaikan keberadaan mereka," Dia yang bicara menghembuskan nafas panjang, "dan aku belum membuka kejahatan kakakmu,"     

"Kau tak bisa memaafkan Anna?" entah apa yang dipikirkan Leo, dia seolah ingin melindungi kakaknya.     

Tentu saja Thomas menoleh, sebab bingung dengan cara berpikir Leona.     

"tidak, jelas tidak!"     

"Kakakku melewati masa-masa buruk karena-"     

"Brak," pintu terbuka kasar, hasil dari dorongan Vian dan salah satu anak buahnya yang tertangkap mendekap lengan perempuan berambut hitam panjang. Perempuan tersebut mereka lempar. Dan terjatuh di lantai.     

"Kiki.." Thomas buru-buru menegakkan punggungnya, dan gadis bernama Kiki mendongak mencari suara laki-laki yang memanggil namanya.     

"Thomas..." perempuan itu pada akhirnya menangis, pecah, dan berlari memeluk tubuh Thomas. Rasa takut yang disembunyikan sejak pagi, sejak dirinya diculik dari rumahnya. Tumpah ruah di dada Thomas. Laki-laki itu menenangkan Kiki, mengelus rambut dan menepuk punggungnya. Supaya lekas sadar dari rasa takut yang pada akhirnya Thomas lihat.     

"Hai.. lihat aku.. aku baik-baik saja," Kiki menggeleng dalam pelukan Thomas. Bagi Kiki, Thomas tengah melakukan kebodohan, sebab menyerahkan diri pada orang yang pernah membunuhnya.     

"Kau bodoh! Bodoh!" gadis itu marah-marah, Thomas tersenyum bisa mendengar kemarahan Kiki yang berujung memukuli punggungnya, Menggunakan tangan yang awal mulanya memeluk hangat Thomas.     

"Kamu baik-baik saja," Thomas memperhatikan dengan lekat keadaan Kiki, perempuan yang kini mengenakan hem kebesaran milik Vian. Termasuk celana olahraga yang ditekuk di pada ujung kakinya sebab kepanjangan.     

Thomas menyentuh rahang gadis itu, sekejap kemudian dia menatap tajam pada Vian. Kiki tergores pada rahangnya, daerah seputar rahang merah.     

"aku tak sengaja melukai rahangnya, dia.. Hah!! Lihat!" Vian menunjukkan hidungnya yang merah, berikutnya laki-laki ini berbalik, menarik kerah lehernya ke samping ingin memberitahu Thomas bahwa bahunya memar akibat kelakuan Kiki yang hampir menebas kepalanya, untung bahunya yang kena.     

melihat emosi Vian yang meluap-luap, yang mana jarang sekali Vian seperti ini. Thomas tahu Vian pasti kesusahan mengendalikan Kiki.     

"Kenapa kau menanyakan keadaanku!" ini jawaban Kiki dari pertanyaan Thomas tentang keadaannya. Celetukan kasar Kiki membuat Thomas merasakan hidupnya kembali.     

"Aku khawatir," Thomas menepuk pipi yang tadi ia pegang.     

Gadis yang kini menghapus air matanya, memberondong Thomas dengan berbagai kalimat tanya, membuat Leona menyingkir dari kursinya. Leo tak sanggup duduk di dekat adegan mereka, Leo tengah bertanya-tanya akankah perempuan ini sudah merebut Thomas darinya.     

"Kamu itu yang bikin semua orang gelisah! Bagaimana kakimu? Semalam kamu tidur dimana? Kenapa kamu pergi tiba-tiba? Kamu Sudah makan belum? Apa kita bisa pulang?" Thomas tak sempat membalas pertanyaan Kiki, gadis itu tidak memberi jeda pada kalimat tanya yang iya susun rangkap-rangkap. Dia malah tertawa.     

"mengapa nampan itu masih utuh?" Kiki menoleh setelah pandangan matanya sempat melihat nampan makanan tak tersentuh. Bahkan jari telunjuknya mengarah pada nampan yang masih terbungkus plastik warp.     

Kiki menyahutnya begitu saja, lalu menemukan meja makan kecil yang buru-buru ia dekati kemudian dipasang di atas pangkuan Thomas. Tanpa banyak bicara Kiki membuka plastik warp, meraih sendoknya, berikutnya menggenggam tangan kanan Thomas. Sendok makan tersebut diletakkan di telapak tangan Thomas. "Makan sekarang!"     

Leo dan Vian sempat saling memandang. Melihat apa yang terjadi di hadapan mereka.     

"Apa aku saja yang makan?!"     

Thomas tersenyum mengerjapkan matanya sebelum akhirnya menuruti permintaan Kiki.     

"Setelah aku makan, kamu pulang," ujar Thomas.     

"Bukan kamu tapi Kita!," tandas Kiki.     

"Ini kehidupanku yang sebenarnya Ki.." suara Thomas ringan menyimpan resahnya sendiri.     

"Tidak! Buat apa hidup di tempat yang orang-orang ingin melukaimu, Kau pulang denganku!!" gadis ini percaya diri, dia bahkan menolehkan wajahnya pada Vian. Mengumbar tatapan permusuhan.     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.