Ciuman Pertama Aruna

III-153. Bye



III-153. Bye

0"Tidak! Buat apa hidup di tempat yang orang-orangnya ingin melukaimu, Kau pulang denganku!!" gadis ini percaya diri, dia bahkan menolehkan wajahnya pada Vian. Mengumbar tatapan permusuhan.     
0

Thomas masih terdiam tidak membuat penjelasan apa pun untuk Kiki. Walaupun Thomas tahu pasti dia tidak akan pernah kembali ke kepada keluarga Kiki.     

"Kembalikan headphone ku!" Kiki turun dari ranjang Thomas. Mendekati Vian, si laki-laki dengan hidung lancip dan perawakan yang terlampau tinggi. Menengadahkan tangan kanan kepada Vian.     

"Minta maaf dulu kepadaku," ini ucapan Vian.     

"Harusnya kau yang minta maaf padaku," Vian dengan mata sipitnya memicing. Termasuk Leo yang secara nyata menunjukkan ekspresi risi terhadap Kiki.     

"buat apa?" vian tak sudi.     

"buat apa kau bilang? Ah' apa semua orang kaya semena-mena sepertimu? Siapa yang datang ke rumah orang pagi-pagi? masuk tanpa permisi. Menggeledah rumah orang," kalimat tegas gadis berambut hitam lebat tersebut memojokkan seseorang.     

"karena kau menyimpan seseorang yang kami buru," kilah Vian.     

"Alasan! Mana handphoneku," Vian meminta anak buahnya mengeluarkan handphone Kiki. Giliran gadis tersebut akan meraih telepon genggam dari tangan anak buah Vian. Vian menangkapnya dan mengangkat handphone tersebut ke atas.     

"Kau tahu Bomb?" ledek Vian.     

"Kemarikan handphone ku!"     

"Burung hitam beralis merah yang suka meledak kalau marah?" Vian sedang membicarakan kartun anak-anak yang terngiang di kepalanya sejak bertemu Kiki. kartun tersebut ialah kartun tentang sekelompok burung pemarah, angry birds.     

Di antara cercaan Vian yang tengah tertawa, dia tidak tahu Kiki membuka sedikit kakinya. Dan mendorong ke belakang sikunya. Serta tangan mengepal diputar setengah lingkaran, "Bam,"     

"Arrgh!" lelaki bermata sendu tersebut benar-benar tengah menemukan kesenduan nyata. Kiki meninju sekuat tenaga perut Vian. Bahkan tangan perempuan berambut hitam lebat tersebut dikibas-kibaskan sebab merasakan rasa nyeri. Handphone Kiki turun dari ketinggian, kini menemui telapak tangan pemiliknya.     

"Kau gila!" bentak Vian, dibalas senyum miring gigi gingsul Kiki.     

"kau yang keterlaluan Vian," suara Thomas datar, baru saja meraih nasi beserta sepotong daging dengan sendok lalu di paksa masuk ke dalam mulutnya.     

Vian masih memegang perutnya, kiki berjalan keluar, gadis tersebut berniat izin tidak masuk kerja pada atasannya.     

.     

"Ki.. kau tahu, minimarket berbeda dengan perkantoran," suara manajer Kiki terngiang di telinga.     

"Mohon maaf, saudara saya sakit pak.."     

"Kamu sudah menggunakan alasan itu lebih dari sekali, manajemen sangat mudah mencari anak lulusan SMA untuk menggantikanmu, aku sih percaya, tapi sistem yang ada, menghitung jumlah absenmu. Mesin tidak akan peduli, apalagi tahu menahu alasan di balik izin yang kita buat," suara di ujung sana terdengar resah karena khawatir atas izin kerja Kiki.     

"Maafkan saya pak,"     

"tidak perlu minta maaf. sayangnya, andai turun surat teguran, Aku belum tentu bisa membantumu,"     

"Iya pak, tak apa," Kiki duduk merenung sendirian pada kursi berbahan besi, di lorong rumah sakit.     

.     

.     

"Vian, pinta anak buahmu membawa Kiki pulang, Bapak dan adik-adiknya bakal kesusahan memikirkan nasib kiki," Thomas mangkat nampan, dan Leo buru-buru berjalan mendekatinya untuk membantu.     

" Maafkan aku," Vian turut mendekat, ia menggerakkan jemarinya kepada anak buahnya. Telapak tangan tersebut disambut dengan mengeluarkan sebuah benda lambang ditangkapnya Thomas. Thomas hanya pasrah, saat borgol mengunci kedua pergelangan tangannya.     

"Thomas, kita jadi-" suara Kiki yang baru saja membuka pintu, mendorong gerakan cepat Thomas menyembunyikan kedua tangannya ke sisi samping, "-pulang kan? Apa kamu bisa pulang,"     

"please!" suara lirih Thomas untuk Vian. Ungkapan tersirat supaya Vian berkenan menarik selimut dan mengubur pergelangan tangan Thomas.     

"Tom baru saja menjalani operasi nona," Leo menghalau langkah Kiki, "mana ada pasien pulang dari rumah sakit sembarangan, semaunya sendiri?, saya tidak tahu kalau orang-orang semacam anda melakukan hal-hal sejenis itu," kata 'semacam anda' dan 'sejenis itu' jelas sekali dilayangkan Leo untuk merendahkan Kiki.     

Menangkap perkataan Thomas tentang Kiki, maupun cara chatting serta perilaku gadis berambut hitam tersebut secara tersirat menggambarkan dia berasal dari mana.     

"Aku hanya bertanya," Kiki yang baru saja masuk dengan wajah ceria, berubah seketika. Raut wajahnya sama seperti beberapa menit tadi, ketika ia baru saja menelepon manajer minimarket tempatnya bekerja.     

"Pulanglah.." pinta Thomas.     

"Aku akan mengantarkanmu, sekalian minta maaf pada, em.. bapak? Yang menghadang mobil kami tadi pagi bapakmu -benar?" kalimat Vian tidak terjawab. Kiki mengamati Thomas yang tersenyum kecut padanya.     

"Besok masih berada di sini?" tanya Kiki, menatap mata Thomas.     

"mungkin," singkat Thomas ragu-ragu.     

"Aku akan menjengukmu," ujar Kiki.     

"Tidak perlu, aku tidak butuh itu, kau harus bekerja," Thomas datar, meyakinkan dia baik-baik saja.     

"Pulang kerja atau sebelum berangkat kerja," gigih Kiki.     

Thomas terdiam. Arah pandangnya sempat menunduk.     

"Tolong, tinggalkan kami berdua, sebentar!" Leo langsung berbalik, mendengar titah Thomas, alisnya hampir menyatu menatap Thomas keheranan.     

"Aku hanya butuh 5 menit," pria yang baru saja mendapati tangannya ter borgol mengucapkan permohonan pada Vian.     

Vian mendorong Leo keluar diikuti anak buahnya. Melihat yang lain sudah menghilang di balik pintu. Thomas meminta Kiki mendekat. Thomas menarik bibirnya lurus. Senyum di bibir sedang ia paksakan.     

"Beritahu bapak, Laila dan," kalimatnya sempat terhenti.     

"Riki," diteruskan Kiki.     

"Aku bersyukur bertemu kalian, bersyukur mengenal kalian, bersyukur merasakan punya keluarga," Air mata Kiki tak terbendung lagi, suara terbata-bata Thomas memberitahukan bahwa dia akan pulang ke tempat asalnya, "jangan menangis," Kiki mengangguk menghapus lelehan zat cair yang membasahi pipinya.     

"Kau tak akan pamit dengan benar pada mereka," ucap Kiki.     

"Aku harap aku bisa pergi dengan benar, kenyataannya.. aku tak bisa berbuat banyak," ada tenggorokan yang tercekik oleh nafasnya sendiri, pria berambut sebahu menahan dan menelan dukanya sendiri.     

"Apa kau akan datang pada kami suatu saat nanti?"     

"Entahlah.." Kiki hanya mengerjapkan mata mendengar ungkapan Thomas, dia mengangguk lagi, mencoba memahami keadaan yang membingungkan baginya.     

"Aku senang punya kenangan bersama gadis pemberani sepertimu, aku pasti merindukan emosimu yang meletup-letup itu," Thomas membuat candaan, sayang tidak ada tawa yang menyambutnya.     

"Kamu harus hidup dengan benar," ini pesan Kiki, "Jangan suka melamun. Dan, tidur lah nyenyak dialam hari," Diam-diam Kiki tahu Thomas sering mengalami insomnia.     

"Sayangnya tempatku setelah ini, menawarkan banyak waktu melamun," dia tertawa di balik kegetirannya. Ruang putih bawah tanah hanya menawarkan lamunan panjang agar bisa bertahan.     

"Begitu ya.." gadis yang tak paham apa-apa menanggapi sekedarnya.     

"Oh iya.. aku punya sesuatu untukmu," mata Thomas mencari letak tas punggungnya, "Nah, tas di sofa itu," Dagu Thomas bergerak menawarkan arah matanya.     

"Ini," ungkap Kiki setelah dekati tas tersebut.     

"Buka tas itu dan ambil jam tangan hitam, itu untukmu," Thomas menawarkan sebuah jam berwarna hitam dengan garis tengah berupa dua buah warna hijau mengapit warna merah ber- icon lebah, G-Timeless w, 38mm. Jam tangan yang dulunya ingin ia berikan untuk Kiki, tapi belum ada kesempatan. Dirinya terlalu canggung serta tak punya alasan yang jelas untuk di berikan pada Kiki.     

"Kamu boleh menjualnya," tambah Thomas.     

_pistol? Ini asli pistol?_     

"Apa Thomas aku tidak dengar?" Thomas lupa, di mana terakhir kali ia meletakkan HS-9.      

"Kau boleh menjualnya,"     

Kiki menarik lurus bibirnya, berbalik menatap Thomas. Menyimpan pengetahuannya tentang senjata api berbahaya.     

"Aku akan menyimpannya baik-baik," ucap Kiki berikutnya.     

Mereka terdiam.     

"Apa sudah saatnya aku pergi?" Thomas tidak menjawab pertanyaan kiki. Tidak mengangguk atau menggeleng. Sehingga Kiki yang memutuskan melangkah, menjauh.     

"Ki.."     

"Ya.." balas gadis tersebut membalik separuh tubuhnya. Setelah dia mengusung tiga melangkah.     

"Apa aku boleh mendapatkan pelukanmu?" Thomas memerah.     

"Ya..h" Kiki kembali dan dengan sangat canggung mendekap Thomas.     

"Boleh aku mendapatkan satu pukulan di punggungku?" Kiki tidak tahu Thomas ingin membuat kenangan terakhirnya dengan baik.     

"Yaah" jawab Kiki, dia tahu nafas pria berambut sebahu tersebut naik turun dan serasa tercekik.     

"Jangan berhutang pada Sasono,"     

"tentu, aku realistis, kalau ada kekurangan pasti kujual jam tangan darimu," ujar Kiki.     

"bagus! dia tidak cocok jadi suamimu, walau telapak tanganmu sama kasarnya, tapi kulitnya terlalu gelap untuk kulit tubuhmu," Thomas menghisap bau gadis ini. Bau daging sapi, masakan spesial yang pernah Kiki tawarkan.     

"Apa??" Kiki melepas dekapannya.     

"aku hanya bercanda,"     

"oh.." Kiki sedikit kecewa Thomas tidak membalas dekapannya.     

"Bye" ucap Kiki mundur.     

"Bye..."     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

IG bluehadyan     

Cinta tulus Pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.