Ciuman Pertama Aruna

III-154. Keluar Rumah



III-154. Keluar Rumah

0"bagus! dia tidak cocok jadi suamimu, walau telapak tanganmu sama kasarnya, tapi kulitnya terlalu gelap untuk kulit tubuhmu," Thomas menghisap bau gadis ini. Bau gulai daging kambing, masakan spesial yang pernah Kiki tawarkan.     
0

"Apa??" Kiki melepas dekapannya.     

"aku hanya bercanda,"     

"oh.." Kiki sedikit kecewa Thomas tidak membalas dekapannya.     

"Bye" ucap Kiki mundur.     

"Bye..."     

Lelaki berambut sebahu setia mengamati langkah perempuan yang sedang menggenggam jam tangan pemberiannya, "Ki... Kihrani," Suara ini tak lagi di sambut, gadis berambut panjang hitam tidak mendengar panggilan Thomas. Sebab dia sudah menghilang di balik pintu.     

"Huuh.." nafas Thomas terhela panjang, tangan di bawah selimut ia keluarkan. Supaya dia sadar kondisi nyata dirinya saat ini.     

"Thom," Leo kembali masuk ke dalam ruang perawatan Thomas, disusul salah seorang anak buah Vian yang sedang membuat panggilan dengan handphone nya, sepertinya anak buah Vian memanggil rekannya yang lain.     

"Pindahkan aku dari tempat ini," ujar Thomas ditujukan pada anak buah Vian.     

"kau harus sembuh dulu Tom," Thomas mengamati Leo sejenak kemudian pria ini berbaring membuang pandangannya ke jendela. Jendela yang menyajikan langit akan jadi mahal untuknya.     

_aku pernah berpisah dari calon istriku, tapi tak seduka ini, walaupun membuatku gila, melakukan segala hal supaya dia kembali, tapi aku masih bisa bernafas,_ Tom meraba dadanya.     

_mungkin? Karena setelah ini aku..._ bahkan dalam imajinasi, Tom tak bisa menjelaskan apa yang bakal terjadi padanya.     

***     

Mesin pengering rambut berembus memberikan rasa hangat di kepala. Mahendra menggunakan benda itu untuk mengeringkan mahkota perempuannya. Seolah menjadi rutinitas sehari-hari selama seminggu ini.     

Cuti dari pekerjaan karena Aruna sakit, bukan lagi sesuatu yang besar, terlebih Surya kian lihai menggantikannya.     

Rambut sebahu Ini tak lagi bisa ia cium ujung-ujungnya, dia benar-benar menunggu kapan rambut perempuan ini memanjang. Mahendra menyukai Aruna dengan rambut panjangnya. Walaupun saat ini ketika tertangkap oleh cermin, Aruna tetap cantik di matanya. Dan kian cantik saat tubuhnya kembali berisi, setelah perjuangan panjang memaksanya makan tiap hari.     

"Hen.."     

"panggil sayang," protes lelaki bermata biru menatap mata Aruna di cermin.     

Perempuan tersebut menyipitkan matanya, "Sayang apa kamu enggak ingin keluar?"     

"Jalan-jalan di taman?"     

"Bukan... keluar itu.., keluar rumah," Aruna menjelaskan keinginannya, perempuan ini sedang memikirkan tantangan Opa Wiryo, Apakah setelah kejadian sarapan pagi Oma Sukma bakal kembali ke kamar Opa Wiryo? Sepertinya tidak akan semudah itu?     

Dan Aruna paham, merayu Opa Wiryo 100 kali lebih susah daripada merayu Oma Sukma. Kesimpulan simpelnya dia harus mendekati Oma Sukma untuk meluluhkan hatinya.     

"aku kebanyakan bekerja di luar, Hal pertama yang ingin aku lakukan ketika cuti bekerja-" kalimat ini terpotong suara perempuan.     

"Mendekam di kamar, memeluk istriku," dilanjutkan oleh Aruna.     

Aruna Sempat berpikir ketika ia menikah dengan Hendra, pria tersebut mungkin saja bakal menawarkan banyak hal tentang kemudahan. Termasuk kemudahan berkunjung ke berbagai tempat. Kenyataannya, Aruna tidak mendapati hal-hal semacam itu. Saat Hendra menemui weekend-nya. Lelaki bermata biru akan mendekam di kamar, mengekori keberadaannya ke segala sisi. Dan yang paling ekstrem lagi, dia bisa membaca buku dari pagi hingga petang.     

"Ya.. itu favoritku," kilah Mahendra.     

"kali ini, Aku ingin keluar bersama Oma Sukma dan bunda Gayatri, kalau kau tidak berminat enggak usah ikut," cela Aruna.     

"Mana mungkin aku tidak ikut," Mahendra menghentikan alat pengering yang berdengung sejak tadi. Kini dia menyisir rambut yang tak lagi panjang.     

"Kita akan pergi ke mana?"     

"belanja lah, perempuan paling suka belanja," jawab Aruna.     

"Memang kamu suka belanja?"     

"Enggak juga, tapi apa lagi dong??"     

"mommy suka menonton film, sepertinya Oma juga, aku siapkan pengawalan,"     

"pakai pengawal segala, cuma mau ke bioskop kan kita?"     

"kamu lupa siapa yang kamu ajak keluar?"     

"perempuan Djoyodiningrat, yang harus mendekam di dalam rumah induk,"     

Mahendra terkekeh mendengar ucapan aruna yang mengusung intonasi nyinyirnya. Sebelum pria ini membuat panggilan untuk tim bodyguard yang biasa mengawal keluarga inti Djoyodiningrat.     

"Aku.. em.. punya ide," perempuan mungil tersebut berjalan cepat meninggalkan pintu kamarnya.     

"Sayang, ganti baju dulu!?" _huuh.. dia masih mengenakan piama handuk,_     

Ternyata Aruna menuju kamar bunda Gayatri, kamar 1 lantai dengannya tersebut diketuk penuh semangat. Saat di buka hanya menyajikan oma Sukma yang tengah menikmati buku foto sambil bersandar santai, "Oma, apa Oma mau jalan-jalan denganku sore ini," tawar Aruna bersemangat. "tapi Oma harus pakai baju yang sederhana," kalimat ini tersampaikan setelah perempuan paruh baya itu mengangguk girang.     

"Aruna, mau pakai baju buatan Oma dulu?"     

"emm.." Aruna bingung, namun setelah Sukma menelepon asisten rumah tangga supaya memberi tahu Gayatri agar segera kembali ke kamarnya selepas joging, jadwal olahraga sore harinya. Dua perempuan menggeledah kamar baju Gayatri. Arena dilucuti di kamar itu juga, dan dia menggunakan baju rancangan Oma yang dulu dijadikan kado ulang tahun untuk Gayatri.     

Kuning cerah, keduanya menikmati hasil karya mereka. Mendandani istri Mahendra. 3 perempuan tersebut sibuk sekali, padahal belum tahu mereka akan pergi ke mana. Sedangkan Mahendra sendiri mulai emosi, sebab terlalu lama menunggu perempuan-perempuan itu berdandan. Dia dan para pengawal sudah siap satu jam sebelumnya.     

Betapa terkejutnya Mahendra, perempuan-perempuan bersemangat itu dandan sederhana ala Aruna. Kaos oblong berbalut luaran, serta celana ringan, bahkan mommy Gayatri menggunakan celana jeans-nya. Dan dia tersabda berkali-kali lipat lebih muda daripada yang biasanya terlihat. Jika orang tidak tahu usianya, perempuan ini mungkin saja di duga berusia 27 sampai 30 tahun. Seusia Mahendra. Sedangkan oma Sukma memegangi bajunya, dia terlihat bahagia dan sedikit berlebih menanggapi perubahan drastis nya sendiri. Berbeda dengan Aruna yang mengenakan baju berwarna cerah, sedikit tak sesuai dengan tahun ini alias ketinggalan zaman.     

"Ayo!" Hendra bangkit berdecak tangan. Saking lamanya menunggu.     

"memang kita mau pergi ke mana?" suara Aruna.     

"Apa tempat yang akan kita datangi spesial? Boleh Oma kasih tahu clue-nya?" Ini pertanyaan dari Oma Sukma.     

"Yang namanya surprise Jangan ditanya mulu Oma," mami Gayatri lebih tenang dibandingkan perempuan yang sejak tadi mempertanyakan tujuan yang tak ingin Mahendra ungkap.     

Pria yang kini sedang mengemudi berusaha bersabar dari perempuan ricuh sepanjang perjalanan. Di sampingnya ada Aruna yang banyak sekali bicaranya, sedangkan perempuan pada kursi belakang sesekali bertanya tentang perubahan kota yang terlalu signifikan di matanya."     

Masak Oma tidak tahu? sudah lama monorelnya beroperasi, ups! Sorry," Aruna baru ingat mereka jarang keluar.     

"Kita makan dulu ya?" Hendra memotong percakapan 2 orang perempuan.     

"Jangan makan di Djoyo Rizt Hotel, atau resto DM grup, aku bosan!" protes Oma.     

"Siapa juga yang bakal makan di sana? Saya bukan tetua Wiryo," Hendra meluruskan.     

"Hendra kita makan mie pedas ya.." Pinta Aruna.     

"Tidak!" tegas Mahendra.     

"Apa mie pedas enak?" Sukma penasaran.     

"tentu saja Oma!" Aruna mengujarkan ajakan provokasi.     

"Sepertinya boleh di coba," Gayatri ikut penasaran.     

"Tidak!" Hendra konsisten.     

"Hen.." Aruna.     

"Hendra.." sukma.     

"kita penasaran," Gayatri.     

"Ah.. ku pikir jalan-jalan hari ini akan berbeda, ternyata sama saja. Mirip diajak keluar Wiryo," keluh Oma Sukma.     

"mie pedas makanan tidak sehat!" Mahendra tidak bisa diajak kompromi.     

"makan sekali tidak akan masuk rumah sakit," Aruna mengomel, "baby sabar ya.. Daddy mu pelit pada kita, padahal mommy sedang mengidam," sekedar bualan Aruna.     

"baby tidak mungkin menginginkan makanan tak layak konsumsi, anak ku cerdas seperti ku," pria penganut pola makan sehat protes.     

"tapi baby ada di tubuhku, aku yang bisa merasakannya," kilah Aruna.     

"sekali-kali makan makanan yang unik, sepertinya menyenangkan," Gayatri ikut berpendapat. Padahal sejak tadi dia tak banyak bicara seperti biasanya.     

"apa menuruti permintaan perempuan tua bau tanah yang sedang penasaran sangat sulit," rayuan Sukma terlalu menggunakan hati.     

"Yaa... Ya! Ya! Ya!" Hendra memutar arah mobilnya setelah lampu merah berubah menjadi hijau.     

"ha-ha-ha," Aruna tertawa riang.     

***     

"Apa kamu bisa menurunkan ku di tempat yang menjual pakaian perempuan?" Tanya Kiki dengan nada datarnya.     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

IG bluehadyan     

Cinta tulus Pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.