Ciuman Pertama Aruna

III-155. Mentari Mengelilingiku



III-155. Mentari Mengelilingiku

0"apa menuruti permintaan perempuan tua bau tanah yang sedang penasaran sangat sulit," rayuan Sukma terlalu menggunakan hati.     
0

"Yaa... Ya! Ya! Ya!" Hendra memutar arah mobilnya setelah lampu merah berubah menjadi hijau.     

"ha-ha-ha," Aruna tertawa riang.     

.     

.     

Di hari pertama aku menginjak usia 30 tahun dunia berubah total, semacam ada anomali dalam hidupku yang selama ini gelap perlahan-lahan menuju terang. Lebih mengejutkan lagi kumpulan mentari mengelilingiku. Wajah-wajah tertekan itu kehilangan kerutan. Mereka cerah dan manja hanya dengan sebuah keputusan sederhana.     

Aku membuat penyesalan, mengapa tidak pernah terpikirkan olehku, melakukan ini sejak dulu, mengendurkan urat canggung dan gengsi ku demi wajah cerah mereka yang tentu saja memberi kebahagiaan pada diriku sendiri.     

Ternyata hanya butuh satu ide spontan, sederhana, yang penting direalisasikan untuk mengubah segala-galanya. Tiga perempuan berwajah cerah berlarian keluar setelah aku membuka satu persatu pintu mobil untuk mereka. Ku gelengkan kepalaku pada sekelompok ajudan yang ingin membantuku.     

Jalan riang mereka di pimpin si kuning yang bukan main berisiknya. Sok-sokan paling tahu dengan semua seluk beluk kedai yang makannya kurang sesuai di lidahku. Aku yakin Oma, -mungkin juga Mommy Gayatri- akan mengiyakan dan menyetujui pendapatku setelah lidah mereka menyentuh mie pedas. Makanan sampah kesukaan istriku.     

"Apa tak masalah oma masuk?" aku tersenyum, oma sukma di landa rasa kurang jenak sebab yang di dalam mayoritas adalah muda mudi. Perempuan yang hampir tak pernah mengenakan celana apalagi kaos ber-luaran warna-warni tersebut detik ini sungguh terlihat menggemaskan sekali, topi cantiknya kian mengesankan dia nenek yang bisa di ajak bersenang-senang.     

Kuberanikan diri meraih lengannya, mendorongnya masuk ke dalam kedai yang dindingnya berupa kaca transparan.     

Dan tak bisa ku sembunyikan tawaku ketika aku dapati dua perempuan yang mirip kakak adik tengah berdiri di depan para pelayan resto cepat saji versi modifikasi Brand lokal ini. Resto ala cafe yang memasang penawaran berupa gambar mangkuk berisi kuah warna merah di atas kepala mereka. Tangan mereka menunjuk beberapa menu, Aruna berlari kepada kami. Baju kuningnya masih menggangguku, mengapa hari sebahagia ini bajunya ketinggalan 10 tahun ke belakang, ah' mungkin 20 tahun.     

Aku sudah membuka mulutku, bersiap mengatakan 'Tidak! Aku tidak akan makan makanan sampah!' kenyataannya dia berlari melewati meja kami, meja yang menyajikan 2 orang yang tengah mengharapkan ditanya olehnya, 2 orang tersebut adalah aku dan oma sukma.     

Dia membuka pintu kaca resto, lalu mengayunkan dua tangannya kepada para pengawal kami. tentu saja mereka segera menyambut permintaan si kuning.     

Para pengawal yang lebih banyak berada di dalam mobil dan tiga di antarannya berada di sekitar tempat kami duduk, dia minta mendekat, duduk kian dekat dengan meja tempatku duduk bersama oma Sukma.     

Aruna menanyakan makanan apa yang mereka inginkan, perempuan ini mengetik pesanan menggunakan handphone nya. Salah satu ajudan Sempat berdiri minta maaf dan berharap yang dilakukan nonanya boleh digantikan dirinya.     

"Ah' aku cuma pesen aja, nanti yang bawa pesanannya kemeja Ini juga para pelayan," santai Aruna menanggapi. Aku tahu itu yang akan ia lakukan, bisa jadi yang banyak orang lakukan. Namun tak bisa aku lakukan, aku terlahir dalam kondisi di mana orang pada lingkaran kehidupanku secara langsung tunduk kepadaku.     

Jadi melakukan hal sepele seperti yang aruna lakukan, bukan perkara gampang bagiku.     

.     

"level berapa yang kamu beli," dia tersenyum. Dan aku memerintah seseorang untuk memesan level paling rendah.     

"Akhirnya, Kamu mau pesan juga," ini kalimat Aruna yang sedang mengejekku.     

Dia baru tahu Apa tujuanku setelah seluruh pesanan sampai, pesanannya yang merah itu aku ganti dengan mie tanpa cabai. "sudah makan saja,"     

"Aku enggak mau, aku mau makan pesananku," ia mengeluh, mulutnya maju sekian senti.     

"ibu hamil tidak boleh makan makanan pedas,"     

"cuma sekali, masak sekali-kali enggak boleh" kilahnya mencoba untuk merayuku.     

"Enggak! Makan yang sudah disiapkan!" Dalam benakku Aku sedang menjaga babyku, "Apa kamu tidak sadar, di dalam makanan yang kamu makan itu banyak sekali zat tidak baik untuk tubuh apalagi di baby kita," Jujur sama sekali tidak suka dengan sesuatu yang saat ini disantap istrinya.     

"lihat semua orang suka, kamu saja yang terlalu pilih-pilih makanan," rudung Aruna yang mendorongku mengamati sekeliling kami.     

Aku tidak terkejut, benar kata istriku, semua tampak antusias menyantap mie yang dipesan untuk mereka, padahal cafe ini hanya menawarkan makanan sederhana.     

Setelah aku amati dengan sesama, ternyata mami Gayatri melahap sama rakusnya. Hampir sama seperti yang dilakukan yang lain. Termasuk istriku yang selalu ku pandang dengan tatapan tajam. Sebab ia tidak boleh makan lebih dari 5 sendok seperti ucapanku.     

Untung saja aku punya teman, ternyata makanan ini juga tidak cocok bagi oma Sukma. Dia sedikit bingung, sebab makan makanan semacam ini sebaiknya dihindari pada usianya. Dan hal tersebut yang membuatku kian mudah mengatur Aruna.     

"Sayang baby tidak boleh banyak-banyak makan junk food," kutatap ia dengan tatapan lekat. Mulutnya ditekuk, sendoknya digenggam, tapi dirinya rela memadamkan keinginannya.     

Istriku yang terbaik, aku tahu itu.     

***     

"Apa kamu bisa menurunkan ku di tempat yang menjual pakaian perempuan?" Tanya Kiki dengan nada datarnya.     

Mobil yang membawa Vian beserta Kiki menepi memasuki sebuah gerai baju, sayangnya kiki tak berkenan turun. "Mohon maaf, aku tidak bisa beli di tempat seperti ini?" ungkap kiki berharap mobil melaju meninggalkan gerai baju yang lebih tepat masuk klasifikasi butik.     

"kenapa?" tanya Vian.     

"em.. enggak apa-apa," balas Kiki.     

"Ayo turun," tampaknya Vian belum paham. Bahwa orang dalam strata ekonomi seperti Kiki, belum tentu bisa membeli beberapa hal di atas jangkauannya.     

"bagaimana kalau tempat lain?" Vian mengamati jam di tangannya.     

"Aku minta maaf, waktu ku tidak banyak," kata Vian meminta pengertian.     

"Aku takut aku nggak bisa-" tangan gadis itu ditarik supaya turun dari mobil. Padahal kalimat yang diucapkan belum usai.     

Dan Ketika Kiki memilih baju, fokusnya hanya satu -harga paling rendah. Sedangkan Vian sendiri yang mengamatinya. Lama-lama penasaran, mengapa gadis ini sangat lama, untuk itu pria berhidung lancip tersebut menyambar 2 potong pakaian. Satunya atasan, bawahnya rok selutut. Vian mendorong Kiki masuk ke dalam kamar pas. memaksanya menerima apa yang dipegang Vian.      

Detik di mana Kiki keluar, Vian tahu pilihannya yang terbaik. Gadis ini terlihat 180 derajat berbeda. Dia yang berangkat dengan daster oblong sederhana lalu berpindah menggunakan hem kedodoran miliknya. Sekarang gadis itu keluar dari kamar pas layaknya swan yang baru penampakan keindahannya. Kulit putih bersih, berpadu dengan rambut hitam panjang dan senyum lurusnya itu, senyum yang cenderung bermakna getir, menyajikan gigi gingsulnya yang membuat Kiki tampak manis.     

"Cantik, ternyata kamu sangat cantik, pantas Thomas begitu berat melepaskan kepergianmu," Kiki hanya memandangnya dengan tatapan tajam. Pria tersebut berjalan mendekati kasir. Dan Kiki buru-buru berlari mendahuluinya. Di saat pramuniaga menyerahkan baju yang sebelumnya dikenakan Kiki yang mana kini sudah ditata rapi di dalam tas, Kiki buru-buru menerimanya sambil bertanya berapa total harga baju yang ia pakai.     

"Tiga juta tujuh ratus enam puluh lima ribu rupiah," mata pramuniaga itu memandang Kiki.     

"Apaaa??" yang diucapkan pramuniaga membuat Kiki penasaran ingin melihat banderol baju yang tercecer di atas meja kasir, bagaimana mungkin ia membayar baju yang harganya hampir sama dengan gajinya satu bulan.     

Dari arah belakang Vian meletakkan kartu kreditnya, "tolong tambahkan pita itu sekalian," telunjuk Vian tertuju pada kumpulan aksesoris rambut di belakang pramuniaga yang bertugas sebagai kasir.     

"Tidak, -tidak usah," tegas Kiki.     

"Aku yang akan membayar semuanya, Sebab aku sudah merobek baju mu," spontan wajah Kiki merah, sebab dua orang pramuniaga menatapnya dengan raut muka tercengang.     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

IG bluehadyan     

Cinta tulus Pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.