Ciuman Pertama Aruna

III-112. Profesi Baru Suamiku (Menikah+)



III-112. Profesi Baru Suamiku (Menikah+)

0Tawa, itulah yang terdengar pagi ini. Sebenarnya sudah tidak tergolong pagi. Akan tetapi bagi mereka suasana detik ini ialah awal hari.     
0

Sejalan dengan ditariknya kelambu pada seputar-an mangkok kuah (bathtub). Lelaki yang kini wajahnya diterpa cahaya matahari, menampakkan lesung pipi, menoleh kemudian menerawang, membiarkan dirinya berada di dalam mangkok kuah, sendirian.     

Membasuh helai demi helai rambut yang kini tak lagi panjang. Ia biarkan boxernya basah setelah merelakan dirinya masuk ke dalam bathtub yang sengaja dikosongkan. Sehingga ketika air mengguyur rambut istrinya air itu akan mengalir menyusuri porselen bathtub dan perlahan masuk ke lubang kecil lalu menghilang.     

Dia membiarkan dirinya duduk di sana, telanjang Dada. Bersama air yang sering kali mampir ke boxer nya sehingga celana pendek itu basah kuyup.     

Sedangkan perempuan yang saat ini menutup Mata, berada dalam rasa nyaman oleh pijatan tangan lelakinya, serta guyuran air dingin segar menyusup ke sela-sela rambut.     

Bau harum shampo rasanya terlalu mahal untuk dinikmati, dan hari ini dia bisa mencium bau harum tersebut.     

"apa yang ini? Boleh dicuci?     

"Nakal!" gertak Aruna, ketika tangan besar dipenuhi sabun itu meremas miliknya.     

"Kau suka, kan?" Aruna tidak bisa melihat ekspresi lelakinya menyipitkan mata, simbol dia tersenyum. Akan tetapi dia tahu laki-laki tersebut bukan sekedar tersenyum. Kenyataannya dia meringis bahagia.     

Kadang kala perempuan yang berstatus istri lebih ahli daripada pembaca ekspresi. walaupun matanya tertutup, ataupun suami mereka berada di ruang berbeda dalam satu tempat. Mata tidak bisa melihat, akan tetapi intuisi mereka bisa bicara tentang berbagai kemungkinan yang pasangan mereka lakukan, intuisi tersebut masuk ke dalam kepala seperti roll film.     

"aku atau kamu?" perempuan tersebut tersenyum, membuka matanya. Mendapati laki-laki yang kini mengamati wajahnya dari atas. Masih sibuk dengan kumpulan busa di tangan. Iya meraih shower lalu menghujankan rintik-rintik air di rambut Aruna.     

"Atau kita berdua?" maksud Mahendra kita berdua sama-sama suka. Kalimat tanya itu dia tutup dengan melumat bibir dari arah atas.     

"siapa yang mendesah?" tanya Aruna geli.     

"aku," Mahendra selalu begini jujur apa adanya.     

"Apa menurutmu kita bisa melakukan sesuatu yang menarik?" Aruna menggodanya.     

"Huuh.. aku rasa,. Belum saatnya," wajah lelaki yang kini diamati Aruna -yang bangkit dari Tempatnya meletakkan kepala-, lalu menoleh ke belakang, "hai.. kita belum selesai!" Dia sayu.     

"Jangan sembarangan bergerak, Luka di punggungmu tidak boleh kena air!" menutupi hasratnya dengan bicara cepat. Menampilkan ekspresi jengkel, meminta Aruna kembali membenamkan kepala.     

Aruna tidak bisa berbuat banyak dia mengikuti kemauan Mahendra sampai pria itu akhirnya membungkus rambutnya menggunakan handuk.     

"Sekarang waktunya aku mandi," si mungil meminta lebih.     

"Huuh," Mahendra menghembuskan nafas panjang, tumben bersuara nyaring. Bangkit dari bathtub, berkeliaran dengan boxer basah. Dia menyiapkan apa keinginan istrinya.     

Tak lama pria itu berhenti sejenak, mengamati perempuan yang masih duduk sambil mengeringkan rambut basah gunakan handuk di tangan.     

"Aku mandi dulu," seperti kalimat anak kecil yang sedang kecewa berjalan menuju ruang shower.     

Dia tidak tahu istrinya bukan lagi gadis lugu, "mandi dulu atau main dulu?" Aruna melontarkan pertanyaan, hanya dijawab menggunakan gerakan membuang telapak tangan tanpa menoleh.     

Mahendra tidak tahu ada perempuan yang menanggalkan seluruh kain di tubuhnya, "katanya ada yang kangen, beneran nih, tidak ingin menoleh, -kepadaku?"     

Mata biru tidak menjawab apa pun, dia membuka pintu ruangan shower dengan tujuan mendinginkan dirinya.     

Melihat keputusasaan yang dipertontonkan suaminya. telapak kaki itu meninggalkan tempatnya. Meninggalkan baju yang tercecer di sekitarnya.     

Telapak kaki telanjang bertemu lantai, yang di dalam fokus pada tujuan menghilangkan hasrat, dia sudah menyalakan keran airnya. Sedangkan Yang di luar mendorong pintu lalu berdiri di hadapan pria yang detik itu baru mengusapkan kedua telapak tangannya pada permukaan wajah. Detik berikutnya Mahendra membuka mata, spontan menyuguhkan ekspresi terbengong.     

Terbengong, di bawah hujan butiran air.     

"Hehe," si perempuan menyipitkan matanya, tertawa nyaring, salah satu tangannya berada di pinggang. dan yang lainnya memegangi tepian pintu ruang bershower, diangkat ke atas. Tangan yang terangkat itu kini mengusap rambut baru sebahu. Lebih nakal lagi dia tidak mengenakan apa pun.     

"kau Ingin membuatku gila?" jengah Mahendra. Mematikan rintik Air yang jatuh, berlarian, dan tergelincir di seluruh tubuhnya.     

"Kau sudah gila sejak awal, iya kan?" Aruna berjalan mendekat, meletakkan tangan mungilnya di dada mata biru.     

"Huuuh, ini penyiksaan," katanya mengeluh menangkap tangan itu.     

"bukan penyiksaan kalau kamu mau mencoba, mencoba menyenangkanku" senyum menggoda di perlihatkan.     

Mendengar monolog perempuan yang menjelajahi dadanya membuat lelaki bermata biru berpikir keras.     

Tak lama mata yang sempat menutup kini terbuka lebar, dia menggenggam tangan kanan Aruna dan mulai membuat tarikan, perempuan ini bergerak mengikuti langkah kaki Mahendra.     

"pegang erat," Hendra memerintah.     

_pegang apa?_ aruna mengernyitkan dahinya.     

"Sofanya, sayang," jelas Mahendra, pada ruang kedua kamar mandi mereka terdapat sofa memanjang anti air, sofa yang dulu digunakan untuk mencuri dua buah lingkaran untuk pertama kalinya, lingkaran kenyal di atas dada istrinya.     

"pegang punggung sofanya, naikkan satu kakimu di sini!" petuah-petuah yang berhawa panas menyusup di telinga, dia bahkan sempat menggigit telinga.     

'Di sini' yang dimaksud Mahendra ialah pinggiran sofa yang biasanya digunakan untuk duduk.     

"Lalu?"     

"tutup matamu! nikmati," Mahendra berbisik Sambil menatap nakal.     

.     

"Aarh.." ini suara Mahendra setelah berhasil melengkapi keinginannya. Masuk ke dalam tempat yang dia buru sehari tiga kali sebelum tragedi.     

Ketika mereka mulai bergerak, tiba-tiba pria itu mencengkeram pinggul istrinya, "stop, huuh huuuh.." melepaskan diri.     

"Kenapa?" pertanyaan yang terbit dari keresahan Aruna sebagai tanda kekecewaannya. Hendra terduduk di sofa memegangi kepala.     

"Aku, tidak bisa melakukannya, aku melihat punggungmu, luka itu bergerak-gerak, membuatku pening," mendengar monolog Mahendra. Aruna mendorong tubuh lelaki bermata biru, membuka tangan yang tengah memegangi kepala. Kemudian duduk pada kedua paha Hendra.     

"kalau begini, bagaimana?" Aruna mencengkeram bahu Hendra, lalu mendekap tubuh itu, membiarkan pria tersebut menyusup di lehernya. Perlahan perempuan ini maju, dengan berani dia mengambil inisiatif membenamkan sesuatu di bawah sana.     

"kau tidak melihat punggungku, jadi.. buka matamu," masih dengan mata sayu, dia menikmati apa yang dicengkeram perempuan di bawah sana. Mahendra membuka matanya, menggigit bibirnya, menahan buncah adrenalin yang segera ingin disambut.     

"bantu aku bergerak," kata Aruna menelungkupkan kedua telapak tangan Hendra pada pinggangnya.     

"Percayalah kita bisa lakukan ini," ujar perempuan tersebut, sebelum bibir tipisnya memungut saliva lelaki yang tiada henti mendesahkan nafas.     

.     

.     

"Sepertinya profesi baru suamiku (jadi petugas salon dadakan) perlu di ulang," kalimat ini terbit bersama mata menyipit melihat bayangan pria memejamkan mata, meleleh pada punggung kursi.     

"kamu mau keramas sekarang?" tanya Mahendra. Aruna mengangguk ringan, mendapati kornea mata biru terbuka.     

"Tapi.. em.. Aku, masih belum puas, boleh sekali lagi!" dia menarik tubuh Perempuan tersebut supaya menempel di dadanya.     

"APA?!!" ada yang terkejut, bukankah tadi dia yang tak sanggup.     

"Cuma sekali," rintihan Mahendra tertib.     

"Katanya pening,"     

"Enggak, sekali saja dengan pose yang sama,"     

"Kata Oma Sukma kita tidak boleh sering-sering, kasihan baby,"     

"Kan yang di atas kamu sayang,"     

"Apa bedanya,"     

"Jadi aku tidak menunggangimu, artinya saran Oma tidak berlaku pada kita,"     

"kalimatmu itu seperti mengacak kata-kata, supaya terkesan punya makna berbeda!"     

"tapi aku yakin sekali lagi tidak akan bikin baby kita protes,"     

"Dari mana kamu tahu?"     

"Tentu saja aku tahu," Mendengar ini, dahi Aruna mengerut.     

" dia belum bisa bicara," ucap Hendra memasang ekspresi datar, tanpa dosa.     

"Sekali ya.."     

"iya.." terdiam sejenak, "em.. nanti malam sekali lagi, gimana? boleh, ya?"     

"Huuuh," Aruna membuang nafas.     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

Jangan lupa mampir ke Instagram bluehadyan, spoiler, pernak-pernik, dan banyak lagi keseruan.      

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.