Ciuman Pertama Aruna

III-156. Monolog Random



III-156. Monolog Random

0Dari arah belakang Vian meletakkan kartu kreditnya, "tolong tambahkan pita itu sekalian," telunjuk Vian tertuju pada kumpulan aksesoris rambut di belakang pramuniaga yang bertugas sebagai kasir.     
0

"Tidak-tidak usah," tegas Kiki.     

Kiki merah, sebab dua orang pramuniaga menatapnya dengan raut muka tercengang. Spontan gadis ini menendang kaki Vian, "kau? Berani kasar lagi pada ku??" Vian mendapati tas belanja yang berisikan bajunya disodorkan kasar membentur dada oleh Kiki, dan Kiki buru-buru berlari keluar butik memasuki mobil Vian. Wajahnya kesal bukan main.     

"Kenapa kamu marah lagi padaku?" sepanjang perjalanan Kiki tidak bisa diajak bicara. Sungguh bukti nyata ketidak sensitif-annya para lelaki, tentu saja termasuk Vian.     

Perjalanan menuju kampung tepian sungai diwarnai kebisuan, Kiki lebih banyak menatap jendela, pikirannya melayang pada sebuah senjata api yang terselip di dalam tas Thomas, sebelum ia mendapatkan jam tangan yang berada di pergelangan tangannya. Tertangkap gadis itu mengelus jam tangan. beberapa saat kemudian kembali menatap jalanan.     

Vian yang diam-diam memperhatikan gerak-gerik gadis tersebut. Menangkap lengan Kiki dan memperhatikan apa yang telah melingkar di sana. "kau tahu? Benda ini sangat mahal, Sebenarnya kamu itu-"     

"aku mendapatkannya dari Thomas, tadi," Kiki mengusir tangan Vian.     

"oh.." ungkapan ini seolah sebuah konfirmasi bahwa jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan Kiki menjadi wajar saat benda tersebut pemberian Thomas.     

"seperti apa hubunganmu dan Thomas?"     

"Mengapa kau memburu Thomas?"     

Kedua kalimat di atas meluncur bersamaan. Pelontarnya saling bertautan mata sekilas.     

"ladies first," ucap Vian berikutnya.     

"Em.. bapakku menemukannya di sungai, dalam keadaan sangat buruk," dan sederet penjelasan diceritakan Kiki, "Thomas bilang dirinya tidak bunuh diri, dia dibuang seseorang dari atas jembatan, di atas perkampungan kami,"     

"kau percaya ucapannya?" secara spontan seorang pimpinan penyidik internal menggali informasi lebih dalam.     

"Awalnya tidak peduli dan tidak percaya, Sebab kita semua tak saling kenal, tidak tahu latar belakangnya seperti apa," Kiki ingat betul bagaimana bapaknya membuatnya hampir pingsan sebab ia seolah tengah menggosok mayat di kamar mandi mereka, demi membersihkan tubuh Thomas yang lengketnya oleh tanah becek, menempel di baju di mana-mana, di seluruh tubuh, terutama rambut Thomas, "Tapi bapakku bersikeras ingin menolong, merawatnya, lambat laun aku jadi sadar, tidak mungkin orang yang bunuh diri memiliki semangat untuk hidup dan sembuh segigih Thomas," kala itu pada akhirnya hati manusia Kiki ikut tersentuh, terlebih tubuh yang dikira mayat itu benar-benar bernafas dan menatapnya lekat-lekat.     

"dia pernah bercerita padamu?? siapa yang membuangnya ke sungai?" pimpinan penyidik Ini memainkan handphone nya, Kiki tidak tahu ucapannya sedang direkam Vian.     

Kiki menggeleng memberi jawaban kepada Vian, "aku pikir kaulah pembunuhnya," ada suara tawa Vian.     

"makanya aku memukulmu," tambah Kiki.     

"ah' itu juga.. lain kali jangan buru-buru membuat kesimpulan, minta maaf gih! Kamu belum minta maaf," desak Vian.     

Kiki memandangi wajahnya sesaat, wajah yang menyajikan mata sendu, seperti pria baik-baik. Detik berikutnya perempuan ini memalingkan wajah, seperti tengah mengelak dan menyajikan hinaan kecil, "lain kali kalau ingin menemui seseorang, bertamu yang baik, bukan malah menangkap lalu menyeret orang seenaknya," monolog Kiki menghakimi Vian.     

"Aku pikir, kamu sindikat yang sengaja menyembunyikan Thomas," Vian membela dirinya dan anak buahnya.     

"bagaimana bisa? perempuan berdaster di sebut sindikat," lagi-lagi Vian dibuat tertawa oleh jawaban ketus Kiki.     

"Ingat, motor yang menjadi barang bukti. kami temukan di tangan sekelompok preman," vian berkilah     

"Sasono maksudmu?"     

"Aku tidak tahu siapa namanya, kata mereka kau perempuan berbahaya, haha, maka dari itu, aku datang bersama timku," tampaknya Vian suka sekali tertawa. Sejujurnya lelaki ini geli mengingat pemberontakan Kiki dan pergulatan dirinya melawan gadis tersebut di dalam mobil ini.     

"mengapa kamu memburu Thomas?"     

"Karena dia buronan,"     

Deg, detak jantung Kiki meresonansi apa yang ia lihat di dalam tas Thomas berpadu ujaran vian.     

"Tapi dia di bunuh seseorang," ada pembelaan yang terbit dari mulut Kiki.     

"itulah dugaan kami, dan hari ini kau sudah mengkonfirmasinya. Asal kamu tahu Thomas sempat dinyatakan meninggal. Lalu kami meluruskan dengan tak pernah menyebutnya almarhum, dikarenakan masih terdapat kejanggalan pada kejadian hilangnya Thomas,"     

"dia yang dibunuh, Kenapa dia yang diburu?" kiki bertanya-tanya atas dua hal yang bertolak belakang.     

"Sebelumnya Thomas melakukan tindakan pelanggaran, pelaku dari kejadian besar," Vian menarik bibirnya lurus, "bahkan Thomas terkonfirmasi melakukan penghianat-an sebelumnya,"     

"Tapi Thomas bukan orang jahat, walaupun aku tidak mengenalnya lama, Aku tahu itu," Vian menatap Kiki pasrah. Hal yang sama juga menjadi dilema pada diri Vian.     

"Aku tahu itu-" Vian menegaskan ucapan Kiki, "tapi, kesalahannya fatal, harus dipertanggungjawabkan, sebaik apa pun pribadi seseorang, keputusan melakukan tindakan diluar batas tetap harus dipertanggungjawabkan,"     

"Mungkinkah ada hubungannya dengan ungkapan Thomas yang selalu bilang masa lalunya sangat bodoh, hanya karena.. Ah aku lupa kalimatnya, intinya dia merasa bodoh, kehidupan sebelum berjumpa dengan kami seolah tergadai, mungkin maksudnya di manfaatkan orang lain," alis Kiki mengerut mencari-cari ucapan Thomas yang masih bersemayam di dalam memorinya, "e.. dia mengutuk dirinya, kadang-kadang berbicara tentang balas dendam versus memaafkan," monolog Kiki random, bukan Vian kalau dia tidak bisa menangkap topik utama.     

_oke, Thomas tidak menjalankan pengeboman itu seorang diri,_ vian mendapat sebuah kesimpulan awal, terkait mungkinkah Thomas seorang boneka? Mengapa dia sampai terperosok dalam perangkap? Alasan apa yang bisa membuatnya jadi boneka orang lain?     

Vian mematikan perekam pada handphonenya. Dia yang dari tadi menolehkan tubuhnya ke arah Kiki, detik ini kembali tegak, lurus ke depan. "Tolong lebih cepat," meminta sopirnya bergerak cepat supaya gadis ini segera sampai di rumahnya.     

"apa aku bisa menemui Thomas setelah ini?" saat mobil memasuki perkampungan tempat Kiki tinggal, gadis ini memberanikan diri untuk bertanya.     

"sebaiknya jangan pernah berharap bertemu Thomas kembali,"     

"mengapa begitu?"     

"itu yang terbaik untukmu,"     

"Terba-," ucapan Kiki belum usai, bagaimana dia bisa menyelesaikan kalimatnya, ketika dirinya sendiri termasuk sopir di depan bahkan Vian. Tengah terpana, terperangah, rumah Kiki di padati warga kampung. Mobil bergerak lambat, lama kelamaan terpaksa berhenti, mengetahui ada mobil datang warga membuka jalan melempar pengamatan. Ternyata Sasono ada di ujung sana membawa pengeras suara, dia berbicara mirip demonstran yang menyuarakan aspirasi bersuara lantang.     

"ITU DIA.. ITU DIA.. MOBIL YANG MENCULIK KIKI! AYO.. KITA KROYOK.."     

"JANGAN SAMPAI KASIH AMPUN,"     

Sasono berulah. Vian dan sopirnya keluar dari mobil hitam pekat yang membawa Kiki pulang.     

***     

"setelah ini kita ke mana?" kalimat tanya berikut sudah didengar Hendra berulang kali dari mulut ketiga perempuan secara bergantian. "ikut saja, jangan banyak bicara," mata biru tertangkap merapikan sabuk pengaman istrinya. Gerakan tangan kiri mengelus perut perempuan sempat tertangkap sebelum akhirnya setir mobil yang di genggam berputar.     

"Ada yang mau mendengarkan music?" tawar Mahendra, Sukma mengacungkan tangannya, "oma mau?" Perempuan tersebut mengangkat tangannya, maka dari itu Mahendra mempertanyakan apa yang ingin didengarkan Oma Sukma.     

"I love you, Celine Dion,"     

"waaa...h," Aruna bergeligik tawa, Gayatri yang di belakang menutup mulutnya dengan setengah tangan. Meringkus tawanya secara anggun.     

"Tidak.. ini untuk kalian berdua," Oma mengelak, "sungguh," mempertahankan argumennya terkait dirinya yang selalu merasa lagu ini cocok untuk Mahendra dan Aruna.     

"Aku bahkan belum pernah mendengarkan lagu Celine Dion,"     

"Kamu masih kecil," terang Mahendra memencet beberapa tombol menyajikan lagu request Oma Sukma.     

"setelah dipikir-pikir, Andai kita bertemu lebih awal, waktu aku SMP, aku sudah punya calon suami anak kuliahan dong," Aruna membuat penafsiran.     

"salah, waktu kamu SD aku sudah kuliah, di US, jadi mustahil bertemu"     

"Tunggu! itu tidak masuk akal?" pikir Aruna.     

"Aku lebih muda dua sampai tiga tahun dari surya," Hendra menoleh mengingatkan bahwa usia sekolahnya jauh berbeda dari rata-rata teman sekelas, "kamu lupa sayang?"     

"Jadi waktu aku SMA, kamu??"     

"aku sudah menjabat sebagai CEO," lengkap Mahendra.     

"Harusnya kita bertemu lebih awal, jadi aku punya pacar CEO,"     

"Cih! Paling kamu lari, lebih memilih Damar, sudah benar kita bertemu dan di paksa menikah," Hendra mendebat kalimat khayalan Aruna dengan raut muka serius.     

"aku cuman berandai-andai," keduanya mulai adu argumen.     

"bisa tidak kalian diam, Oma tidak bisa menikmati lagunya," yang di belakang protes supaya sepasang suami istri ini tenang.     

Belum lama mereka tenang, dering telepon genggam Mahendra merusak suasana untuk sekian kalinya.     

"Surya??" pria ini mengemudikan mobil sambil mengamati ponselnya.     

"Hendra perhatikan jalannya.."     

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

1. Lempar Power Stone terbaik ^^     

2. Gift, beri aku banyak Semangat!     

3. Jejak komentar ialah kebahagiaan     

IG bluehadyan     

Cinta tulus Pembaca yang membuat novel ini semakin menanjak :-D     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.