Ciuman Pertama Aruna

III-157. Permintaan Ke Tiga



III-157. Permintaan Ke Tiga

0Belum lama mereka tenang, dering telepon genggam Mahendra merusak suasana untuk ke sekian kalinya.     
0

"Surya??" pria ini mengemudikan mobil sambil mengamati ponselnya.     

"Hendra perhatikan jalannya.."     

"iya sayang," kata lelaki bermata biru meletakkan handphonenya dan mulai memasang headset di telinga.     

[Hai Surya]     

Pria di ujung sana bicara banyak sekali, perjalanan didominasi dengan percakapan Hendra dan Surya. Beberapa kali Hendra mengamati Aruna.     

[Undangan dari tarantula group, tak mungkin aku datang sendiri, aku sudah bicara dengan Kakak iparmu Anantha] kalimat Surya inilah yang membuat Mahendra mengamati istrinya. Bagaimana cara dia izin kepada Aruna untuk memenuhi undangan tarantula Group. Hal inilah yang memenuhi pikiran Hendra saat ini.     

[Anantha mau datang ke kantor DM Group?] Mahendra penasaran.     

[Ya, kakakmu sangat kooperatif, aku hampir terkejut bagaimana dia bisa berubah se- menyenangkan itu]     

[Banyak hal yang kami luruskan, Em.. Anantha sudah tahu rencana kita?]     

[Dia setuju, bahkan sangat mendukung semua rencana yang kita ajukan]     

[Kau sudah membicarakan project baru untuknya?]     

[Ya, dia bilang dia akan bekerja semaksimal mungkin] tampaknya surya dan Mahendra tidak tahu. Anantha saat ini butuh pekerjaan yang tepat supaya dia bisa mempertanggungjawabkan keputusan gila keluarganya yang tiba-tiba memaksanya dekat dengan perempuan, parahnya mengharuskan dia menikah lebih cepat.     

[Kau sudah sampaikan permintaanku pada Aditya?] Ini pertanyaan Mahendra berikutnya.     

[Oh sorry, tentang calon sekretaris ya?]     

[Tolong. Jangan lupakan keinginanku terkait Aditya, Aku butuh orang yang bisa membantuku secepatnya]     

[Apa kamu tak masalah dengan sudut pandang karyawanmu yang lain?]     

[Karena aku, memilih keluargaku untuk bekerja bersamaku?]     

[Ya, aku yakin beberapa akan mulai mempertanyakan itu]     

[Aku butuh orang yang bisa aku percaya, siapa lagi yang bisa percaya padaku dan sepenuhnya aku percaya, kecuali keluarga terdekat]     

[Terserah kamu saja, aku akan melakukan apa yang kamu inginkan]     

[Bagaimana kamu dan istri?]     

[Semua baik, Untung Dea paham aku belum bisa memenuhi keinginan kami honeymoon. Semoga nona cepat sembuh]     

[Aruna sudah bisa dikunjungi, datanglah bersama Dea. Aruna pasti bakal senang. Mulai besok rencananya aku akan mengizinkan dia kembali memegang handphone nya]     

[Oo.. pantas Dea mengeluh tak bisa menghubungi nona Aruna, ternyata kau sita handphonenya]     

[Aku tak ingin dia melihat berita yang beredar di luar sana, tidak penting untuk kesembuhannya]     

[Okey, keputusan yang bagus. Walaupun ku rasa, kamu tak ada bedanya dengan tetua Wiryo]     

[Salah besar, aku sangat berbeda kali ini]     

[Well, lanjutkan mengemudimu]     

[Okey]     

Headset di telinga ia letakkan, tak lama matanya kembali memperhatikan istrinya.     

"Kenapa?" Aruna tahu dirinya beberapa kali di lirik Mahendra.     

"katakan saja, jangan seperti itu.. wajahmu memaksaku berfikir ,"     

"Aku... Em.." mata Hendra kembali terlempar ke jalanan.     

Aruna tersenyum melihatnya, "kembalilah bekerja, aku tahu banyak orang yang membutuhkanmu," monolog sederhana Aruna membuat lesung pipi lawan bicaranya hadir menyapa.     

"Tapi ada satu syarat," Aruna bertaut mata dengan suaminya, "Em.. dua, tak jadi satu,"     

"boleh aku tahu?" lelaki bermata biru sempat meraih tangan istrinya Untuk digenggam.     

"Pertama, Aku ingin sekretarismu di ganti," pinta Aruna, membalas genggaman tangan.     

"Tentu, sudah aku lakukan,"     

"yang kedua.." ucapan ini terdengar agak ragu, "Apa aku boleh, kembali magang di kantormu," Mahendra menautkan alisnya seketika. Lebih baik Aruna trauma lalu berdiam diri di rumah. Andai Aruna tetap berdiam diri di rumah, Hendra merasa jenak, hatinya tenang. Dan sebaliknya, dia tak akan bisa jenak ketika mendapati Aruna berkeliaran.     

Deg'     

Lelaki ini tersenyum getir untuk dirinya sendiri, bagaimana dirinya pada akhirnya memahami isi otak dan pola pikirnya sama dengan Wiryo. Parahnya cara yang sama benar-benar ia inginkan.     

Lelaki bermata biru diam cukup lama. Mengatur kata-kata yang tepat.     

"Bagaimana jika keinginanmu aku iyakan kalau kau sudah lebih baik dari sekarang," Mahendra berhati-hati sekali kala berucap supaya istrinya tidak tersinggung.     

"apa yang lebih baik dari sekarang? Lihatlah! aku sudah sangat baik,"     

"huuh," pria Ini memainkan jemarinya di atas setir mobil sambil melempar tatapan ke arah jalanan sekali lagi gundah menerpa.     

"bagaimana jika aku yang merasa tidak baik-baik saja ketika kamu harus beraktivitas-,"     

"Kau ingin menjadikan ku mirip oma dan ibu Gayatri?" Aruna lupa 2 orang yang dia bicarakan duduk di kursi belakang.     

"itu yang terbaik untukmu, ini permintaan ke tigaku," Aruna tidak lagi menoleh ke arah suaminya, perempuan ini menarik tangan yang digenggam Mahendra. ia memalingkan wajahnya ke arah jendela kaca pada sisi tubuhnya, lebih parah lagi air mukanya memerah.     

Aruna memejamkan matanya, suasana tenang tercipta cukup lama. Dua perempuan di belakang saling melirik untuk memberikan solusi. Akan tetapi ini bukan hak mereka.     

Sedangkan pria yang duduk di kursi pengemudi hanya bisa terbungkam, antara menyesal membuat istrinya bersedih. Dan dia yang sejujurnya cukup trauma melihat istrinya mengalami tragedi buruk di kantornya sendiri.     

_Bagaimana cara meluluhkan Hendra?_ otak perempuan yang semalam mendapat tantangan dari tetua Wiryo mulai memikirkan berbagai kemustahilan untuk menunjukkan dirinya bisa mengubah keadaannya.     

"Ah' baby.." mengelus perut, "perutku," mata lelaki yang tengah mengemudi spontan membuka lebar, menangkap gerakan tubuh tidak menjenakkan yang di sajikan sang istri.     

Hendra menatap jalanan sambil mengelusi perut istrinya, "apa yang kamu rasakan, sayang?"     

"nyeri.." rintih perempuan bermata coklat. Dua perempuan lain yang duduk di belakang terbangun, ikut larut dalam kepanikan.     

"Hen.. minta mobil yang di depan mengarah ke klinik terdekat," mommy Gayatri memberikan masukan.     

Hendra buru-buru meraih handphone, memberi perintah pada penghuni mobil yang mengawal mobil keluarga Djoyodiningrat.     

***     

Mobil bergerak lambat, lama kelamaan terpaksa berhenti, mengetahui ada mobil datang warga membuka jalan melempar pengamatan. Ternyata Sasono ada di ujung sana membawa pengeras suara, dia berbicara mirip demonstran yang menyuarakan aspirasi bersuara lantang.     

"ITU DIA.. ITU DIA.. MOBIL YANG MENCULIK KIKI! AYO.. KITA KROYOK.."     

"JANGAN SAMPAI KASIH AMPUN,"     

Sasono berulah. Vian dan sopirnya keluar dari mobil hitam pekat yang membawa Kiki pulang.     

Lelaki berhidung lancip dengan bulu mata lentik memikat itu berpesan sebelum menuruni mobil, "berdiam di dalam," Kiki malah nyengir mendengar ucapan Vian. Kenyataannya ketika gadis itu mencoba menarik hendel pintu mobil. Mobilnya terkunci.     

"Bodoh sekali mereka berdua?" pupil mata melebar, memang mobil yang membawa dirinya belum sampai di rumahnya. Tapi, ini adalah kampung tempat tinggalnya, warga yang menghadang jalan tentu saja pasti ada hubungannya dengan dirinya (Kiki) Sebab di ujung sana Sasono benar-benar mencurahkan ujaran sambil mengarahkan telunjuknya pada Vian beserta pengemudi mobil yang kini mengurung Kiki.     

Vian terlihat berkacak pinggang pada tangan kanannya sedangkan tangan lain membalas telunjuk Sasono dengan membuat gerakan meminta Sasono mendekat.     

"Kemarilah," giliran Sasono mendekat pria itu menepuk punggung Sasono, "tolong bukakan jalan untukku, Aku ingin melewati jalan ini," ujar Vian baik-baik.     

"Tunggu.. tunggu.. kau siapa menyuruhku, yang membawa Kiki kan??" tanya Sasono membuang tangan Vian.     

"Iya.."     

"Dia benar-benar penculik Kiki..." Sasono mengeraskan suaranya. Berteriak kencang, dan warga mendekat menerjang Vian termasuk salah satu anak buahnya.     

"Apa yang kau inginkan bicara baik-baik!!" Ujar Vian Sudah terlambat. Dengan sangat terpaksa anak buah Vian harus melindungi atasannya. Lelaki yang berdiri mengiringi Vian. Melempar tendangan, "Hai! Tunggu!" Vian tidak setuju dengan keputusan anak buahnya, sayang sudah terlambat. Badannya di tangkap warga.     

"APA KALIAN BODOH!! AAAA.. AKU DI DALAM! KELUARKAN AKU.." Kiki baru sadar mobil ini kedap suara, percuma dia berteriak-teriak. Gadis ini pasrah memegangi kepalanya sendiri.     

Berawal dari arah pandangannya yang menunduk frustrasi sebab melihat kegaduhan di depan mata, termasuk debu bertebaran memenuhi udara, Kiki kini terperangah.     

Antara dia yang baru sadar bahwa Vian yang saat ini membuat satu persatu warga tumbang karena hantaman tangannya, ternyata ialah lelaki yang dulu memeriksa pintu rumah mewah yang menurut Thomas itu adalah rumahnya. Pria yang membuat Thomas dan dirinya harus menuruni seutas Kain untuk melarikan diri dari rumah tersebut.     

Bukan sekedar debu yang bertebaran, yang membuat suasana kian gaduh. Samar-samar Kiki mendengar suara kumpulan orang mengaduh, dua lelaki yang tadi berada dalam mobil, berkamuflase layaknya para ninja. Dua orang tersebut benar-benar pandai bertarung, mereka bukan orang-orang biasa kelihatan sekali dari cara menendangnya.     

Thomas, senjata Api, pemburu Thomas yang pandai berkelahi, siapa mereka semua. Siapa Thomas? Siapa dua orang yang di depan? Siapa Vian?.     

pria yang detik ini berjalan mendekati pintu mobil, setelah berhasil membuat babak belur kumpulan warga kampung dengan jumlah tak sedikit dia membuka pintu tersebut, sebelum masuk untuk duduk lelaki berwajah serba tirus ini bertitah: "Minggir! Minggir kalian semua!" tentu saja jalan untuk mobilnya terbuka. Lalu melempar tubuhnya, selepas menatap Kiki dengan raut wajah kesal, "Kau.. benar-benar perempuan berbahaya," kalimat ini menyadur ungkapan Sasono, tampaknya Vian menemukan pemahamannya sendiri, terkait perempuan berbahaya dengan nama panggilan Kiki.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.