Ciuman Pertama Aruna

III-158. Pura-Pura



III-158. Pura-Pura

0"Hen.. minta mobil yang di depan mengarah ke klinik terdekat," mommy Gayatri memberikan masukan.     
0

Hendra buru-buru meraih handphone, memberi perintah pada penghuni mobil yang mengawal mobil keluarga Djoyodiningrat.     

Tak butuh waktu lama, klinik terdekat dari titik lokasi rombongan keluarga konglomerat tersebut ikut panik sebab sekelompok manusia berbaju seragam membuat formasi keamanan yang sedikit lebay ketika di amati.     

Hendra membawa istrinya berlari ke dalam klinik dan buru-buru memasuki salah satu ruangan atas arahan ajudannya. Di balik kegaduhan ini ada perempuan yang menutupi mukanya dengan tangan kanan, dia di landa malu. Ini bukan lagi tentang berlebih, melainkan kejadian yang agaknya kelewat batas.     

Perempuan hamil yang tengah merajuk supaya keinginannya di turuti suami malah membuat kenakalan terlewat batas dengan pura-pura perut berisi janin berharga tersebut terasa nyeri.     

Aruna mengutuki dirinya di dalam hati, terlebih dokter laki-laki tersebut memeriksanya dengan ramah dan tenang, kontras dengan raut muka Hendra yang tertangkap duduk tak jenak di sudut ruangan. Mata biru menggerakkan jemarinya dengan ritme cepat, kebiasaannya yang hampir hilang detik ini bisa di lihat lagi oleh Aruna.     

Aruna sadar ketukan tangan itu akan hadir ketika Hendra merasa resah. Hal apa pun yang melatarbelakangi keresahannya, Hendra selalu menampilkan ekspresi yang sama. Mengetukan tangan bersama tatapan mata tajam.     

"Apa yang anda rasakan nyonya?" dokter berwajah ramah mengumbar senyuman kala menanyakan kondisi kehamilan Aruna.     

"Nyeri.." kata Aruna sedikit grogi. Perempuan bermata coklat ini mengingat satu hal, perut bisa merasakan rasa perih termasuk nyeri kala seseorang sedang tertekan, gelisah, dan jenis tekanan batin lainnya. Kali ini Aruna hanya fokus pada tujuan akhir, seperti Hendra yang sering mengujarkan bahwa fokus pada hasil ialah konsep utama untuk mencapai hal-hal yang kita inginkan secara sempurna.     

Proses akan berjalan seiring langkah kita menuju tujuan yang kita harapkan. Cara berpikir Mahendra mendorong Aruna membuat sebuah kesimpulan di dalam dirinya, bahwa dia harus merubah struktur cara berpikirnya. Supaya dirinya menyadari satu-satunya cara untuk mencapai tujuan adalah fokus pada tujuan itu sendiri.     

"Apakah anda sering muntah?" Ini pertanyaan sang dokter.     

"Aku kadang muntah di pagi hari, em.. Tapi semenjak kamar kami dipenuhi aroma terapi rasa mual ku tak lagi parah," jawab Aruna jujur.     

"Apa Anda kesulitan buang air besar," pertanyaan kedua sang Dokter dijawab dengan geleng-an kepala oleh Aruna.     

"Apakah anda merasa capek?" dokter sedang mendiagnosis. Begitu menakutkan melihat Mahendra sedang serius menatap percakapan Aruna dengan dokter berwajah ramah tersebut.     

"sepertinya karena saya merasa tertekan,"     

_fokus pada hasil Aruna_ perempuan bermata coklat menyemangati dirinya sendiri.     

Aruna melirik suaminya. Hal ini semacam kode supaya dokter memahami bahwa Aruna tertekan oleh seseorang yang duduk di sana, lelaki yang tengah mengamatinya tanpa jeda. Tidak mengizinkan pelapukan matanya mengatup sekali saja.     

"Ooh," dokter mengangguk.     

Dan dia cukup kan pemeriksaannya, beberapa kali menepuk perut Aruna dan mengukur denyut nadinya, termasuk tensi darah.     

.     

Giliran sang dokter mulai duduk di meja kerjanya. Mahendra bangkit membantu istrinya turun dari pembaringan. Hendra mengusung wajah resahnya yang tak lagi bisa disembunyikan, ia menjerat kuat pegangan kursi yang berada pada genggaman tangannya.     

"Apa yang terjadi?" pertanyaan Mahendra mendahului ucap kata yang ingin disampaikan sang dokter. Sedangkan perempuan yang tengah duduk di sampingnya terlihat begitu santai. Namun, ketika mata Mahendra mengamatinya si pelaku pura-pura mengelus perutnya, perempuan tersebut menghayati kepura-puraan nya dengan teliti.     

.     

"Anda pernah mendengar, bahwa kondisi psikologis bisa mempengaruhi fisik seseorang," tentu saja Hendra mengetahui banyak tentang hal ini. Mengingat dia pengidap sindrom psikologis yang bisa mendorongnya merasakan hyperarousal.     

"ya, tentu," pria tersebut mengangguk.     

"selain menghindari aktivitas yang menguras energi, istri anda sebaiknya selalu pada kondisi bahagia," terlihat sekali ucapan yang disajikan sang dokter di upayakan sebaik mungkin. ekspresi Mahendra membuat dokter ini menyadari bahwa suami pasiennya tipikal orang punya esensi dominan.     

Mahendra menatap Aruna, "Apa yang membuatmu tidak bahagia?" bukan Mahendra kalau dia tidak jujur, bahkan ketika mereka berdua masih berada di ruang konsultasi sang dokter.     

"mana ada perempuan yang berbahagia ketika tiap hari dirinya di haruskan melihat lingkungan yang sama, tunggu, bukan tiap hari, ini tiap saat," kekhawatiran Mahendra membuat suasana hatinya terasa rumit, ketika ia harus dihadapkan pada dua pilihan. Kebahagiaan sang istri atau hilangnya rasa khawatir di dalam dirinya sendiri.     

Kepergian rombongan konglomerat dari klinik, begitu melegakan sang dokter.     

.     

Sepanjang perjalanan Aruna mendapatkan berbagai pertanyaan dari Mahendra.     

"apa yang perlu aku lakukan supaya kamu bahagia?" pertanyaan yang sama dia ucapkan sekali lagi, dengan penawaran yang lebih menenangkan hati.     

"Aku ingin berada di sekitarmu, kalau perlu aku diizinkan menjadi diriku sendiri," Aruna begitu senang Mahendra menurunkan tensi nya.     

"Aku tidak mau memenuhi permintaan mu yang ketiga, Maaf, kado ulang tahun dariku tidak sempurna," lelaki yang tengah mengemudikan mobil menampilkan sederet gigi rapi.     

"Seperti apa, dirimu sendiri?" pertanyaan Mahendra mirip pola konfirmasi terkait -Apakah Aruna tahu apa yang dia mau.     

Mata perempuan berwarna coklat itu menerawang, mencari pemahaman, siapa dirinya? Dan mau apa dia? Kian lama pertanyaan sederhana dari Mahendra membuatnya terbang menuju kenangannya 2 tahun lalu sebelum menikah dengan Mahendra.     

"Apakah perempuan yang sudah menikah, hamil, bisa jadi setelahnya punya anak, tetap layak mengejar mimpi?" Aruna tidak tahu bahwa impian akan bergeser ketika bayi di kandungan ini lahir. Tapi untuk saat ini ia harus merebut posisi utama atau dirinya bakal mendapatkan bantuan seseorang yang akan membagi suaminya.     

Aruna ingat betul ketika dirinya masih sakit, sebab luka di punggungnya mengakibatkan dirinya tak bisa banyak bergerak. Nana akan datang, lalu dia bakal menyiapkan semua kebutuhan Mahendra. Mulai dari baju yang akan Hendra dikenakan hari itu, termasuk segala hal terkait pekerjaan yang harus dihindari dari rumah. Paling menyesakkan dada, perempuan itu juga yang kabarnya menyiapkan makanan Mahendra menggunakan olahan dari racikannya sendiri.     

.     

Mahendra terdiam lama, "layak,"     

"Kalau aku layak mendapatkan apa yang aku inginkan, mengapa aku tidak diizinkan magang lagi?" lagi-lagi lawan bicaranya tidak langsung menjawab.     

"sejujurnya bukan karena kamu tidak layak, tapi aku yang tidak sanggup," mobil telah sampai di basement gedung bertingkat. Selepas menurunkan anggota keluarga Djoyodiningrat.     

Rombongan itu naik menuju lantai tertinggi, Aruna tidak pernah tahu di kota ini ada sebuah gedung pencakar langit yang menawarkan keindahan berupa atap serta dinding kaca transparan. Otomatis kaca tersebut menyajikan langit-langit kota beserta riuhnya cahaya metropolitan di bawah sana.     

Yang lebih membuat aruna terkesima, pencakar langit yang indah itu menawarkan atraksi teater pada salah satu sisi yang menjadi sentral utama. Teater yang merupakan kesenian klasik, nyentrik, unik dan tentu saja langsung memikat mata Sukma termasuk Gayatri.     

Ketika Aruna mencoba memahami Apa fungsi dari berbagai sofa lebar nan nyaman, yang mengusung bentuk aneka ragam. Mengarah kepada panggung teater yang menjorok di bawah dari pada ketinggian sofa-sofa yang makin rendah tatkala lebih dekat dengan panggung teater.     

Dimana antara sofa yang satu dengan sofa yang lainnya seperti memiliki karakteristik sendiri, sofa tersebut bahkan bisa digunakan untuk duduk setengah selonjoran.     

Di depan sofa yang empuk dan nyaman tersebut terdapat meja, waiters berdatangan saat penghuni meja memencet sebuah tombol. Sore itu bersama langit lembayung oma Sukma memesan makanan termasuk camilan yang dia peruntukan pada seluruh rombongan. Ajudan-ajudan Djoyodiningrat memilih sofa yang berada di sekitar nyonya dan tuan mereka.     

Tepat ketika teater akan dimulai, Mahendra menarik tangan Aruna. Ia mengusir salah satu ajudan yang berada di kursi belakang Oma Sukma serta mommy Gayatri.     

Lelaki bermata biru meminta istrinya duduk nyaman, tak lama perempuannya mendapat pelukan dari arah samping, "teater ini sangat membosankan, aku memilihnya supaya 2 orang di depan terperangkap oleh drama Teater, sehingga aku bisa menikmati harummu," lampu meredup Aruna meletakkan punggungnya nyaman di sandaran sofa.     

Kini tinggal kelakuan mata biru yang lama-lama kian berani, hidung yang tadinya hanya mengendus ternyata sudah sampai di ceruk leher.     

"jangan menghisap!.."     

"haha,"     

"Presdir," panggil ... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.