Ciuman Pertama Aruna

III-159. Sekedar Simpati?



III-159. Sekedar Simpati?

0Pria yang detik ini berjalan mendekati pintu mobil, setelah berhasil membuat babak belur kumpulan warga kampung dengan jumlah tak sedikit. Dia membuka pintu tersebut, sebelum masuk untuk duduk lelaki berwajah serba tirus ini bertitah: "Minggir! Minggir kalian semua!" tentu saja jalan untuk mobilnya terbuka. Lalu melempar tubuhnya, selepas menatap Kiki dengan raut wajah kesal, "Kau.. benar-benar perempuan berbahaya," kalimat ini menyadur ungkapan Sasono, tampaknya Vian menemukan pemahamannya sendiri, terkait perempuan berbahaya dengan nama panggilan Kiki.     
0

Kiki baru saja menapakkan kakinya di atas rerumputan halaman rumah. Lelaki dengan hidung lancip turut turun mengekor langkah kaki gadis berambut hitam lebat panjang. Kiki menoleh, mempertanyakan mengapa Vian keluar dari mobilnya. Mengapa Si bodoh ini tidak langsung pergi?.     

"Aku ingin mencuci tanganku, mukaku," ungkap Vian merasa keberatan di usir terang-terangan.     

"rumah ini.. asli rumahmu?" tanya Vian mengamati sekeliling, sebelum dirinya menaiki teras rumah Kiki yang tingginya hampir sejajar dengan tanah.     

"Kenapa? Kau mau melakukan penilaian? Pulang saja sekarang," Vian tersenyum seiring tawa ringannya.     

Dikala pintu rumah Kiki di buka pemiliknya, Kiki yang tertangkap mata adik-adiknya, lekas mendapatkan tubrukan dari arah depan dan belakang. Dari Laila dan tentu saja dari Riki. Sedangkan bapak lah yang datang dari arah belakang, Bapak sama berdebu nya dengan Vian. Kemungkinan besar Bapak berada di antara kericuhan yang tadi terjadi pada persimpangan jalan menuju rumahnya.     

Laila langsung menangis, memeluk Kiki kuat-kuat, hal serupa juga ditunjukkan oleh Riki, anak muda innocent tersebut terlalu gengsi mengakui dia tengah bersedih. Tapi raut wajahnya tidak bisa disembunyikan, sehingga kiki meraih kepalanya, rambut yang sama hitamnya dengan memiliki kiki di koyak sampai berantakan.     

Vian membeku melihat kejadian di hadapannya. Dia baru sadar dirinya menculik gadis biasa yang berasal dari keluarga sederhana. Pantas saja Thomas suka rela tertangkap demi mengembalikan perempuan bernama Kiki ke rumahnya.     

Keluarga ini masuk ke dalam rumah, akan tetapi tidak ada yang peduli apalagi memberi izin Vian untuk masuk. Vian berdiri kikuk di antara pintu yang sejujurnya baru saja diperbaiki bapak Kiki.     

"Ayo makan!" ungkap Kiki mengubur kesedihannya. Detik dimana ia mengamati gulai kambing. Lagi-lagi pikirannya terbang pada Thomas yang mengucapkan salam perpisahan.     

"kau tidak mengizinkan aku masuk?" Kiki melihat Vian sekilas, lalu dia kembali beraktivitas bolak balik antara dapur dan ruang tengah untuk menyajikan makanan di ruang makan sekaligus ruang tamu rumah sederhana ini.     

Vian melempar pandangan, merasa bodoh mengambil keputusan mengekor Kiki sehingga saat ini dirinya malah berdiri tak jelas di tepian pintu rumah Kiki.     

"Kenapa kalian tidak makan gulainya?" Kiki mengabaikan keberadaan Vian.     

"mengapa?" kembali Kiki bertanya ketika anggota keluarganya saling memandang.     

"Kak Kiki bilang gulai ini spesial untuk kepulangan kak Thomas," jawab Laila polos.     

Vian yang terabaikan memilih membalik badan berniat pergi dari rumah Kiki.     

"Thomas tidak akan pulang," jelas Kiki.     

"kenapa?" suara bapak dan Riki terdengar kompak bersamaan.     

"gara-gara orang itu," Kiki menunjuk punggung Vian. Otomatis pria yang sudah mengusung langkah perginya kembali menoleh ke arah keluarga Kiki.     

Ingin rasanya Vian memberitahu apa yang terjadi sesungguhnya, tapi buat apa. Keluarga sederhana tersebut toh akan hidup dengan normal ketika ia tidak tahu apa-apa.     

Desah nafas Vian mengiringi pengamatannya, mengamati gadis yang saat ini sibuk membagi nasi ke masing-masing piring anggota keluarganya.     

Menyadari Vian kembali berbalik dan mengamati dirinya. Kiki bangkit dari duduknya, buru-buru melangkah mendekati pintu bermotif kotak, gadis tersebut menutupnya begitu saja.     

Menyisakan pria yang menertawakan dirinya sendiri. kenapa juga ia harus berdiri di sini lalu merasa tertarik pada keluarga Kiki. Vian merasa ter bodohi, entah oleh siapa?.     

.     

.     

"Kenapa Anda diam saja? Sejak tadi," Vian mendapat teguran anak buahnya yang sedang mengemudikan mobil menuju rumah sakit tempat Thomas di rawat.     

"sebelum aku diadopsi oleh tetua, aku pernah hidup seperti gadis itu,"     

"em.. di perkampungan maksud anda?"     

"Di sebuah gang, namanya em..," Vian tak sanggup mengatakannya, "Gang yang menjadi pemukiman prostitusi terbesar negara ini, nomor dua di Asia tenggara. rata-rata dari kami berasal dari gang tersebut," pengemudi mobil mengamati Vian dari kaca spion. Vian sedang menyandarkan sikunya di pintu mobil dan telapak tangannya berada pada seputar bibir, Pria ini punya kebiasaan meraba bibirnya sendiri ketika melamun.     

"Itu sebabnya kita memiliki kontur wajah berbeda-beda, aku bahkan tidak yakin dengan wajahku," dia tersenyum getir.     

"Setahu saya kompleks tersebut sudah di tutup," Vian mengangguk, isyarat jawaban Vian tertangkap lawan bicaranya lagi-lagi dari kaca spion di atas kepala sang sopir.     

"Anda sangat hebat senior, buat apa mengingat masa lalu," maksud kalimat anak buah Vian salah satunya ialah pujian kepada anak adopsi tetua yang mampu meraih jabatan sebagai pimpinan divisi. Yellow house dianugerahi banyak kelebihan, anak-anak yang masuk yellow house Hanya mereka yang lolos seleksi kecuali mereka yang di pungut sejak balita termasuk mereka yang siap mendapat tantangan untuk terus tumbuh meraih cita-cita sesuai bakat minatnya. Para pimpinan divisi lantai D tentu saja terbaik dari yang terbaik.     

Karena Vian tidak membalas ucapan, lawan bicaranya merasa kikuk sendiri, "setahu saya, hanya anda yang mengingat masa lalu Anda sebelum masuk yellow house," semua orang tahu tentang hal tersebut. mengingat hari terjadinya ledakan bom, di saat Vian pergi mengunjungi persemayaman keluarganya. Lebih tepatnya hari kematian ibunya. Dia di bawa ke yellow house kala usianya bukan lagi balita, melainkan anak-anak.     

Vian ingat masa lalunya. Vian tahu betapa sesaknya menjadi anak seorang perempuan yang berprofesi sebagai kupu-kupu malam. Walaupun guru di sekolah berulang kali mengatakan kepada murid-muridnya yang mayoritas lahir dari ibu tunggal dengan profesi sama sebab kompleks tersebut memang mayoritas penghuninya berprofesi sama -kupu-kupu malam- yang kadang kala melahirkan anak-anaknya.     

Sang guru berkata dengan nada bijaknya, "hidupmu adalah milikmu, entah siapa pun orang tuamu, walaupun dunia tak berpihak pada seseorang yang ter takdirkan sebagai orang tua mu. Bukan berarti dunia ikut tidak berpihak kepada kita, maka dari itu selalu jadi yang terbaik, belajar yang sungguh-sungguh, baik itu mempelajari pelajaran sekolah maupun agama yang kamu anut,"     

"Hee.." Vian tersenyum menanggapi pernyataan lawan bicaranya. Dia juga tersenyum untuk dirinya yang sedang mengingat ucapan gurunya di masa lalu.     

Dunia lebih ramah kepadanya dibanding kepada seseorang yang ter takdirkan sebagai orang tuanya. Andai saja kala itu Vian tidak mempercayai ucapan gurunya, sehingga dia tidak menjadi anak yang hobi bersepeda menuju perpustakaan dan kembali ke rumah dimalam hari dengan melompati jendela sebab ibunya kadangkala pergi bersama pelanggannya. Atau kadang kala berada di ruangan lain bersama pelanggannya.     

Vian mengerjapkan matanya, menyadari alasan nyata dirinya bisa lolos seleksi masuk yellow house. Itu semua di karena kan hobinya membaca banyak hal sepanjang hari semasa tinggi badannya tak lebih dari sepinggang.     

"Tolong cari tahu kehidupan gadis itu?" ujar Vian kepada anak buahnya.     

"Maksud anda siapa?" mendengar pertanyaan ini Vian tertawa.     

Bibirnya masih tersenyum, gigi rapinya masih tertangkap.     

"Jangan bilang gadis kasar pembawa masalah?"     

"Iya.." Vian mengangguk, matanya menyipit hampir tidak percaya suara kekhawatiran Thomas ketika menyadari gadis bernama Kiki ia sandera adalah alasan yang menjadikan dirinya benar-benar penasaran. Sebab Thomas rela melakukan apa saja bahkan ia rela bangkit dari ranjang rawat inap nya, seandainya Kiki tidak dilepas dan tidak dikembalikan kepada keluarganya.     

Thomas bilang gadis itu tulang punggung keluarga. Entah ini simpati atau hal lain yang membuatnya tertarik. Yang pasti pemuda dengan hidung lancip dan perawakan tinggi kurus ini berasa tergelitik untuk tahu lebih banyak tentang Kiki.     

"aku yakin karena dia cantik, anda jadi penasaran," cela pengemudi mobil yang juga lawan bicara Vian.     

"Kau saja sadar gadis itu menarik, mengapa kau menghina ku? Biarkan laki-laki normal ini mendekati perempuan," Tawa Vian memenuhi seisi mobil.     

"Aku tidak pernah melihat anda punya kekasih, baiklah apa pun keinginanmu aku turuti," mobil bergerak lebih cepat, pengemudi lebih bersemangat mengetahui atasannya pada akhirnya punya ketertarikan terhadap hal-hal berbau Romansa.     

_Aku yakin ini sekedar simpati_ gumam Vian kembali meraba bibirnya bersama arah pandangan yang terlempar ke jalanan.     

***     

"Presdir,"     

"Jangan menggangguku! Please pergilah!" Hendra menggertak seseorang tanpa melihat siapa yang ia gertak, sebab lelaki yang memanggilnya duduk di belakang punggung Mahendra.     

"Juan.."      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.