Ciuman Pertama Aruna

III-161. Akan Saya Lakukan Presdir



III-161. Akan Saya Lakukan Presdir

0Herry, akhirnya tak lagi bekerja sendiri. Semenjak nama Gesang menyapa telinga para ajudan. Kelompok pengawal tersebut benar-benar menatap awas terhadap Juan yang sebenarnya ialah putra Tarantula.     
0

"Maaf, sesuai prosedur, tentu saja kau pun juga tahu, prosedur keamanan seperti apa yang kita anut," Roland dan Alvin berdiri di antara seluruh ajudan yang sebenarnya sedang di landa kegelisahan, Herry memang awas sejak tadi, tapi dia mampu mengendalikan dirinya. Ketika tuannya tidak membuat perintah dirinya bakal memilih diam bertindak berdasarkan instruksi.     

Gesang mengerti dengan sangat, terkuaknya identitas dirinya pasti memicu suasana tak menyenangkan. Untuk itu sebelum Roland dan Alvin berhasil menyentuh tubuhnya, pemuda ini bangkit, dia berujar, "baiklah aku akan pergi dari sini," kepanikan Gesang memicu masalah baru. Sekelompok ajudan menjadi kian curiga atas apa-apa yang mungkin saja menjadi akar dari sebuah masalah.     

Mahendra mengangkat tangannya meminta para ajudannya berhenti menaruh curiga. Mata biru menegaskan makannya tidak ingin di ganggu.     

"Tenang saja saya akan pergi dari sini," Juan memegang bahu Syakila, menegaskan dia harus pergi.     

"Kenapa?" Aruna yang kosong atas situasi berikut ini dan dia mendapatkan elusan tangan dari Oma.     

"Tak perlu," pernyataan Hendra dia tegaskan sekali lagi, "aku tahu dia pemuda biasa," Hendra bicara dengan wajah datarnya, mata birunya tetap fokus makan. Suasana ini kian kaku sebab Juan menunjukkan gerak-gerik tak nyaman, pemuda yang sering melempar candaan tersebut berkeringat dingin dan hanya memainkan makanannya.     

"Makanlah," Sukma tersenyum pada Gesang, "kau mau makan ini?" tipikal seorang nenek ramah, dia sengaja meletakkan sebuah lauk di atas piring Gesang, "Andai kita bisa sering bersama, aku akan sangat senang," Sukma menambahkan senyuman ramah di akhir kalimatnya hingga wajah merah Gesang tak terelakkan. Gesang putra kedua, atau lebih tepatnya si bungsu dari 3 bersaudara dimana dia adalah anak terakhir beda ibu dengan kakak-kakaknya Gibran dan Geraldin. Gesang sering kali mendapatkan perlakuan berbeda sejak awal karena kelahirannya di anggap masalah. Bungsu pemberontak yang tidak mau mengikuti aturan keluarga Diningrat.     

Sama dengan Aruna yang mencoba memahami keadaan dengan mengamati wajah suaminya dan wajah matan ajudan terbaiknya masa itu, Syakila bertemu mata dengan Aruna. Tiap kali hal itu terjadi Syakila menunduk kembali.     

.     

.     

"Saya senang berjumpa dengan Anda," ini kalimat Syakila kala keluarga Djoyodiningrat akan memasuki mobil mereka.     

"Aku juga, senang mengenalmu," Aruna memeluknya.     

"Boleh kita foto bersama," Syakila malu-malu meminta persetujuan Aruna.     

"Tentu saja," dan swafoto yang di pimpin Syakila mengawali ide berikutnya. Mommy Gayatri ikut menyusup di antara dua perempuan berbadan mungil ini, tak lama oma Sukma di minta Aruna hadir dalam pengambilan swafoto berikutnya.     

Melihat pemandangan langka tersebut, menggerakkan Mahendra untuk menyerahkan telepon genggamnya kepada ajudan. Herry mengatur pengambilan foto semi keluarga ini. Formasi acak ini menyajikan Mahendra dan Gesang berdiri di belakang empat perempuan yang sedang swafoto bersama dan mereka terhenti ketika mengetahui Herry mengambil gambar.     

.     

Hendra menepuk bahu Gesang, " Terima kasih, sudah menyelamatkan istriku," Gesang mengangguk ringan.     

"apa Anda sudah tahu tentang saya sejak lama presdir?" tanya Gesang berikutnya, menghentikan langkah kaki Mahendra memasuki mobil.     

"Semenjak punggung istriku di robek, aku mencari tahu segalanya tentang kalian," mendengar pernyataan Mahendra, Gesang sontak tersekat. Lelaki bermata biru memutar arah tubuhnya, dia benar-benar berhadap-hadapan dengan pewaris ke dua Tarantula, "Maafkan aku, aku bukan kakekku, beritahu Gibran kami berhenti bertahan," embusan nafas Gesang terdengar. Telapak tangannya tergenggam.     

"Akan aku katakan pada kakakku, kita masih bisa berdamai," Gesang memanggil Hendra yang sudah memasuki mobilnya. Pintu yang belum tertutup itu menyajikan senyum ganjil pria bermata biru.     

"Sayangnya dia tidak sehebat bayanganku, kutantang kau mengatakan kalimatmu pada Rio dan Clara," Hendra menutup pintu mobilnya, dan keempat rodanya bergerak meninggalkan pemuda serta perempuan kurus melambaikan tangan pada penghuni mobil.     

Gesang berlari mengejar Bentley, "Akan saya lakukan presdir," Hendra menangkap samar pemuda yang berteriak itu dari spion mobilnya, "Akan saya lakukan," terikannya di hempas udara malam.     

***     

"Vian ku mohon," Leo berdebat sengit di lorong rumah sakit.     

"Kau tahu sebesar apa kesalahan Thomas??" Vian menarik lengan kanan yang di pegangi Leona.     

"Ya aku tahu.. Tapi, please.. Dia melakukan itu semua pasti ada alasannya," Leo memburu arah pandangan Vian yang berusaha mengelak dan berjalan tiada henti menuju kamar rawat inap Thomas.     

"Vian, Please! Vian kumohon Vian..." perempuan ini berjalan cepat menghentikan langkah Vian termasuk anak buahnya dengan membuka lebar tangannya.     

"Dia bisa membela diri di ruang D," Vian bersih kukuh dengan pendiriannya.     

"Vian, demi rasa kemanusiaanmu, aku mohon... aku mohon dengan sangat," perempuan ini berkaca-kaca, "Thomas masih sakit dan kau akan mengisolasinya di lantai bawah tanah?" Leo terbata-bata lagi-lagi dia meraih tangan kanan Vian, "Ingatlah masa-masa kalian bermain bersama,"     

"Leo, aku tidak mau jadi penghianat," Vian mempertahankan argumennya. Lelaki yang terkenal dengan kedisiplinannya ini tertangkap berpikir, "kesalahan Thomas bukan sekedar meledakkan ruang kerja, dia membakar seluruh dokumen penting DM group, dia menghentikan banyak rencana besar, gara-gara dia divisiku lumpuh total!" kerutan kekesalan Vian tertangkap nyata lawan bicaranya.     

"Dia.. Huuuh, Thom hanya ingin memulangkanku Vian, dia tidak seburuk bayanganmu, Thom.."     

"Cukup," Vian mendorong pintu ruang perawatan Thomas, menyisihkan Leo yang hampir jatuh bukan karena dorongan Vian, melainkan rasa lelahnya merasakan keadaan Thomas yang akan di kurung di ruang bawah tanah.     

"Kau sudah siap," Tanya Vian.     

Thomas bangkit dari pembaringan, pria berambut sebahu dengan dagu yang ditumbuhi rambut tipis tersebut mengangguk.     

"Thomas aku mohon... Thomas bela dirimu sekali saja, jangan diam saja," yang di takutkan Leo terjadi. Thomas tidak membuat perlawanan, Thomas pasrah.     

"Ini pilihanku Leo, diamlah!" hanya itu yang di ucapkan Thomas selepas kursi roda yang di siapkan Vian di gapai Thomas dengan susah payah.     

"Vian akan aku sampaikan penangkapan sepihakmu ini pada Tetua," gertak Leona.     

"Presdir sudah menerima laporan penangkapan Thomas," Vian mendorong kursi roda Thomas.     

Leo berjalan cepat menuju sofa, dia meraih tas punggung yang tergeletak di sana, perempuan tersebut menemukan HS-9, "Vian, Lepaskan Thomas! atau kau yang akan mati," tangan Leo bergetar hebat kala orang-orang Vian membeku menatapnya, termasuk Vian yang detik ini menghentikan langkah kakinya.     

"Berikan kursi Thomas padaku, aku hanya ingin dia sembuh sebelum kalian mengadilinya," Leo terisak, perempuan ini hampir gila mengetahui Thomas bahkan menatapnya dengan tatapan nanar.     

"Aku ingin menyerahkan diri, berhentilah mengasihaniku! dari pada kau membunuh Vian lebih baik kau todongkan pistol itu pada kakakmu," ujar Thomas datar.     

"DOR!!"     

***     

"Oma tahu dia Gesang sejak kapan?" tanya Hendra.     

"Opamu tahu sejak awal, opamu yang membawanya pulang," Jawab Sukma.     

"Kenapa Wiryo berhati malaikat pada keluarganya yang lain, haha," Hendra tertawa getir, _Bukan untuk anak istrinya sendiri_     

"Saat ini pasti opa kesepian," suara Aruna.     

"Kita belanja," Hendra mengusir monolog istrinya.     

"Hendra, aku cuma mau bilang," Aruna tak suka ucapannya sengaja di sisihkan.     

"Bilang apa?" Hendra menoleh pada istrinya yang menampilkan ekspresi jengkel.     

"Em.." perempuan berpakaian kuning cerah ini melirik oma sukma.     

"Tenanglah sayang, aku bakal berdamai dengan suamiku sekeras apa pun dia. Kita sudah tua, tak ada gunanya bertengkar lama-lama," Oma Sukma membuat cucu mantunya tersenyum cerah, secerah warna kuning yang membungkus tubuhnya, "Tapi tidak untuk sekarang, aku ingin menghukum Wiryo dulu,"     

"Omaaaa..." protes Aruna.     

"Aku setuju oma," suara Gayatri memberi dukungan. Dia bukan lagi mayat hidup, perempuan dengan tatapan kosong yang tak bisa mengeluarkan suara ketika di hadapan putranya.     

Hendra mengamati ibunya dari kaca spion di atas kepalanya.     

"Mommy Anda di intip Hendra," Gurau Aruna mengetahui kelakuan suaminya.     

"Bicara apa kau," Hendra buru-buru memfokuskan diri mengemudi.     

"Mengaku saja.. Sudah.. Sudah ketahuan," Gadis kuning sialan ini tertawa riang tanpa dosa menepuk lengan suaminya.     

"Ada yang ingin Hendra sampaikan, em.. Padaku?" Gayatri memberanikan diri. Lagi-lagi mata biru di buat terkejut, Gayatri memanggil namanya dengan lancar, tak gagap seperti sebelum-sebelumnya.     

"Usia Anda 49 tahun? -benar?" Gayatri mengangguk menjawab pertanyaan Mahendra, "Semoga Anda menemukan pria yang baik, tak lagi kesepian," Gayatri mengangguk. Mereka saling bertatapan memanfaatkan pantulan cermin.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.