Ciuman Pertama Aruna

III-162. Bualan Semata



III-162. Bualan Semata

0"Dor!!" gadis frustrasi ini menembak atap ruang perawatan.     
0

"Aaargh..." teriaknya pada keadaan, "Kenapa kau begini Thomas?" dia berteriak untuk lelaki yang kini malah mendapat todongan HS-9.     

Thomas terdiam, tak lama pria itu menatap Leo lamat-lamat, "Aku pernah mencintai perempuan seperti manusia bodoh, perempuan yang aku pikir bakal menjadi istriku," mata itu berpindah ke sisi lain, "Setiap kisah pasti menemui akhir, entah akhir itu menuju kebahagiaan atau berujung penyesalan. Aku tahu yang menjadikannya penyesalan ialah kebodohanku sendiri, kau tidak salah apa-apa, aku yang membuatnya jadi kacau. Seperti kau yang memegang teguh janjimu untuk selalu membahagiakan kakakmu. Kehidupan keduaku mengajarkanku menjadi manusia bertanggungjawab, walaupun tanggung jawab itu terasa mustahil di emban," pria yang bicara mengingat seseorang.     

Gadis yang tak suka kata terima kasih, perempuan yang tumbuh di bawah garis kemiskinan, hanya bermodal lulusan SMA ia berangkat pagi -pulang malam demi ke dua adiknya dan bapaknya yang hilang arah sebab terlalu putus asa. Perempuan yang tidak mengizinkan dirinya sakit atau seluruh anggota keluarganya akan merasakan sakit. Perempuan yang tidak mengeluh ketika selepas bekerja di malam hari dirinya masih harus mengepel lantai atau mencuci baju bahkan membantu tugas sekolah adik-adiknya.     

"Biarkan aku mempertanggung jawab kan kesalahanku, aku akan merasa terhormat dengan begini. Tak masalah berakhir di ruang putih bawah tanah, minimal aku pernah berusaha balas dendam dan ketika balas dendam tak berhasil. Aku sudah puas sebab berani menyerahkan diri," Thomas memberi isyarat pada Vian untuk membawanya pergi. Sejalan dengan berputarnya dua buah roda kursi, seorang perempuan menangis meraung-raung ambruk ke lantai.     

"Aaaarrrgh... Tom.. hik hik... Tom.." Leo meratapi kepergian Thomas, suara nafas putus-putusnya menggelisahkan dada.     

Leo belum berhenti menangis sampai dirinya lelah dan tertidur sendirian di ruang rawat inap yang di tinggalkan pasiennya.     

~     

"aku sudah mengajukan izin kuliah di Eropa pada tetua, tunggu kabar baiknya bebe,"     

"Andai tak mendapatkan izin, apa yang akan kamu lakukan?"     

"mengundurkan diri, lalu menyusulmu ke Millan, bagaimana menurutmu?"     

"Kau yakin? kau akan melepaskan diri dari tetua?"     

"Atau aku terima tantangan kakakmu?"     

"Apa itu?"     

"lihat saja nanti.. kamu pasti pulang ke Indonesia,"     

"ti amo amore mio," (aku mencintaimu sayang)     

"Je sais ce que tu ressens, mon bebe," (aku tahu bagaimana perasaanmu, mom bebe)     

~     

***     

Rombongan mobil keluarga Djoyodiningarat memasuki ruas jalan pribadi keluarga konglomerat tersebut. Tentu saja pintu gerbang di depan segera terbuka. Para pengawal yang keluar dari mobil buru-buru menurunkan belanjaan dan membawa masuk ke dalam rumah dengan langkah gesit mendahului tuan dan nyonyanya.     

Hendra yang tak tega membangunkan perempuan hamil tertidur, membopong istrinya dalam dekapan. Langkah pria tinggi tegap tersebut tertangkap pelan serta berhati-hati. Matanya lebih banyak mengamati perempuan terpejam dari pada jalan yang di depan, bibir lelaki bermata biru bahkan mendarat berulang di ubun-ubun perempuan.     

Dari arah depan, Ratna berjalan cepat menaiki tangga menuju pintu kamar tuan mudanya. Pintu di buka oleh Ratna ketika tuannya kian dekat, asisten rumah tangga tersebut menyalakan lampu serta buru-buru menutup jendela kamar, "Terima kasih," Ucap Mahendra merasa cukup dengan bantuan Ratna.     

Ratna undur diri di saat tuannya terlihat menurunkan nona muda perlahan-lahan hingga menyentuh sulur bunga Lily. Aruna sempat menggeliat, akan tetapi tak berlangsung lama perempuan tersebut sekedar mencari posisi ternyaman. Hal yang paling unik dari semua pemandangan malam ini ialah kelakuan mata biru yang lagi-lagi mencuri bibir perempuan terpejam sebelum akhirnya melucuti alas kaki istrinya.     

"Apa kau lelah? Sayang," Hendra bicara pada tubuh terlelap.     

Mata biru melepas alas kakinya sendiri, naik ke ranjang tidur mereka dan mulai menarik baju kuning mengesalkan. Tubuh mungil Aruna untuk ke sekian kalinya menawarkan luka punggung yang menyesakkan dada. Hendra menggelengkan kepalanya, pria tersebut berhati hati melanjutkan kegiatan melepas baju istrinya supaya Aruna tetap nyaman tidur. Hendar sempat tersenyum ketika ia tidak berniat membungkus tubuh terbuka tersebut dengan piama. Hendra sekedar melengkapi kenyamanan dengan memanfaatkan selimut tebal.     

Suami Aruna turun dari ranjang meraih baju kuning, lalu membawanya masuk ke kamar mandi. Saat ia kembali, Mahendra sudah membawa sebotol minyak terapi. Lelaki bermata biru menggenggam selimut tebal sebelum akhirnya kaki perempuan yang tadi terkubur selimut kini sudah tertangkap matanya. Tangan yang sudah di tetesi minyak hangat beraroma khas tersebut ia lumurkan pada kaki perempuan.     

.     

Mengapa kau paling cantik ketika memejamkan mata? Ketika mata itu menyipit? Ketika menghembuskan nafas lalu dirimu menuju lelah?     

Aku selalu bertanya-tanya, mengapa tuhan menitipkan rasa takutku pada dirimu? Bukan pada pesaing yang hebat, bukan pula pada musuh yang penuh tipu muslihat.     

Mereka berbohong padaku, bahwa yang paling tangguh dan adi daya ialah super hero yang memiliki kekuatan ekstra. Mereka menipuku ketika mengatakan yang paling berpengaruh adalah pemimpin terkuat. Mereka membuat bualan semata.     

Sebab aku tahu.     

Kenyataannya, Napoleon menyelipkan nama Josephine di akhir embusan nafas. Raja Shah Jahan memberikan penghormatan terhebat berupa keajaiban dunia untuk mendiang istrinya, Mumtaz Mahal. Pierre Curie menemukan Marie di laboratorium sebelum mereka meraih Nobel fisika radioaktif.     

Dan aku yang menemukan Aruna untuk menerangi perjalanan hidupku yang hitam, sunyi dan mencekam. Memasrahkan dirinya dan memberiku harapan terkait rasa menyentuh perempuan.     

.     

Tangan Mahendra dari kaki naik ke atas, naik untuk menyentuhi perut berisikan buah cintanya, "Jangan rebut tempat Daddy! Sungguh! Kalau kau berani menguasai nona Aruna sekedar untuk dirimu sendiri, Daddy bakal memukul genderang perang khusus untukmu," lelaki ini kemudian menertawakan dirinya sendiri.     

"Masa Ayah iri pada anaknya?" sebab tawa Mahendra, Aruna terbangun.     

"Apa yang kau lakukan?" Aruna baru menyadari tubuhnya bersingkap di bawah sana. Dan Mahendra menunjukkan botol beraroma terapi pada istrinya.     

"Kalau begitu, punggungku sekalian," dia bergerak memutar tubuhnya sambil memukul-mukul bahunya yang di rasa pegal, "ternyata berbelanja membuat ku capek juga," keluh Aruna.     

"Sayang.."     

"Hem.."     

"Apa kau lupa? Aku tidak bisa melihat bekas lukamu,"     

"Kan sudah," Aruna menoleh dan baru menyadari Hendra membeku. Dia buru-buru bangkit memeluk suaminya.     

"Sudah.. jangan menampilkan ekspresi ini," Aruna menyentil hidung Mahendra. Selang berapa detik pria ini menangkap tubuh perempuan dan mendesakkan lidahnya ke dalam bibir mungil yang menawarkan kokain.     

"Kau menginginkan ku malam ini?" tanya perempuan. Hendra menggelengkan kepala.     

"Tumben," cela Aruna.     

"Tidak menolak untuk besok pagi," pria tersebut menyajikan lesung pipinya.     

"Klatak!" suara gantungan baju atau entah -benda apa- jatuh membentur lantai.     

"Suara? Suara apa??" Aruna merasa bunyi tersebut berasal dari ruang baju di sebelah.     

"Biar aku periksa," lelaki bermata biru menuruni ranjang sulur bunga Lily.     

"Em.. maafkan, aku.." seseorang keluar dari ruang sebelah.     

"Maafkan aku? Apa aku mengganggu kalian?"     

"Nana??"     

***     

Gadis berambut hitam lebat berjalan melintasi lorong rumah sakit. Sepaket makan malam ia usahakan selepas pulang kerja. Seragam minimarket yang menjadi bajunya sehari-hari terbungkus jaket berwarna pink cerah.     

Kiki mengetuk pintu kamar ruang inap, tempat Thomas terakhir ia temui. Tepat ketika pintu terbuka, ruang kosong hadir di hadapannya. Dia benar-benar menghilang sesuai penjelasannya, di hari mereka berpamitan. Thomas pulang kembali ke kehidupannya semula.     

***     

Warna putih itu tak begitu menakutkan, dia duduk tenang di sana. Setelah 20 menit berlalu, laki-laki yang diamati teman-temannya melalui kamera CCTV, membaringkan tubuh di atas ranjang. Tidak ada kegelisahan, tidak ada kegelisahan, saat tubuhnya terdiam dan matanya menutup, Thomas tidur dengan tenang.     

raka mengepalkan tangannya, bahkan dia sempat membuat tinju ringan di atas meja setelah ia cukup lama mengamati Thomas.     

"Apa kau merasakan hal yang sama denganku?"     

"Entahlah," Pradita melepas kacamatanya.     

" kalian tahu, apa yang aku dengar?" kedua rekan Vian menoleh kepadanya.     

"dia menyadari dirinya bodoh, dan satu kalimat yang membuatku curiga," alis Pradita hampir menyatu, "Thomas meminta Leona mengarahkan pistol yang dia pegang untuk menembak kakaknya sendiri,"     

"maksudmu?" suara Raka menyusup.     

"aku sudah berulang kali tanya pada Thomas, dia tidak mau menceritakan apa pun. Dia bilang dia sendiri yang akan mempertanggungjawabkannya di depan Presdir," Vian kian menyulut rasa penasaran rekan-rekannya.     

"Bantu aku memecahkan kalimat ini?" Vian menatap lawan bicaranya, "Seperti kau yang memegang teguh janjimu untuk selalu membahagiakan kakakmu. Kehidupan keduaku mengajarkanku menjadi manusia bertanggungjawab, walaupun tanggung jawab itu terasa mustahil di emban," Vian mengulang penggalan kalimat Thomas.     

"Kakak? Leona?" Raka membuat konklusi sederhana.     

"Itu yang aku pikirkan," Vian melengkapinya.      

"Vian kau punya barang bukti? Atau sesuatu di kepalamu dapat mendukung alibi ini?" Pradita kembali meraih kacamatanya.     

"Jangan lupa .... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.