Ciuman Pertama Aruna

III-163. Belajar Kesetiaan



III-163. Belajar Kesetiaan

0"Bantu aku memecahkan kalimat ini?" Vian menatap lawan bicaranya, "Seperti kau yang memegang teguh janjimu untuk selalu membahagiakan kakakmu. Kehidupan keduaku mengajarkanku menjadi manusia bertanggungjawab, walaupun tanggung jawab itu terasa mustahil di emban," Vian mengulang penggalan kalimat Thomas.     
0

"Kakak? Leona?" Raka membuat konklusi sederhana.     

"Itu yang aku pikirkan," Vian melengkapinya.     

"Vian kau punya barang bukti? Atau sesuatu di kepalamu dapat mendukung alibi ini?" Pradita kembali meraih kacamatanya.     

"Jangan lupa, ruanganku hancur lebur tidak menyisakan apa pun?" monolog Vian mendorong kedua lawan bicaranya kembali mengamati saudara mereka yang tertidur dalam ruang tahanan berwarna putih.     

"Tunggu, aku mengenal seseorang yang bisa kita manfaatkan agar Thomas mau bicara," Vian mengimbuhkan penjelasan, "Tapi gadis ini tidak mudah di kendalikan, hehe," ada kekeh tawa Vian ketika mengingat Kiki, pria berhidung lancip ini terngiang daster robek yang menyajikan punggung perempuan, "sayang sekali perilakunya kasar, bakal merepotkan,"     

"Menurutmu, perlukah kita melakukan sampai sejauh itu?" Pradita tiba-tiba mempertanyakan usaha mereka yang kesannya bakal sia-sia. Ketiga pimpinan divisi ini ingin tahu lebih dalam kasus Thomas, mereka kecewa Thomas konsisten diam.     

"Vian berikan Handphone thomas padaku," Pinta Pradita.     

"Oke," jawab Vian, "tapi setahuku Handphone tersebut masih baru," terang Vian.     

"Tak masalah," Pradita meyakinkan.     

"Apakah kita perlu mendatangkan gadis yang Vian Maksud?" Raka mempertanyakan Vian.     

"Menurutku, jangan dulu," Pradita merasa Thomas akan terluka dengan tindakan berlebih mereka.     

"Mengapa kita tidak langsung mengkonfirmasi semua ini pada Anna?" Suara Raka kembali terdengar.     

"Yang seperti itu tak bijak, Raka. Kita harus punya alibi terutama bukti yang cukup, sebelum menembak seseorang," Vian menepuk pundak Raka.     

" sorry, aku bukan penyidik sepertimu," ujar Raka mengangkat bahunya.     

Vian berniat keluar dari ruangan tempat rekan-rekannya mengamati Thomas dari layar monitor, Vian berniat menyiapkan telepon genggam Thomas yang rencananya bakal di cermati lebih lanjut oleh Pradita.     

Akan tetapi lelaki berhitung lancip ini menghentikan langkahnya, ia berbalik menatap Pradita, " aku baru ingat, anak buah ku melakukan penyelidikan mendalam di ruangan rawat inap Thomas, sebelum Thomas dinyatakan bunuh diri,"     

Raka dan Pradita bertemu mata, akhirnya Vian berkenan membuka hasil kerja timnya yang selama ini terkesan di tutup rapat dari mereka berdua.     

" sejujurnya laporan ku terkait penyelidikan ruang rawat Thomas, di hari dia menghilang, sengaja aku tangguh kan,"     

"Why?" Raka mengangkat kedua telapak tangannya serta bahunya serempak.     

" aku tahu dia tidak bunuh diri, waktu itu aku yakin Thomas dibunuh," Vian memberikan penjelasan.     

" dan kau ingin orang lain terutama pelakunya terlena?, Berpikir Thomas benar-benar mati karena bunuh diri, sebab hal tersebut menguntungkan proses kerja mu?," sambung Pradita.     

" tepat," Vian mengiyakan kalimat Pradita, " aku ingin siapa pun pelakunya, dia tidak menyadari, kalau ternyata ada orang yang paham, Thomas dibunuh," penjelasan Vian menjinakkan hati rekan-rekannya terutama pimpinan divisi lain. Vian selama ini dicurigai sebab dia lebih memilih bekerja sendiri dan cenderung bergerak sendiri tanpa melibatkan yang lain terlebih pada kasus Thomas.     

" ada sesuatu berharga yang kau temukan?" pertanyaan Pradita menimbulkan kebekuan di wajah Vian. Pimpinan divisi penyidik ini seolah tengah memikirkan sesuatu.     

" mari ikut ke ruangan ku," Vian mengayunkan tangannya dan di sambut yang lain, ketiganya meninggalkan layar monitor yang menyajikan istirahat Thomas.     

***     

"Nana," Mahendra berdiri dari duduknya, lelaki bermata biru melepas pelukan istrinya. Mendekati Nana yang berdiri menatap mereka.     

" apa yang kau lakukan di dalam kamarku?" Tanda tanya mendesak untuk dijawab.     

"Em.. aku," perempuan yang saat ini di tatap dengan tatapan menelisik, terlihat memutar matanya mencari alasan.     

" aku menyiapkan baju kerjamu," Nana membalas tatapan Mahendra dengan tenang, perempuan tersebut dapat di kategorikan pemberani. Sebab santainya menanggapi ekspresi yang jelas-jelas tak bersahabat dari Mahendra.     

" aku tidak pergi ke kantor, Nana," Mahendra menggeleng kepala, sulit memahami isi kepala Nana.     

"Kakekmu bilang kamu sebaiknya segera ke kantor," mata biru masih menamati Nana pada langkahnya masuk ke dalam ruang baju.     

Hingga pria tersebut menemukan 7 benda yang biasa ia kenakan dalam satu setel, tersusun rapi di etalase khusus. Mahendra melepaskan Nana kemudian berjalan mendekat memeluk perempuan yang bersembunyi di dalam selimut tebal.     

" tutup pintunya," gumam Aruna tidak mau ambil pusing terhadap kejadian yang baru saja merentak pikirannya.     

" sudah aku tutup sayang,"     

" MAKSUDNYA DIKUNCI!" Tandas Aruna.     

" kamu marah? " Mahendra menuruni ranjang sambil menyajikan ekspresi tercengang atas ungkapan yang baru Aruna ujarkan.     

Lelaki bermata biru mengunci rapat pintu kamar mereka. Pengunci pintu yang berada di kaki daun pintu dia pasangkan sendiri. Hendra hampir tak pernah melakukan ini. Namun celetukan istrinya membuatnya terpaksa melakukan segala-galanya, walaupun ia belum bisa mempercayai Aruna berujar sekeras itu kepadanya.     

***     

Risau sudah mencapai ubun-ubun, demikian wajah Rey tertangkap sekelompok anak buahnya. Rey putuskan rumah keluarga Barga yang sudah disatroni penyusup tersebut siap-siap dikosongkan.     

Rey masih menyembunyikan keadaan ini dari dewan tarantula. Rey tahu diri, saham yang dimiliki tidak banyak dan kondisi dirinya yang sering membuat kekacauan. Terutama pernah memicu kemarahan besar Mahendra sehingga dirinya sengaja tidak diikutkan dalam rapat penting Tarantula, padahal Rey satu-satunya perwakilan keluarga Barga.     

Rey berniat ingin mencari tahu terlebih dahulu siapa penyusup yang berani menculik tangan kanannya. Sayang sekali harapan tidak sejalan dengan kenyataan. Penculiknya terlalu rapi menjalankan misi. Bahkan anak buah yang tersisa di malam terlaknat itu tidak mampu menceritakan kronologi penyergapan secara benar.     

"kalau terus-terusan begini, Terpaksa aku beritahu Gibran," ujar Rey mendapat anggukan Dari sekelompok anak buahnya.     

"atau jangan-jangan, Mahendra yang mengirim mereka?" salah satu anak buah Rey melempar celetukan. kalimat tersebut sejujurnya adalah celetukan yang tak ingin didengar siapa pun.     

"itu prediksi terburuk, semoga bukan," suara Rey timbul tenggelam sebab ucapan kali ini sekedar gumaman nya sendiri.     

"tapi anda telah bermain api, anda berani mencari adik Ananta di mansion itu," kembali salah satu anak Rey mengingatkan perilaku tuannya.     

"Aku tahu aku salah," Rey jengkel, berdiri dari duduknya. Ia berjalan cepat keluar menuju mobilnya. Diikuti sekelompok anak buah yang membawa koper. Mereka berniat pindah ke kediaman keluarga Barga yang lain.     

.     

.     

"Aku tidak tahu Aruna ternyata kembali pada Hendra, padahal dua bulan setelah perceraian gadis itu hanya pergi kuliah dan menenangkan diri di tempatnya mengajar," Rey membagi keluh kesahnya, yang sejujurnya sudah dia ulang-ulang beberapa kali. Sehingga ajudan di sampingnya tersenyum, tiap kali mendapati kisah yang sama.     

"Aku sama sekali tidak menyadari Aruna tinggal di mansion bersama Hendra," lagi-lagi Rey menyesali dia salah bidik. Kala itu Rey yakin Aruna bakalan tertangkap basah bersama temannya yang sempat menjadi musisi pendatang baru. Anak yang bernama Danu. Yang sempat menyembunyikan Aruna dari semua orang termasuk Mahendra.     

Menangkap Aruna bersama Danu, berharap bisa membujuk Ananta supaya kembali menganggapnya rekan. Kenyataannya semua jadi kacau, dan kian kacau Sebab dia salah sasaran, lebih kacau Lagi berurusan dengan pewaris DM grup.     

Bukan cuma Rey, hampir seluruh media meyakini Mahendra sudah bercerai dengan Aruna. Beritanya hilang begitu saja, sidang perceraiannya ditangguhkan. Tinggal menunggu salah satu menandatangani surat persetujuan perceraian yaitu dari pihak Mahendra. Dan tampaknya pihak keluarga Mahendra tercium gelagat menyiapkan pasangan baru untuk pewaris mereka.     

"andaikan, yang menculik Pay benar-benar orang Mahendra Aku yakin tidak akan lama lagi bakal ada bencana besar di kubu Tarantula," monolog Rey membingungkan ajudannya, ajudan tersebut berusaha memahami kalimat tuanya.     

"Apa yang anda lakukan setelah ini?"     

"aku sudah terlanjur basah, kalaupun harus basah kuyup terguyur air tak masalah,"     

"maksud Tuan?"     

"kalau memang Mahendra bergerak, aku akan tetap mendampingi Gibran, seburuk apa pun kehancuran tarantula, atau sepicik apa pun rencana kita bersama, aku di samping Gibran,"     

Mobil Rey melesat menerpa gerimis pagi, udara sejuk yang jarang sekali terjadi di kota metropolitan ini.     

"Kau pasti ingin menertawakan ku?"     

Ajudan Rey tersenyum.     

"Aku tahu makna setia kawan karena ajaran Anantha, kau percaya pada kata-kata ku," Rey menoleh kepada Ajudannya, yang mengumbar raut muka tak yakin terhadap ujaran tuannya sendiri.     

"bisa-bisanya seseorang yang selalu mengutamakan keuntungan, belajar kesetiaan," Rey membaca ekspresi anak buahnya.     

***     

Mahendra mendengar alarm berbunyi, tangan lelaki ini keluar dari selimut tebal bergerak merambati nakas, dan berupaya meraih handphone kemudian mematikannya secara spontan.     

Tangan yang tadi bergerak mematikan handphone, sejalan kemudian berupaya memeluk seseorang.     

Mata terpejam tersebut berhenti sejenak, dia tidak mendapati tubuh perempuan. Rabaan demi rabaan yang ia susun di atas sulur bunga lili tidak membuahkan hasil sama sekali, Tubuh sang istri tidak ada di tempatnya.     

Mahendra membuka mata birunya. Dia segera bangkit mencari-cari, kamar mandi, sayang sekali kosong, ruang baju mereka yang luas itu juga kosong.     

"ke mana Aruna?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.