Ciuman Pertama Aruna

III-164. Come On Baby (Menikah+)



III-164. Come On Baby (Menikah+)

0Mahendra mendengar alarm berbunyi, tangan lelaki ini keluar dari selimut tebal bergerak merambati nakas, dan berupaya meraih handphone kemudian mematikannya secara spontan.     
0

Tangan yang tadi bergerak mematikan handphone, sejalan kemudian berupaya memeluk seseorang.     

Mata terpejam tersebut berhenti sejenak, dia tidak mendapati tubuh perempuan. Rabaan demi rabaan yang ia susun di atas sulur bunga lili tidak membuahkan hasil sama sekali, Tubuh sang istri tidak ada di tempatnya.     

Mahendra membuka mata birunya. Dia segera bangkit mencari-cari, kamar mandi, sayang sekali kosong, ruang baju mereka yang luas itu juga kosong.     

"ke mana Aruna?" Mahendra mendekati telepon rumah.     

"pagi-pagi begini, ke mana dia?" selepas melakukan panggilan, dia baru tahu istrinya jalan-jalan pagi di taman. Spontan pria tersebut menuju jendela kamar, disingkapnya kain yang melapisi jendela. Ternyata istrinya ada di sana, jauh di bawah sana bersama mommy-nya yang hobi lari pagi.     

Mahendra buru-buru masuk kamar mandi, mencuci mukanya selepas itu berganti pakaian dan keluar menuruni tangga cepat-cepat.     

Dia berhenti di teras untuk mengenakan sepatunya, sepatu sport sepasang dengan milik istrinya yang ia beli semalam.     

"Haha," ini suara istrinya tertawa, mengikuti gerakan bela diri kungfu sederhana untuk pernafasan, meditasi dan relaksasi. Mommy Gayatri sering kali tertangkap mata melakukan gerakan pernafasan tersebut, sering kali diiringi Susi maupun ajudan perempuan yang lain demi melawan rasa stres yang menyelimuti Gayatri.     

Aruna tertawa sebab dia yang paling aneh di antara Susi mau pun mommy Gayatri.     

"Ayo lah Aruna.. pernafasan ini baik untuk janinmu," Gayatri bergerak mendekati istri Mahendra, membenarkan kaki dan tangannya yang terlampau kaku.     

"mommy sungguh, aku enggak bisa lentur," perempuan hamil ini lagi-lagi tertawa sebab terlalu banyak melakukan kesalahan. Harusnya berpindah ke sisi kiri dia malah memutar belakang.     

"Hendra??" ternyata Hendra mengamati mereka. Mendengar nama putranya terpanggil, entah apa yang terjadi, Gayatri berdiri kaku dan menunjukkan ekspresi malu-malu.     

Aruna sering kali merasa iri dengan ekspresi Gayatri, bagaimana bisa perempuan yang hampir menyentuh usia 50 tahun tersebut. Punya sisi malu-malu yang berkali-kali lipat lebih cantik daripada dirinya. Dan anehnya, ekspresi canggung, malu, kadang kala gugup tersebut hanya ditunjukkan kepada putranya sendiri.     

Secara sadar semua orang yang mengamati pasti tahu, betapa besar rasa cinta Gayatri pada putranya. Terlebih saat dia perlahan-lahan pulih, semakin besar ekspresi cinta itu tampak di raut wajah Mommy Hendra.     

Para ajudan perempuan lekas ambilkan handuk kecil dan diserahkan kepada Aruna termasuk kepada mommy Gayatri. Botol berisi air juga sajikan ajudan kepada mereka berdua.     

Betapa sopan nya Gayatri dengan wajah ayunya itu menunduk berpamitan kepada putranya. Kepala Aruna sering kali sulit mencerna, bagaimana bisa seorang ibu lebih sopan kepada putranya daripada kepada ayahnya (Wiryo).     

Bahkan Aruna sendiri yang tergolong generasi milenial ini, berusaha keras belajar kesopanan dari mommy Gayatri maupun dari Oma Sukma namun ujung-ujungnya dia masih kesulitan meniru gerak-gerik keduanya. Pantas saja Mahendra selalu berkata dirinya gadis unik berantakan sejak awal pertemuan hingga detik ini.     

Satu persatu ajudan perempuan pergi mengikuti langkah Gayatri, kecuali Susi yang harus mengekor nona mudanya. Aruna duduk di atas rumput menghadap danau, Mahendra mengikuti duduknya Aruna. Dan pria itu menyentil betis perempuan supaya diluruskan, "setelah olahraga, luruskan kaki mu! Yang benar!" suaranya selalu punya patahan tajam.     

"Huuuh," ibu hamil ini cemberut, mengapa laki-laki di keluarga Djoyodiningrat punya kebiasaan berbicara yang meresahkan, intonasinya di tekanan di tiap ujung kata dan kalimat. Padahal perempuannya begitu sopan.     

"Hendra Harusnya kamu berkata: 'sayang, meluruskan kakinya', " Gerutu Aruna.     

Lawan bicara Aruna membalas dengan lesung yang menggores pipi, "sayang, kau menipuku, semalam kamu bilang akan memberiku sarapan pagi," kalimat berikut ini menggunakan nada suara yang serupa contoh Aruna.     

Mata Aruna menyipit, gigi rapinya terlihat, "sayang, ibu hamil punya mood naik turun, kadang kala suaminya harus berpuasa," nada bicara ini serupa dengan contoh Mahendra.     

Mereka pun saling melirik satu sama lain, dan berakhir tertawa terbahak-bahak. Ternyata cukup menggelikan memaksakan diri berbicara pelan, halus, supaya terlihat romantis layaknya drama series.     

Tak diduga Susi yang di belakang ikut tertawa, tawa Susi terdengar ditahan-tahan dan agak telat. Sejujurnya ajudan ini geli mendengarkan percakapan tuan dan nona nya barusan. dia sudah berusaha keras mengikat perutnya sebab tak sopan menunjukkan ekspresi. Apa boleh dikata, tak mampu di hentikan.     

"tertawa saja Susi, jangan menyiksa dirimu," Ujar Aruna menoleh ke belakang.     

"maafkan saya nona," Susi menunduk ringan menggeser berdirinya lebih menjauh.     

"Sayang.." suara Hendra.     

"sudah Hen, stop.. cukup membuatku geli," protes Aruna, sebab kata 'sayang' Mahendra menggunakan nada yang tadi mereka tertawakan.     

"aku akan berhenti kalau aku dapat sarapan pagi,"     

"Apaan sih!"     

"Ayolah," mata biru mengamati danau kemudian menangkap mata istrinya.     

"kamu ingin ciumanku?" tawar Aruna.     

"sarapanku sudah naik level,"     

"naik level? Ada levelnya segala?"     

"Tentu," mata biru mengangguk, melepas sepatu sport yang ada di kaki istrinya. Berikutnya dia melepas sepatunya sendiri.     

"Susi," Mahendra menoleh kepada ajudan perempuan di belakangnya. "ambilkan kami piama handuk," Susi mengangguk lalu melangkah pergi, "oh ya," Hendra menghentikan langkah Susi, "Jangan mendekat ke danau, sampai kami menampakkan diri,"     

"baik Tuan," Susi berjalan menjauh.     

Aruna masih penasaran, ide gila apa yang akan di susun Mahendra.     

"ayo!" pria tersebut bangkit dari duduknya, menjulurkan tangan kirinya. Aruna menyambut tangan kiri tersebut menggunakan telapak tangan kanannya. Dan Mahendra menariknya mengelilingi sepenggal danau, pohon yang lebih rimbun ada di atas kepala mereka tepat ketika Mahendra melepas kaos di tubuhnya.     

Aruna mengambil nafas, mendung pagi yang sejak tadi menyembunyikan matahari mendorong datangnya gerimis. Rintik air hujan tersebut menerpa dedaunan lalu menetes jatuh di atas bahu lelaki -yang kemudian menyambut gaya gravitasi- mengaliri dada pria yang berharap disentuh tangan perempuannya.     

Aruna bergerak 3 langkah. Di langkahnya yang ketiga dia bisa menggapai dada Mahendra. Telapak tangan itu menapaki tubuh pria hobi olahraga. Ada senyum kecil tersungging, menyadari dulu dia pernah gemetaran ingin meraba dada ini. Sekarang, lelaki Mata biru yang menjatuhkan tatapan di bibirnya adalah hak miliknya yang sempurna.     

Mahendra selalu konsisten to the point, ia meraih kedua lengan Aruna. Supaya lebih mendekat, dagu itu terangkat, dan bibir terbuka dicecap lelaki.     

"kita coba hal baru," selepas mencium bibir Aruna pria itu menjauh. Dia benar-benar masuk ke dalam danau. Saat berbalik Mahendra mengangkat kain, menggunakan tangan kanannya, kain tersebut dia lempar ke tanah tepian danau, tertawa jail meminta istrinya mengikuti dirinya.     

"come on baby light my fire," telapak tangan Hendra bergerak, "come on baby, please," pria ini mengumbar harapan.     

Si perempuan menurunkan bajunya, dia memasukkan kakinya ke dalam danau dengan memeluk dadanya sendiri. Pagi ini lebih dingin daripada pagi sebelumnya. Air hujan yang dingin ikut menambah rasa gemeletuk pada tubuh perempuan.     

Ketika Aruna semakin dekat, lelaki bermata biru merengkuhnya, "ikat kaki mu di pinggangku," ucap Mahendra pada tubuh mungil yang kini berusaha mengikuti perintahnya.     

Lelaki bermata biru menangkap tubuh perempuan, mendekap dan membawanya lebih dalam, bibirnya tidak mau lepas dari tautan bibir sang istri. Dan tempat yang lebih dalam menawarkan hujan tanpa halangan dahan-dahan pohon.     

"Uuuuh," Mahendra menghujani sesapan, seiring pria itu menaikkan tubuh perempuannya, detik-detik Aruna kembali diturunkan, mata biru menatap penuh makna pada perempuan basah, berikutnya bibir mereka bertautan lagi dan lagi.     

"bagaimana yang di dalam sayang?" bisiknya di telinga Aruna, perempuan ini menautkan alisnya tidak paham, "Apakah sama basahnya seperti yang di luar?" spontan perempuan yang tercerahkan tersebut memerah.     

Detik berikutnya merah wajah Aruna kembali muncul bersama punggung dan rambut coklat lelaki yang tercengkeram kuat-kuat. Sebab mata biru mendesakkan miliknya di bawah sana. Aruna menggeliat menawarkan lehernya, leher tersebut di sesap sedalam-dalamnya, bersama gigitan kecil yang seirama dengan cara lelaki bermata biru merengkuh kenikmatan.     

Tubuh perempuan mungil di gerakkan sesuai ritme lelakinya. "Air membuat tubuhmu ringan dan baby kita nyaman," keduanya saling bertemu mata selepas meraih legit tubuh pasangannya.     

"I love you," Aruna tidak membalasnya menggunakan kata-kata. Perempuan ini membalasnya dengan sentuhan di bibir.     

Sang pria tak henti-hentinya mengumbar lesung pipi, sebelum mereka menggapai lelah dan perlahan menepi berteduh di bawah pohon. Kembali mengenakan baju basah.     

"Tunggu di sini!" perintah Mahendra berlari mencari Susi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.