Ciuman Pertama Aruna

III-166. Utamakan Diri Sendiri



III-166. Utamakan Diri Sendiri

0"Mana suamimu Ki?" pertanyaan ini muncul dari perempuan paling bawel di kampung tepian sungai tersebut.     
0

"lagi pergi, keluar kota," santai Kiki menjawabnya, tangen perempuan ini buru-buru meraih sayur-mayur yang gelantungan di motor roda 3 milik penjual sayur keliling.     

"Terus yang kemarin siapa Ki? Diculik kok sama orang tampan," Kiki sadar, kumpulan ibu-ibu yang saat ini menatapnya sinis pasti suaminya korban baku hantam dengan lelaki yang menurut pendengaran Kiki namanya Vian. Maklum Kiki dan Vian tidak pernah berkenalan.     

"…" Kiki hanya bisa terdiam, gadis ini menundukkan wajahnya, "berapa pak?" tanya Kiki pada penjual sayur.     

"harusnya, Jangan hanya bayar sayur Ki, warga yang jadi korban karena berniat membantumu juga dapat kompensasi dong,"     

"Huuuh" Kiki menghembuskan nafas panjang. "maaf, kalau warga di sini merasa, em.."     

"sudah.. sudah!" tetangga Kiki yang paling baik meredam ketegangan. "Kalau menurutku yang salah itu Sasono, dia yang ngomporin bapak-bapak di kampung ini, padahal bapaknya Kiki sudah mengingatkan supaya semuanya tenang tidak ikut campur," tetangga yang telah berbicara ini menyentil tubuh Kiki, menggerak-gerakkan tangannya supaya Kiki segera pulang.     

Kiki mengangguk, menyingkir perlahan.     

.     

.     

[Thomas, Semoga harimu baik, aku tidak ingin mengganggumu, hanya mau bilang, baju-baju mu yang masih tertinggal di sini, aku kirim ke rumahmu yang kemarin] pesan SMS Kiki masuk di handphone Thomas.     

Sayangnya bukan Thomas yang menerima, melainkan Pradita yang saat ini membuka seluruh aplikasi dan chatting memilik handphone Thomas.     

Pradita sempat bingung, apakah dirinya perlu membalas chatting perempuan tersebut atau tidak, lalu dia buru-buru mengingat prosedur pengambilan data. Tidak ada campur tangan pribadi.     

Bip     

Lagi-lagi handphone Thomas berbunyi. Kembali pesan dari perempuan yang sama masuk, gambar sebuah tas berisikan baju-baju Thomas. Lalu gadis tersebut tak lagi mengirim pesan pada handphone Thomas.     

Berawal dari foto yang terdownload kemudian diamati oleh Pradita. Pradita menelusuri riwayat chatting antara Thomas dan Kiki. Pradita menyadari handphone baru Thomas hanya berkirim pesan pada 3 nomor.     

Si pemarah, nomor asing tak bernama yang kalimat-kalimatnya seperti transaksi jual beli yang kemudian diketahui Pradita bahwa itu nomor penjual HS-9 serta nomor deler motor yang bertanya-tanya terkait lokasi pengantaran pesanan motor kepada Thomas.     

Tidak ada apa-apa di handphone Thomas yang bisa dicurigai, Pradita malah tersita dengan gaya mengirim pesan Si Pemarah yang penuh ancaman kepada Thomas.     

"Si pemarah?" gumam Pradita. Sejenak dia terdiam kemudian otak lelaki berkacamata tersebut bekerja lebih keras. Dipadu padankan dengan sebagian kronologi yang disusun Vian, serta chatting yang terjadi antara Thomas dan si pemarah. Pradita menemukan alur berbeda, ternyata Thomas bukan disembunyikan atau menemui Leona, Thomas mendatangi kediaman Leona untuk menangkap seseorang, bahkan mungkin dia ingin membunuh seseorang.     

Sebab di jam-jam sebelumnya aplikasi taksi online yang dipesan menuju tempat tinggal Leona. Thomas berhenti di beberapa titik. Minimarket, beli motor baru untuk perempuan pemarah, mengambil pesanan HS-9, mendatangi tempat Leona dan lain sebagainya.     

[Vian, kalau kamu menginginkan kasus Thomas kita kulik-kulik lebih dalam, -sebelum dia membuat pengakuan kepada tuan muda Mahendra. Sebaiknya, kita cari tahu, Ada siapa di rumah Leona, Thomas selama ini tidak sadar, Leona sudah kembali ke Indonesia] panggilan antara handphone tersebut memicu diskusi panjang. Sebelum akhirnya, Vian meminta Raka ikut serta mengamati siapa yang tinggal di rumah Leona.     

Aruna berendam air hangat, ketika mata biru masuk ke dalam ruang bershower lalu mengguyur seluruh tubuhnya. Sampai Mahendra keluar dan menunjukkan dirinya telah selesai mandi, istrinya masih mendekam di bathtub sambil mengamati jendela kaca yang terbuka, "selesaikan mandimu, Aku janji aku tidak akan marah lagi," Aruna membalik wajahnya melihat Mahendra yang berdiri mengamati dirinya.     

"aku benar-benar mendengar suara tangisan, Hen," suara ini terdengar seperti rintihan perempuan yang sengaja mencari pembenaran.     

"aku tahu kau tidak berbohong,"     

"lalu.. apa pemilik suara itu selamat?" gelisah Aruna menatap Mahendra.     

"Huuuh," Hendra menghela nafas, mendekat, lalu menekuk kakinya, "kau lupa, kau istri siapa?" Aruna menautkan alisnya.     

"istri Hendra,"     

"siapa suamimu?"     

"cucu tetua Wirya?"     

"Salah! Bukan yang itu"     

"CEO DM grup?"     

"sebutkan jabatanku yang baru!"     

"Presiden direktur Djoyo Makmur Grup? Atau pewaris tunggal Djoyodiningrat"     

"Kalau kamu berniat melakukan hal konyol lagi, ingat baik-baik kau istri siapa?!! Lalu yang di perutmu itu baby siapa?!" Mahendra bangkit, meninggalkan Aruna, Aruna tahu Hendra masih kecewa terhadap keputusannya yang berjalan memburu suara rintihan perempuan menangis.     

"yang kamu dengar berasal dari alat perekam, berusahalah membuka matamu. Sadari seberapa pentingnya keselamatanmu dan baby kita, kalian berdua di atas segala-galanya bagiku, tidak mudah menjadi istriku, lebih tidak mudah lagi kalau kamu terlalu naif!!" suara Hendra berat. "selesaikan mandimu!, Jangan biarkan dirimu dan baby kita kelaparan!" pria marah itu menghilang di balik pintu.     

Aruna terdiam sejenak, menutup matanya, mencoba memahami keadaan. Lalu jemarinya memegangi perutnya sendiri, sesuai perkataan Mahendra, dirinya merasakan lapar.     

Dan saat perempuan ini membuka mata, ia menemukan prinsip keduanya, tepat sesuai ucapan kemarahan Mahendra, 'utamakan diri sendiri, utamakan keluarga sendiri, sebelum mengutamakan orang lain, ketika terjadi sesuatu, yang paling terluka, yang paling tertekan, dan yang paling kesusahan. Tidak lain dan tidak bukan tetap keluarga yang akan ikut larut menanggung rasa sakit itu. khawatir, rasa resah, bahkan ikut menanggung kesulitan'     

Aruna buru-buru meraih sabun dan dibalurkan ke seluruh tubuhnya, perempuan ini keluar dari kamar mandi. Lalu meminta para asisten yang merias dirinya sebaik mungkin. Hingga saat dia keluar dari kamar pribadinya Aruna merasa percaya diri untuk berhadapan muka dengan Mahendra yang saat ini menikmati sarapan pagi yang terlewat waktu.     

"aku minta maaf, Aku tidak akan mengulangi kebodohanku lagi," Mahendra melirik istrinya.     

Aruna menunduk lemah, lesu, sebab Mahendra terlihat masih marah kepadanya.     

"Kenapa berdiri?" gertak Mahendra, "duduk!"     

"iya.." Aruna mengikuti permintaan lelaki yang saat ini menyodorkan piring berisi banyak makanan, "jangan pilih-pilih makanan! Makan dengan benar!" dan Aruna membuat sendokkan besar, berusaha memasukkan segala jenis makanan yang ditawarkan di atas piringnya.     

"setelah ini bersenang-senang -lah,"     

"Apa??" Mahendra mengelus rambut Aruna, pada kemarahannya, ia masih berkenan menghapus mulut berlepotan sebab cara makan Aruna yang kadang kala berantakan.     

"Nih," Mahendra meletakkan handphone istrinya di atas meja, akhirnya pria ini mengizinkan Aruna memegang handphonenya kembali.     

"Terima kasih," mata Aruna menyipit memegang handphonenya dengan kedua tangan.     

"ingat! Dilarang-"     

"-membaca artikel yang tidak penting demi kebahagiaan kita sendiri, apalagi memikirkan komentar sampah yang mengotori kepala," Aruna memenggal ucapan Mahendra.     

Pria ini tersenyum, "kau sudah tahu kesalahanmu tadi, apa?"     

"aku terlalu memikirkan orang lain, dan lupa pada keselamatanku sendiri.. aku minta maaf," ujung kalimat Aruna berupa rayuan.     

"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana, rumah ini belum tentu aman untukmu," gumam Mahendra lirih di sengaja di antara mereka berdua.     

"aku sudah pernah menceritakannya kegelisahanku ini padamu, -kan," Aruna menekuk mulutnya. Hendra baru sadar sekarang.     

"Mulai hari ini kamu-" suara Mahendra tertimpa suara lain.     

"Arunaaa…" suara yang familier menyapa telinga Aruna, ada langkah lari yang disambut antusias istri Mahendra.     

"Dea.. " mereka berpelukan, bahkan Aruna melompat kegirangan. Sejenak terdiam, menyadari dirinya hamil. Senang sekali bertemu Dea, ia serta merta melupakan kejadian di danau barusan.     

"Aruna, sebentar lagi yang lain bakal sampai," ini suara Dea.     

"Yang lain?"     

"Iya.. teman-teman,"     

"Surat Ajaib," Dea mengangguk memberi jawaban, lalu mendekati telinga Aruna.     

"Kecuali Damar,"     

"Hehe," Aruna malah tertawa mendengar kata 'kecuali', "Damar ada di Jakarta?"     

"Iya.. tapi dia sibuk, besok jadwal wisudanya S1 nya," jelas Dea.     

"apa dia mengundang kita?,"     

"bukan mengundang sih, tapi mengancam harus datang," lagi-lagi Dea mendekatkan bibirnya di telinga Aruna, "kalau diizinkan, kita semua berharap kamu datang, supaya kita bisa reuni," Dea lirik dua lelaki yang saling bercakap-cakap. Pak Surya dan Mahendra terlihat sibuk berdiskusi.     

Dea menarik ringan baju Aruna, Aruna yang paham maksud Dea -bahwa keduanya- sebaiknya sedikit menyingkir dari tempat makan ini. Atau tidak bisa berbicara santai, sebab suaminya berlampu protektif.     

"Di selesaikan dulu makannya, sayang," Desak Mahendra.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.