Ciuman Pertama Aruna

III-167. Game Pemburu



III-167. Game Pemburu

0Dea menarik ringan baju Aruna, Aruna yang paham maksud Dea -bahwa keduanya- sebaiknya sedikit menyingkir dari tempat makan ini. Atau tidak bisa berbicara santai, sebab suaminya berlampu protektif.     
0

"Di selesaikan dulu makannya, sayang," Desak Mahendra. Dan Aruna terpaksa bekerja keras menyelesaikan makannya.     

.     

.     

Kedua laki-laki menyingkir ke ruang kerja Mahendra, "kapan kau mulai kerja, sangat berat perusahaan tanpamu," Mahendra terkekeh mendengar keluhan Surya.     

"kau sulit menjalankan perusahaan atau sulit membagi waktu dengan istrimu?"     

"keduanya," Lugas Surya tanpa basa-basi. "Jujur aku belum bisa membuat kebijakan-kebijakan segila kamu," Surya mengimbuhkan kalimatnya.     

"aku hanya pengganti sementara, jadi Ku jaga semuanya stabil saja, tidak ada keputusan berarti kali ini," dia terlihat lelah sendiri merasakan jabatan tidak tetap yang ia sandang.     

"ayolah, aku sangat percaya dengan insting mu Surya, kebijakan Apa yang kau buat, tentu aku bisa memahaminya," Mahendra lebih santai menghadapi keluh kesah sahabatnya.     

"jangan bilang kau bicara seperti ini, sebab belum ada niat kembali bekerja" surya melempar tuduhan, dan Mahendra tertawa renyah.     

"ayolah Hendra, kita sedang memburu waktu bersaing dengan launching produk digital tarantula," Surya memperingatkan tantangan terbaru mereka.     

"Tenanglah, Aku memikirkan banyak hal, ketika aku cuti," Mahendra bicara datar, namun ekspresinya lebih serius dari dugaan orang lain.     

"Bagus lah," Surya merasa rileks sejenak.     

"kamu pasti datang di lounching tarantula?" Tanya Surya berikutnya.     

"Pasti," tegas Mahendra.     

***     

Dea dan Aruna duduk-duduk santai di teras, teras samping yang menawarkan pemandangan indah dan sebuah sofa yang nyaman. Aruna mulai bertingkah layaknya seorang presenter yang melakukan wawancara eksklusif kepada bintang top yang perlu dicari tahu informasi tentang hal-hal baru yang dia miliki.     

"bagaimana suasana surat ajaib setelah aku tak punya kesempatan mengunjunginya," wajah Aruna mengerut ketika mengingat star up-nya yang dulu dibangun dengan kerja keras.     

"menurutmu apa yang terjadi pada startup kita?" Aruna menggelengkan kepala, sesuatu di dalam otaknya sedang lumpuh saat ini sebab tadi pagi beberapa kali dibentak seseorang.     

"Lily bekerja keras, dia satu-satunya yang berusaha mempertahankan agar startup kita tetap berdiri, aku bersyukur lili tidak putus asa, Sebab aku sendiri, kamu tahu kan semenjak menikah? Opa Surya memberiku jadwal kedisiplinan," Aruna terkekeh mendengarkan jadwal kedisiplinan. Seolah di matanya dia sudah tahu pasti jadwal tersebut, detail ketepatan waktu menjalani perilaku sehari-hari yang harus diupayakan terjadi sesuai rencana. Dulu di pertemuan awal bersama Mahendra, Aruna juga mendapatkan detail jadwal aktivitas yang akan terjadi antara dirinya dan Mahendra hasil buatan Surya.     

"Lalu bagaimana sekarang?"     

"kau pasti terkejut mendengarkan ucapanku," Dea, belajar membuat temannya penasaran.     

"Apa...??" Aruna mengguncang tubuh temannya.     

"Timi tak lagi menjadi supervisor desain ditempat kita magang,"     

"loh? Kenapa?"     

"dia sekarang yang membantu surat ajaib, suamimu memintanya untuk bantu memimpin start up mu, Aruna,"     

"Em.. benarkah?" dea mengangguk cepat.     

"bukan cuman Timi Aruna, surat ajaib kita baru saja selesai dibuatkan sistem administrasi dan jual-beli yang lebih ke mudah. Seperti impian kita dulu,"     

"Hendra benar-benar melakukannya?" Lagi-lagi dea mengangguk.     

"dan suamimu membuat hidupku kacau sebab Timi datang lagi," ini suara Lili. Tak lama Laras dan Tito yang mengekor Lili muncul menyapa Aruna.     

"mana Agus?"     

"Agus titip salam tidak bisa datang," suara lili kembali menyapa. Seiring langkah kedatangan teman-teman nona muda. Beberapa camilan disajikan oleh para asisten rumah tangga.     

"Agus sangat sibuk kah?" Aruna mempertanyakan si hobi makan yang ia rindukan.     

"tidak mudah mempersiapkan kelulusan teknik informatika," Dea memberi penjelasan.     

"Agus magangnya di luar kota sih," Lily memberi tambahan keluhan. "kita kirim foto kita, supaya dia galau," ide lily disambut yang lain. Sayangnya sesi pengambilan gambar itu tak berlangsung lama.     

"nona," suara Herry menyapa, Herry yang baru hadir sempat bertemu mata dengan Lily. "Tuan meminta anda dan teman-teman menemui beliau," teman-teman Aruna mencuri pandang satu sama lain.     

"mengapa suami kak Aruna memanggil kita?" Laras merapikan dirinya yang sejujurnya sudah cukup rapi.     

"entah," Aruna ikut mengangkat bahunya.     

***     

"Darko, bagaimana game terbaru dariku? Kau senang?" Darko mengangguk.     

"karena kau menyelesaikan misi secara sempurna, ku bawakan hadiah untukmu," kotak brownies hadir di hadapan Darko. Darko tidak banyak bicara lekas membuka makanan favoritnya.     

Nana terlihat mengibaskan rambutnya, perempuan ini duduk santai dengan kaki kanan bertumpu di atas kaki kiri.     

Leona baru menurunkan tangga, setelah seharian mendekam di dalam kamar sebab hancurnya merasakan kepergian Thomas.     

"kudengar kamu keluar beberapa hari ini dek, ke mana sih?" Leona tidak membalas pertanyaan Nana. Leo berjalan gontai bersama wajah sembab.     

"ada yang bersedih, yang dia bersedih," Darko masih tidak bisa membedakan Nana dan Leo berpindah dari satu tatapan mata ketetapan mata yang lain.     

"kakak, apakah menurutmu Thomas benar-benar mati bunuh diri?" akhirnya Leo duduk di sudut sofa. Matanya memandangi Darko yang asik makan dan Nana yang membalas tatapannya, Nana memberinya rasa hangat. Ekspresi seorang kakak yang mengasihani keadaan adiknya.     

"Aku berharap bukan berita seperti itu yang kudengar, sayangnya Thomas menghilang meninggalkan kursi rodanya di atas jembatan," ucap Nana.     

"tapi aku menemui Thomas, dan dia berkata, seseorang membunuhnya," Leo mengumbar kejujuran dan ingin tahu ekspresi seperti apa yang akan ditunjukkan kakaknya.     

"Leo, aku minta maaf, Apa kau berkenaan aku antar ke salah satu dokter yang biasa mendampingi keluarga Djayadiningrat?" balasan kalimat Nana terhadap narasi yang dibangun Leo, mengakibatkan Leona tercengang. Bisa juga kakaknya menganggapnya kurang waras. Padahal Thomas asli ia temui dengan mata kepalanya sendiri.     

"Apakah kakak percaya, Thomas sesungguhnya masih hidup," Leo membuat pernyataan kedua yang langsung disambut kegeraman Nana.     

"bicara apa sih kamu??" kedua alis Nana menyatu sempurna.     

"kenapa Kakak marah, Leo hanya bertanya.."     

"pertanyaan mu! membuat Kakak semakin khawatir, Apakah kondisi jiwamu baik atau tidak!" Nana kesal bukan main.     

"kalau seandainya Thomas beneran di bunuh bukan bunuh diri, kira-kira Kenapa Thomas harus dibunuh?" Leo bertubi-tubi mengusung pertanyaan aneh.     

"Karena thom saksi kunci, apa lagi coba.."     

Deg'     

Wajah sembab Leona kembali menghadirkan tetesan air mata. Leo menangis lagi, perempuan ini hampir mirip dengan orang gila.     

"Leo, kakak tidak bisa melihatmu seperti ini, ayo ikut kakak!" Leo menggelengkan kepala.     

"pergilah Kak! Aku takut aku membuatmu tertidur dan kau akhirnya membuka banyak rahasia yang tersembunyi di antara kita," kata-kata Leo secara implisit membuat nana merasa tertekan. Perempuan ini bangkit meraih tasnya.     

"tenangkan dirimu! Jangan temui Kakak kalau kau masih seperti ini!" geram Nana pergi meninggalkan kediaman Leona.     

.     

.     

"Darko, Apa kau mau bercerita padaku, game apa yang kamu mainkan bersama kakakku?" Leo yang kian kacau mendekati Darko. Leo terdorong atas rasa ingin tahunya.     

"Kakak?? siapa kakak?" Darko selalu begini, bingung membedakan mereka berdua.     

"game apa yang kumainkan dengan diriku yang satunya!!" teriakan kasar Leo menghentak sejenak kesadaran Darko, pria ini menggeleng. Dia meletakkan makanan dari tangannya.     

"game berburu?" Darko bicara sambil mengerjapkan matanya.     

"itukah nama gamenya?" pasti kakak ku yang memberi nama.     

"Seperti apa permainannya?"     

"sesuai keinginan anda, dan saya suka yang terakhir,"     

"Seperti apa permainan terakhirmu?" Leo Tengah berburu informasi wajahnya kian serius saat ini.     

"kamu memberi ku misi, aku yang menjalani misi," kalimat ambigu Darko ini menandakan Nana dan Leo dianggap orang yang sama     

"baik-baik, misi seperti apa yang terakhir sehingga kamu sangat senang menjalankan permainan itu," Wajah leo kian tegang.     

"menjebak gadis mungil," mendengar kalimat ini dapat dibayangkan betapa Leo ikut menggigil.     

"kau tahu siapa gadis mungil? Bagaimana caramu menjebaknya?" mata Leo memicing menatap Darko.     

"gadis kecil itu target, dan aku adalah tentara pemburu,"     

"aku tidak peduli target dan pemburu, beritahu aku bagaimana cara menjebaknya?!" Leo hampir gila mengintrogasi seseorang yang bahkan kesulitan memahami dirinya.     

"tiap gadis kecil itu sendirian, dia harus mendapatkan gangguan, karena kemarin malam dia membuat nona terluka. Menghina nona dengan tatapan risi -nya. nona berkata buat gadis mungil pergi ke danau," kepala Leo tak bisa memahami ucapan Darko.     

Namun, leo berusaha menekan kebingungannya, dia merasa ada sesuatu yang terjadi. Sebab Darko siang tadi kembali dengan kaki penuh lumpur dan salah satu lutut yang tergores sesuatu.     

"gadis mungil benar-benar pergi ke danau?"     

"Ya…"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.