Ciuman Pertama Aruna

III-170. Gadis Malangmu



III-170. Gadis Malangmu

0"Darko cepat keluar aku sudah siap," Leo berseru.     
0

"Darko.. Darko.." berjalan mendekati kamar Darko, pintu kamar terbuka dan setelah sempat memeriksa, ruangan tersebut hanya menyajikan baju yang tadi Darko kenakan tersampir di atas ranjang tidur.     

"bruuum.." di luar terdengar suara mobil melaju mengusung tancapan gas, melesat dengan kecepatan tinggi. Leo terburu-buru berlari, sialnya ia tidak mendapati mobil tersebut. Leo berlari menuju jalanan, mungkin saja mobil menghilang di balik tikungan cluster tak jauh dari rumahnya.     

"Siaaal! Arrgh.." perempuan yang berlari telanjang kaki ini mengumpati mobil yang menghilang membawa Darko.     

***     

"Aruna, bagaimana rasanya?" pertanyaan lily sewajarnya gadis-gadis di usianya. Sayangnya ia bertanya pada perempuan yang baru pertama kali hamil.     

"entahlah, tapi ini sangat menyenangkan,"     

"kamu merasakan mual dan muntah?" tanya pengantin baru, berharap segera menyusul Aruna.     

"iya, namun tak separah yang diceritakan orang lain, Hendra memenuhi kamar kami dengan aroma terapi, mungkin itu yang membuatku bisa menahan rasa mual," jelas Aruna.     

"Kak, besok kak Aruna datang, kan, di wisuda kak Damar?" Laras bicara sambil mengamati lelaki yang duduk di beranda, pria yang belum melepas pandangannya.     

"Apa kalian semua datang?" entah bagaimana suara Aruna menjadi bisikan.     

"tentu," Dea memberi jawaban.     

"kita harus merayakan, keberhasilan si berantakan itu lulus tepat waktu," celetukan lili menghadirkan tak percaya atas keberhasilan Damar.     

"kayaknya aku juga perlu dibuat patah Hati, supaya daya juang ku melejit berpuluh-puluh kali lipat," tambah Lily.     

"beneran nih?" Aruna.     

"tuh! di sana masih ada Timi, ingin dibuat menangis sejadi-jadinya seperti yang lalu-lalu," Dea menyenggol lengan lili.     

"enggak ah, enggak jadi," lili layu seketika. Sebal sekali melihat Timi sering dijemput perempuan. Bahkan ketika dia mendapat tugas membantu di surat ajaib.     

"memang seharusnya kita menghadiri hari bahagia Damar, terutama aku," Aruna mengingat sesuatu yang harus ia sampaikan pada Damar. "kalian setuju dengan persentasi kak Anantha tadi?" tanya Aruna pada teman-temannya.     

"siapa yang bisa menolak ketika penanggung jawabnya suamimu, Aruna" Dea.     

"keberhasilannya 90%, 10% nya faktor eksternal, mustahil di tolak," tambah Lily.     

"selain Kita, Agus dan Damar punya hak memberi masukan," Dea menambahkan.     

"bukan cuma itu Dea, sebagian surat ajaib milik Damar kau lupa itu?" jelas Aruna.     

"aku rasa Damar sendiri juga lupa, setiap kali aku mengirimkan bagiannya, Damar cuma bilang 'oke', tidak ada balasan lain," jelas Lily.     

"mungkin dia punya kehidupan yang menyenangkan di Jogja," Dea menambahkan.     

"Atau kak Damar punya cewek baru," celetuk Laras. Spontan dihujani tatapan oleh lili dan Dea.     

"apa yang terjadi pada anak itu?" tanya Aruna.     

Lili mengangkat bahunya nya. Dea menggelengkan kepala.     

"maka dari itu kita harus datang besok," ringan Laras memberi masukan.     

"oke.." Aruna membungkus rasa penasarannya terhadap Damar dengan melirik laki-laki di ujung sana.     

Tidak mudah minta izin pada Mahendra, bagaimana caranya? Tanda tanya besar itu menyelimuti pikiran Aruna yang kini melangkah menuju beranda.     

.     

Di saat Dea dan Aruna kembali ke beranda, hamparan taman rumah induk yang perlahan menggelap menyajikan segerombolan laki-laki menggiring anjing. Mereka menuju danau, "Kak, mereka ngapain sih?" Lily menggelengkan kepala, dibalik pengamatannya ada seorang lelaki yang hadir belakangan, Lily tahu nama laki-laki yang terakhir menggiring seekor pelacak ulung yang tengah mengendusi tanah.     

Namanya Herry, pemuda tersebut seminggu sekali datang berkunjung ke tempat yang sama dengan Lily. walaupun dia tak pernah sekalipun berbicara langsung dengan Lily, kecuali senyum sapa standar.     

"sepertinya aku bakal move on," bisik Lily pada Laras.     

"Ya harus dong! Ngapain coba lelah sendirian, mau banget patah hati," celetukan Laras sekali lagi membuat Lily tak mampu menahan rasa ingin berdebat.     

***     

[Aku tahu kalian menemukan Thomas,] pesan Mahendra terkirim untuk Vian, bersama diskusi ringannya dengan Surya.     

[Maafkan saya Tuan, belum sempat memberitahu anda, ada beberapa hal yang ingin kami gali, supaya informasi yang anda terima utuh,] balasan short message dari Vian seiring kedatangan perempuan hamil yang kini meletakkan makan malam di meja depan suaminya duduk.     

[Belum Sempat??] 2 kata sederhana ini membekukan Vian. Siapa dirinya belum sempat memberitahu kejadian besar kepada pimpinan. Vian yang tadi sibuk memeriksa hasil laporan Pradita bersama anak buahnya. Kini mengurai nafas yang sempat tersekat di tenggorokan.     

[Raka! Tangkap saja lelaki di rumah Leo!]     

[Santai Bro! Kendalikan dirimu]     

.     

"apa yang di inginkan istriku?" tanya Mahendra menyadari perilaku Aruna berbeda. Perempuan ini masuk di sela kaki dan duduk di paha sisi kiri.     

Mata biru menemukan insting terkuat bahwa perempuan yang saat ini memeluknya dan memberinya kecupan manja menginginkan sesuatu.     

Mahendra membalas pelukan Aruna dengan mendekap tubuh perempuan hamil yang terasa hangat.     

"Em.. Apa aku boleh minta sesuatu?"     

"minta apa? aku belikan?" jawab Mahendra menelusuri leher perempuan.     

"Hen.. sudah! Malu.." Aruna mendorong kepala lelakinya, dia menangkap wajahnya.     

Bukannya mendengar, wajah menjauh tersebut menyajikan mata terpejam minta di sambut. "Yang benar saja! Banyak or-"     

"Aarh" Hendra menarik kepala perempuan, sejalan kemudian menyesap bibirnya.     

"sekarang sebutkan yang kamu inginkan, Aku turuti" ungkap mata biru setelah berhasil memberi rona merah diseluruh wajah Aruna.     

"besok teman teman reuni," ungkap Aruna merapikan kerah baju mata biru.     

"reuni?" suara Mahendra mendapatkan anggukan.     

"reuni SMA? Atau reuni apa ini?" guratan kulit di antara alis menandakan dia keberatan.     

"reuni surat ajaib,"     

"lalu hari ini apa?"     

"kan tidak lengkap,"     

"oh' besok ada bedanya? Siapa yang membuatnya lengkap?"     

"Em.. " Aruna kehabisan kata.     

"bicaralah yang jelas supaya aku memahamimu," mata Mahendra yang membuka penuh, dan menelan bulat-bulat wajah Aruna. Membuat bibir perempuan tersebut kaku.     

"Dea bilang besok Damar wisuda, mengharapkan teman-temannya datang," ini suara Surya, yang sejak tadi mendapat bisikan dari Dea 'ayo Oppa bantu aruna.. ayo bantu aruna..' mau tidak mau, Surya mengikuti keinginan istrinya.     

"Oh, begitu.. okey.." Mahendra mengangguk.     

"I love You.." Aruna menghujaninya dengan kecupan di pipi.     

"tapi, aku ikut," laki-laki mata biru itu menangkap penuh wajah Aruna sekali lagi.     

"Ya..h" Aruna mengatakan kata 'iya', intonasinya pasrah.     

***     

"Darko masuk! dan jangan pernah keluar dari tempat ini," seseorang menyisir rambutnya, sebelum keluar, lalu mengunci pintu tersebut rapat rapat.     

Ia menelusuri lorong-lorong rumah, penasaran Kenapa di depan ada sekelompok mobil asing yang terparkir. Mobil yang paling ia kenal adalah mobil Surya.     

Ternyata ada acara makan malam hangat di beranda rumah induk. Perempuan tersebut berjalan menuju dapur utama Rumah induk, mempertanyakan siapa saja yang datang. Dan betapa terkejutnya ia ketika mengetahui lelaki berkacamata yang dirumorkan akan menggantikan posisinya melintasi dirinya begitu saja.     

Aditya, menyapa ringan setelah dia keluar dari arah kamar mandi.     

.     

.     

"Brak!!" pintu ukir menjulang tinggi dibuka, dorongan kasar membuat pintu tersebut berderit.     

"Opa… opa Wiryo.. aku tidak terima ini! Aku ingin anda mengasihaniku sedikit saja," lelaki paruh baya yang tengah duduk sendirian di atas ranjangnya sembari membaca buku spontan meletakkan buku di nakas samping tempatnya beristirahat.     

"Apa yang terjadi padamu Anna?" Wiryo menurunkan kakinya dari ranjang, pria itu juga terlihat melepas kacamata, lalu menyerahkan alat bantu mata tersebut pada Anna yang kemudian di letakkan di atas Nakas.     

Sontak Wiryo terkejut bukan main, gadis marah-marah tersebut menyentuh kan kedua lututnya di atas lantai, Anna berlutut di hadapan tertua Wiryo.     

"aku dibuang, setelah istri Mahendra datang," ujar perempuan yang kini melelehkan air dari mata bulatnya yang terbuka lebar menatap Wiryo.     

"bukan hanya Hendra, oma sukma yang dulu mendukung pertunanganku, juga memberiku hinaan, tiba-tiba dia enggan bicara padaku, ibu Gayatri tak pernah lagi mengajakku bercakap, dan anda.. mana tanggung jawab Anda setelah mendesak ku menerima perjodohan dengan Mahendra. Sekarang Anda juga ingin membuang ku begitu saja??" cara berlutut Anna yang tadi hanya menyentuhkan lututnya ke lantai. Detik ini menyentuhkan seluruh tumpuan kaki nya di lantai termasuk kedua telapak tangannya.     

"Dan lihat lah gadis malang mu ini, sekarang dia tidak punya pekerjaan, Hendra menggantikanku, setelah aku menerima dengan lapang dada semua gunjingan," Nada suara Anna naik.     

"Mereka bilang aku perempuan buangan, mereka semua memandangku sebelah mata, dan pekerjaanku pun di rebut dariku, lagi-lagi karena istri Mahendra!! Salah apa aku padanya opa?! Aku mau minta keadilan! anda dan keluarga anda sudah mempermainkan gadis malang ini" Anna menangis pasrah. Wiryo menatapnya Nanar walaupun konsisten berekspresi datar.     

"Jadi.. kamu ingin apa dariku?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.