Ciuman Pertama Aruna

III-171. Setara Istri Mahendra



III-171. Setara Istri Mahendra

0"Mereka bilang aku perempuan buangan, mereka semua memandangku sebelah mata, dan pekerjaanku pun di rebut dariku, lagi-lagi karena istri Mahendra!! Salah apa aku padanya opa?! Aku mau minta keadilan! anda dan keluarga anda sudah mempermainkan gadis malang ini" Anna menangis pasrah. Wiryo menatapnya Nanar walaupun konsisten berekspresi datar.     
0

"Jadi.. kamu ingin apa dariku?" Wiryo berdiri di hadapan perempuan bersimpuh dan hal tersebut membuat tubuh Anna bergidik seketika.     

_apa dia bisa berjalan?_     

***     

Kepulangan teman-teman dan kakak-kakaknya membawa duka, kepulangan ini lebih cepat dari rencana awal. Sebab Hendra terpaksa membuat keputusan untuk undur diri. Badan Aruna hangat, dan sepertinya ibu hamil ini terserang flu.     

Sekelompok tamu yang usai menyelesaikan makan malam bersama tak bisa berpamitan secara benar, kecuali hanya pada Mahendra yang keluar sesaat dari kamarnya setelah sekelompok dokter datang untuk memeriksa istrinya.     

.     

Anjing-anjing yang dibawa sekelompok pengawal naik ke atas tebing mereka kemudian menuruni bukit dan berakhir ke di jalan tunggal milik keluarga Djayadiningrat alias jalan raya khusus yang mengarah ke rumah induk.     

Setelah dikonfirmasi kepada petugas yang memberikan izin memasuki kawasan jalan raya spesial tersebut, tidak ada satu pun mobil maupun kendaraan yang layak untuk dicurigai.     

semua yang datang dan pergi adalah bagian dari keluarga Djoyodiningrat. kelompok black pardus menemui misi keduanya yakni menangkap orang yang telah mengganggu istri tuan muda.     

Sekawan-an ajudan satu persatu mengernyitkan dahinya. Mereka tidak mau meyakini kebenaran ini, akan tetapi pasti ada campur tangan orang dalam. Sebab, hewan dengan penciumannya tersebut tak lagi bisa menemukan jejak. Sebab berakhir pada penampakan jejak roda mobil.     

.     

Mahendra baru saja memasuki kamarnya, dia duduk di tepian ranjang. Tangan besar itu merambah wajah istrinya, "sudahlah jangan khawatir, aku hanya terserang flu, bukan sesuatu yang besar,"     

Mahendra tidak menjawab pernyataan Aruna. Perempuan yang pandangan matanya sayu, wajahnya memerah dan hidungnya berair. Hendra berdiri kemudian bersedekap, lelaki bermata biru terdiam seribu bahasa, memandangi perempuan hamil yang tidak bisa dan cenderung ia larang mengonsumsi obat kimia.     

"besok pasti sudah sembuh," suara Aruna berubah, antara sengau dan serak. kemungkinan besar perempuan ini sakit gara-gara terguyur rinai hujan pagi hari. Terlebih menemui kejadian yang tidak menyenangkan di danau, dan menghabiskan waktu terlalu banyak ketika meeting sore tadi.     

Aruna kelelahan, dan Mahendra merasa bersalah sebab ia tidak menyadarinya.     

Mahendra mengusung langkahnya pergi ke kamar mandi, dan menghilang di tempat itu cukup lama. Aruna tidak tahu laki-laki ini menenangkan dirinya sendiri. Berdiri termenung menatap dirinya sendiri di cermin atau duduk sendirian meratapi sesuatu yang seharusnya sudah tidak ia takuti lagi.     

Saat dia kembali dari caranya menenangkan diri, perempuan hamil tersebut telah menghilang tertelan rasa kantuk. Mahendra sekali lagi mendekati tubuh itu, lalu memegang dahinya, "hangat" bisik lirih untuk dirinya sendiri.     

Secara naluri Hal pertama yang ia lakukan selepas memeriksa dahi ialah memeriksa denyut nadi Aruna. "masih berdetak," laki-laki ia berbisik untuk dalam rangka meyakinkan dirinya.     

Pria ini tidak bisa tidur semalaman. dia merasa andai dirinya tertidur. Aruna tidak akan mendapatkan pertolongan tercepat saat perempuan hamil tersebut membutuhkan sesuatu. Atau Sebenarnya dia takut ketika dia terbangun yang dia dengar adalah nafas tersengal-sengal mirip maminya yang hampir kehilangan nyawa, -Saat dia terbangun lalu melihat gerak tubuh aneh dari perempuan overdosis-.     

Pria ini memutuskan tidak akan memejamkan matanya semalaman. mengusung beberapa buku di atas ranjang dan Beberapa kali kedapatan berhenti membaca hanya untuk memeriksa denyut nadi. Atau sekedar mengganti kompres sang istri.     

Ketika jam dinding mengarah pukul 3 pagi, pintu kamar terketuk.     

***     

_apa dia bisa berjalan?_ Anna bersimpuh, kehilangan air mukanya untuk menangis. Dia lebih takut daripada menyajikan wajah sedih. Tatapan Wiryo, walaupun sudah paruh baya membuktikan bahwa ia sosok yang paling misterius dan sulit ditebak.     

"jangan kamu pikir karena aku tidak bisa berjalan, maka aku tak bisa berdiri dengan satu kaki," desahan suara Wiryo, yang ternyata hanya berdiri dengan satu kaki membuat seluruh tubuh Anna yang tadinya bergetar luruh dan bisa bernafas normal.     

"ambilkan tongkatku!" Nana buru-buru menegakkan kakinya. Dia memandang ke sekeliling.     

"di lemari itu, paling bawah," Wiryo mengarahkan pandangannya. Dengan tergesa-gesa, Nana berusaha secepatnya menghadirkan keinginan tetua Wiryo.     

Ketika tongkat yang berupa alat bantu jalan sampai di tangan Opa Wiryo, pria itu menelungkupkan alat yang memiliki cengkram pada lengan. Kemudian telapak tangannya memegangi pegangan telapak tangan yang disediakan.     

Dulu Wiryo menggunakan tongkat artistik ,berapa sisinya menyajikan ukiran. Tongkat kakek-kakek yang berupa pegangan tangan. Tongkat itu bisa dipanjangkan, dan Wiryo begitu menakutkan bersama tongkat khas miliknya.     

Sekarang dia juga mengenakan tongkat, akan tetapi berbeda, tongkat tersebut lebih kepada alat bantu yang mencengkeram lengan dan menyajikan pegangan tangan. Untuk itu saat ini lelaki paruh baya tersebut berjalan sedikit tertatih masuk ke ruangan lain.     

Anna tidak tahu, Wiryo menurunkan lukisan, kemudian membuka brankas dan mengambil dokumen berharga berlambangkan Panthera pardus.     

Anna masih konsisten berdiri terpaku di tempatnya, gadis itu sempat menggigit sedikit bibir bawahnya Sebab dia tahu dokumen yang dibawa kakek tua tersebut dokumen berharga. Yang artinya Anna bisa mendapatkan jabatan dalam jajaran Djoyo Makmur Group.     

"duduklah," kini Wiryo duduk di sofa yang menyajikan kamar utama rumah induk.     

Anna duduk takut-takut di kursi sisi lain, dia konsisten menunduk, tidak berani menatap tetua, namun di dalam hatinya terbit rasa bahagia.     

Anna mengetahui dua hal secara bersamaan, pertama ia satu-satunya yang tahu ternyata tetua Wiryo tidak lumpuh total. Dia masih bisa berjalan dengan alat bantu sederhana. Bukan kursi dorong saja, walaupun Anna tidak tahu, Apa tujuan Wiryo pura-pura tampak lemah. Akan tetapi rasa bangga Anna membuncah, Wiryo hanya menunjukkan hal-hal tertentu kepada orang-orang tertentu. Mungkin saja Anna salah satu dari orang tertentu tersebut.     

Yang kedua Anna tahu dia akan mendapatkan jabatan. Tentu saja Ini bukan jabatan sederhana, sebab di tangan Wiryo ada dokumen berlogo mengkilap penuh makna.     

"Apa yang kau inginkan dariku," Wiryo sekali lagi menatap Anna.     

"Apakah saya boleh mengatakan, em isi hati saya.. -yang sesungguhnya?" ada kekeh tawa yang dihadirkan lelaki paruh baya.     

"aku minta maaf, aku tidak bisa menjadikanmu istri Mahendra, walaupun sejujurnya aku setuju Kalau kamu bisa menjadi salah satu pendamping Mahendra. Aku selalu mengamati mu, kamu tulus melayani kebutuhan anak itu," Anna terbungkam seribu bahasa.     

Semua orang di rumah induk tahu, siapa yang merawat Hendra dalam kekacauan ditinggalkan istrinya. Yang menyiapkan bajunya tiap pagi, yang memastikan makanan penggugah selera dan jadwal makan tuan muda. Bahkan semua hal terutama terkait pekerjaan, Anna mengabdikan hidupnya pada Hendra, lelaki yang ingin dia rebut perhatiannya dengan segala cara, termasuk berupaya menjadikan dirinya mirip dengan istri Mahendra supaya pria itu senang, minimal melirik keberadaannya.     

"kenapa?" ujar Anna mempertanyakan kemustahilan dirinya menjadi pendamping Mahendra, walaupun dirinya tak dianggap pun tak masalah, Anna pernah mengutarakan hal ini kepada tetua Wiryo.     

"aku punya janji pada Aruna, kau tahu lelaki tua ini tidak pernah melanggar janjinya," kembali Anna menyuguhkan mata berkaca-kaca.     

"Sejujurnya aku menyesal dan minta maaf, tidak bisa melindungimu dari kekerasan yang kau dapat selama kamu pergi ke Milan," tutur Wiryo mengingatkan kisah pahit yang ditempuh Anna.     

"itu bukan salah ayah, aku pergi ke tempat itu atas keinginanku sendiri, Aku menyesal pergi meninggalkan Mahendra. Andaikan aku tahu kehidupanku setelahnya akan seperti itu, aku pasti memilih tinggal di sini. menjadikan diriku bahan uji coba penyembuhan Hendra -pun tak masalah. harusnya ku temani Hendra sampai sembuh dari traumanya," kali ini air mata yang hadir di pelupuk mata Anna, adalah air mata penyesalan yang terdalam. Kesedihan yang sesungguhnya, kekecewaan yang nyata, yang dia rutuki selama ini.     

Andai dia masih berkenan mendampingi Mahendra kala itu, tentu saja wanita yang saat ini dipeluk Hendra bukan gadis mungil yang tidak punya kapasitas penuh sebagai pendamping seorang yang disiapkan menjadi pemimpin.     

Anna lah yang disiapkan Wiryo sebagai pendamping Mahendra sejak kecil. Maka dari itu tidak heran, perempuan ini lebih bisa mencuri perhatian ketika menemani Hendra. Bahkan saat di dapuk sebagai sekretaris cucu Wiryo dan menemaninya di beberapa acara publik, gerak-geriknya mampu mencuri perhatian. Salah satunya kala simbolis peresmian Dream city, di mana dia hingga saat ini masih dipercaya sebagai tunangan Mahendra.     

"aku tidak bisa memberikanmu sesuatu yang sudah kau tinggalkan," maksud Wiryo berada di sisi Mahendra, "tapi aku bisa memberimu jabatan yang layak, kau ingin jadi General manajer?" Anna menggeleng.     

"aku dengar Mahendra mengembangkan start up istrinya, semua tahu istri Mahendra founder. barang tentu dia jadi pimpinan penting di sana, Aku mau setara dengan istri Mahendra," pinta Anna terang-terangan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.