Ciuman Pertama Aruna

III-172. Berawal Dari Bisikan (Menikah+)



III-172. Berawal Dari Bisikan (Menikah+)

0"aku dengar Mahendra mengembangkan perusahaan istrinya, dan istrinya menjadi founder maka barang tentu dia jadi pimpinan penting di sana, Aku mau setara dengan istri Mahendra," pinta Anna terang-terangan.     
0

"hahaha," Wiryo malah tertawa, tawanya menggelegar dan sedikit berair pada sudut matanya. "kau ingin jadi Founder? Yang benar saja Anna, kamu sudah mencetuskan apa?" di kala wajah gadis di hadapan Wiryo menunduk, dan menampakkan ekspresi malu. lelaki paruh baya tersebut membeku seribu bahasa. Dia menyadari sesuatu tentang istri Mahendra.     

"Berapa usiamu Anna?" celetuk Wiryo berikutnya.     

"Em.. Aku.. Em, sedikit di atas Hendra," jawaban ini membuat Wiryo terbungkam dalam lamunannya sendiri.     

"Kau tahu berapa usia Aruna?" kembali lelaki paruh baya tersebut bertanya.     

Mata Wiryo mengerjap. Bersama gerak-gerik Anna yang seolah enggan menjawabnya.     

"seingat saya dia menikah dengan Mahendra-" kalimat Anna diputus oleh Wiryo.     

"aku ingat dia bahkan belum mencapai usia 20 tahun saat menikah, Jadi sekarang anak itu masih 22 tahun," ada semburat rasa tertegun di raut wajah Wiryo.     

Lelaki paruh baya ini menyadari, dia tidak bisa membandingkan Anna dengan Aruna, atau membandingkan Aruna dengan perempuan lain yang terlihat lebih potensial darinya. Putri Lesmana masih sangat mudah, bahkan anak itu punya star up rintisan yang kini rencananya bakal dikembangkan oleh Mahendra. kabarnya Sang cucu bakal mengembangkan ide original tersebut untuk dikembangkan menjadi produk digital saingan Tarantula grup.     

Lagi-lagi Wiryo belum bicara, lelaki berumur tersebut sedang berpikir mendalam terkait sesuatu yang tidak dimengerti siapa pun termasuk perempuan yang kikuk di hadapanmu.     

"Aku akan memberimu mentari departemen Store," mata Anna lekas membulat lebar mendengar ucapan Wiryo. "2 tahun yang lalu mentari plaza sebagian penjualannya di ekspansi ke arah digital, walaupun belum 100% dampak keberhasilannya. Aku ingin tahu, Apakah kau bisa mengimbangi kemunculan makhluk baru di bawah naungan DM Group atau lebih tempatnya perusahaan yang dicetuskan oleh ide istri Mahendra dan teman-temannya, " titah Wiryo menantang Anna.     

"tapi, perusahaan itu sepertinya akan mendapat dukungan penuh dari Mahendra," lirih Anna, mengharap dirinya dimaklumi seandainya suatu saat nanti menemui kegagalan.     

"apa aku tidak cukup? Sebagai pendukung mu," Wiryo tersenyum, "perusahaan itu masih nol, bahkan namanya saja entah sudah ditemukan atau belum, sedangkan mentari departemen store telah berdiri bertahun-tahun, start langkahmu 20 tahun lebih dahulu daripada mainan yang baru dimulai oleh Aruna," Wiryo membuka dokumen berlambangkan panthera pardus.     

"sesuatu yang dimulai dari nol bisa gagal total oleh berbagai faktor, tapi mentari plaza adalah perusahaan yang sudah berjalan puluhan tahun, siapa yang lebih beruntung di sini?" Wiryo menatap Anna, menantang keyakinan perempuan tersebut.     

Akhirnya Anna mengganggu, dan gerak pulpen Wiryo menapaki dokumen, membuat hati Anna berdesir. Wiryo memutar dokumen tersebut diletakkan tepat di bawah wajah Anna. "kau pengelola utama mentari plaza, seharusnya jabatan ini lebih tinggi dari pada -sekelas founder"      

"Orang tua ini ingin melihat apakah anak kecil itu bisa mengimbangi mu," Anna mendekati dokumen yang melambangkan bahwa dirinya akan menjadi salah satu pimpinan anak perusahaan Djoyo Makmur Group, luar biasa dan di luar ekspektasi. Gadis yang tadinya menangis tersedu-sedu ini. Kini menampilkan senyum senangnya, walau pada akhirnya ia tutupi dengan ekspresi malu-malu.     

"Apa artinya saya mendapatkan saham dari perusahaan ini?" itu pertanyaan Anna berikutnya.     

"jangan rakus, Aku tidak suka pertanyaan," balas Wiryo dengan nada suara rendah mendesah tapi punya tekanan yang menakutkan.     

"maafkan saya tuan," karena rasa takutnya dia menyebut tetua dengan sebutan tuan. Semua orang tahu tidak akan ada yang diberi Wiryo saham sepeser pun, Anna cukup lancang.     

Kejadian yang lalu membuat Wiryo memilih memberikan gaji tinggi daripada memberi limpahan kepemilikan walaupun itu hanya 1%. Kumpulan Dewan di masa lalu yang sempat berhasrat menghancurkannya ialah orang-orang yang ia percaya.     

orang-orang yang diberikan sedikit saham karena kemampuannya memimpin anak perusahaan. gunanya supaya mereka ini bekerja dengan giat, dan tumbuh rasa kepemilikan, mengingat Wiryo belum memiliki keturunan yang tepat untuk menggantikan dirinya. Sayangnya, yang terjadi malah sebaliknya, mereka berkumpul untuk mengguncang stabilitas Djoyo Makmur Group.     

Jadi ucapan Anna kali ini sangat tidak disukai Wiryo, "keluarlah dari kamar ini sebelum aku berubah pikiran," mendengar ungkapan Wiryo, Anna yang sempat meraba-raba dokumen berharga atas nama dirinya. Kini bangkit menundukkan kepala dan lekas keluar dari kamar utama rumah induk.     

"mengapa anda terkesan lumpuh di luar sana?" Wiryo menatap dengan ekspresi enggan. Dan Anna menunduk berulang undur diri.     

***     

Pria ini memutuskan tidak akan memejamkan matanya semalaman. mengusung beberapa buku di atas ranjang dan Beberapa kali kedapatan berhenti membaca hanya untuk memeriksa denyut nadi. Atau sekedar mengganti kompres sang istri.     

Ketika jam dinding mengarah pukul 3 pagi, pintu kamar terketuk.     

"Hendra, Aku tahu istrimu sakit, dan aku tahu kau tidak akan bisa tidur karena nya," minuman hangat serta camilan menggugah selera tersaji di atas nampan. Perempuan bermata bulat itu menatap penuh wajah Mahendra.     

Mengetahui Mahendra benar-benar terjaga untuk istrinya ada detak jantung yang membuncah di dada. Perempuan penyaji teko berisi minuman hangat tersebut menarik bibirnya lurus.     

"terima kasih," Mahendra meraih nampan tersebut dan membawanya masuk, giliran Mahendra menutup pintu dia merasakan ada sedikit dorongan, "Ada apa lagi?" ujar Mahendra memunculkan sedikit kepalanya di sela pintu ukir.     

"Apa aku boleh membantu merawat istrimu?" perempuan yang saat ini membulatkan matanya. Berbinar menatap Mahendra.     

"tidak perlu, Aruna tak akan suka kamarnya dimasuki orang lain," perempuan itu mengangguk ringan. Mahendra mengunci rapat pintu kamarnya seperti titah istrinya akhir-akhir ini.     

Lelaki bermata biru meletakkan nampan di atas meja. Ia mengamatinya, lalu terusik menikmatinya, rasa lelah terjaga semalaman sedikit mereda oleh bau minuman hangat, kebugarannya seolah kembali. Bulir-bulir keringat di tubuhnya sempat muncul, mungkin ini efek dari minum minuman hangat.     

Hendra kembali berjalan menapaki ranjang, ia mendekati tubuh istrinya yang konsisten hangat dan terpejam. Pria ini membaringkan tubuhnya di belakang punggung perempuannya. Memeluknya dari belakang. Bersama denting jam yang berpindah dari satu angka ke angka yang lainnya, rasa gerah itu semakin menjadi-jadi. Hingga Mahendra merasa perlu melepas bajunya, lalu laki-laki ini kian hasrat ingin memeluki dan berakhir mendorong tubuh perempuan yang dia tahu tengah sakit tersebut, di balik ke arahnya.     

"maafkan aku sayang," berawal dari bisikan, Hendra tidak bisa memahami apa yang terjadi pada tubuhnya sendiri. Dia menginginkan Aruna saat ini juga. Pria yang sudah sejak tadi melepas piyama yang ia kenakan. Kini bukan sekedar menyusuri leher perempuan, dia menggigit telinga, dan mulai membuka mulut untuk di sesap.     

"Hen.." hingga perempuan tersebut terbangun, mengusap wajah yang berada di atas tubuhnya. Mahendra berpeluh peluh.     

"Aku minta maaf, Aku benar-benar menginginkan mu," nafasnya naik turun seperti tengah merintih.     

Aruna mengangguk ringan, lekas tubuh hangat tersebut dilucuti suaminya. Entah apa yang terjadi, Mahendra sendiri merasa dirinya sedikit gila. Namun hasrat di dalam dirinya tak bisa dikendalikan.     

Tubuh hangat terbuka tersebut, mendorongnya untuk di kecapi. Pria ini bahkan tidak tanggung-tanggung lagi, ia berharap istrinya segera bisa menyambut dirinya.     

Perempuan ini memeluk erat, pria yang tiba-tiba rakus melebihi biasanya. "Hen.. pelan-pelan," Mahendra mengusahakan secepat mungkin si perempuan bisa menyambut miliknya dan tak mau berkompromi lagi.     

Aruna hanya bisa memejamkan mata, sambil mengelus lengan pria yang kini merengkuh nikmatnya. "Aah.. Hen.. pelankan sedikit," kalimat yang sama sering dilontarkan Aruna, ketika perempuan mungil yang sedang berjuang melawan sakit flu tersebut harus menuruti keinginan suaminya.     

"aku minta maaf, aku tidak bisa menahan diriku," Mahendra beberapa kali terdengar memohon, bahkan kadang kala merintih seolah tengah tersiksa oleh dirinya sendiri.     

"tak apa, kemarilah sayang," pria ini bergerak sambil mendapat pelukan tubuh hangat. Sesekali ketika kesadaran mata biru penuh, dia berkenan memelankan gerakannya. Namun anehnya Mahendra merasa dirinya tak ingin berhenti, "ingat aku hamil, masih semester pertama, baby tak bisa mendapatkan.. Aargh.. jangan terlalu kuat, uuh.." pria ini mengangguk berulang akan tetapi ia tak bisa menurunkan ritmenya.     

"Hendra Pegang perutku!"     

"Hendra! ingat baby, tak apa.. tak masalah denganku.. tapi Argh.." sulit di percaya Hendra tak seperti biasanya, dia benar-benar memenuhi segala imajinasi liar di kepalanya. Aruna tak henti memberi peringatan dengan mengusung ujaran yang sama. Kala suaminya mengguncang tubuhnya terlalu hebat.     

Pagi itu berakhir dengan kegelisahan... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.