Ciuman Pertama Aruna

III-175. Panik



III-175. Panik

"Kalian menemukan sesuatu?" ujar Mahendra yang kini merangkul pundak Herry.     

"Kami ingin membuat laporan, tim menunggu Anda di ruang kerja, tuan" mendengar ucapan tersebut, Mahendra malah menghentikan langkahnya. Lelaki bermata biru tersebut mendapati seseorang berjalan cepat melewati dirinya. Membawa kotak besar yang ia duga transducer.     

"Herry, beritahukan teman-temanmu untuk istirahat aku belum bisa menemui kalian, maafkan aku," ucap Hendra, membuat tepukan ringan di bahu Herry.     

"Tuan, apakah kami perlu menginformasikan temuan kami kepada divisi lantai D?" Hendra menggelengkan kepala.     

"Kami kurang nyaman sebab kami di sinyalir membuat gerakan sendiri," ujar Herry.     

"Bocornya informasi, di temukannya Thomas, dan mereka tidak memberitahukan kepada ku secara langsung. akan menjadi senjata ku guna mempertahankan keberadaan kalian,"     

_Aku butuh Bhayangkara seperti Gajahmada bekerja di bawah komando sang raja_ gumaman Mahendra menguatkan sudut pandangnya sendiri dalam mempertahankan keberadaan Black Pardus, Yakni sekelompok ajudan yang bekerja secara langsung di bawah kendalinya.     

"Baik tuan, " hanya hal itu yang bisa di suarakan Herry, pria ini selalu konsisten menuruti apa yang menjadi keputusan tuannya.     

.     

Seiring diizinkannya dokter dan asistennya masuk ke dalam kamar pribadinya oleh sang istri. Mendorong Mahendra bergerak cepat menyusul langkah kaki dokter.     

Aruna tersenyum ringan melihat kedatangan dokter. perempuan yang baru saja disisir rambutnya oleh Ratna, bangkit dari duduknya. Masih dengan Bantuan Ratna Aruna bergerak menuju ranjangnya.     

Di sisi lain asisten sang dokter mulai menyiapkan peralatan yang diinginkan pasiennya. Seiring dengan percakapan ringan yang di usung dokter kandungan, Aruna mengeluhkan nyeri punggung dan rasa terkejutnya mendapati kram perut. Dan Ibu hamil tersebut di minta berbaring.     

Selepas pengukuran tensi darah serta suhu tubuh, dokter mulai melumas-kan gel untuk pemeriksaan USG. Mahendra yang dari tadi duduk tenang mengamati istrinya dari tepian ranjang sisi lain bergerak mendekat menuju layar.     

"mengapa kalian curang sekali, kalau ada dokter yang datang dan memeriksa cicit ku, harusnya oma diberitahu," Sukma yang tiba-tiba masuk kamar sambil mengusung ekspresi tidak terima, membuat sekelompok orang tak bisa menahan senyumnya.     

"Coba anda mendekat," pinta dokter pada Mahendra yang menatap layar seolah enggan berkedip, "lihatlah dia bergerak, sangat lambat memang," ujar sang dokter.     

Aruna ikut menoleh melihat si kecil yang benar-benar masih sangat kecil. Namun di sana, di layar tersebut seorang ibu bisa melihat janin di dalam kandungannya sebesar seukuran jeruk nipis, janinnya sudah tampak membentuk kepala dan kaki mungil.     

Mata coklat tersebut memerah sebab terharu. Sama seperti Mahendra, setelah ia mengamati janinnya, mulut calon ayah  tersebut terbungkam seribu bahasa. Dia mundur dan duduk di dekat kaki istrinya. Mahendra kesulitan menatap mata istrinya. Itu yang sering ia tunjukkan ketika rasa menyesal menggerogoti dirinya.     

"Boleh buat Oma fotonya? Satu saja," Aruna yang terbaring menarik lurus bibirnya hingga gigi perempuan tersebut terlihat. Oma keluar kamar di liputi perasaan bangga, anehnya dia berteriak, tanda terkejut dan hampir menjatuhkan foto janin di tangannya. Foto itu di tarik Wiryo dari tangan Sukma. Lelaki paruh baya yang belum mampu berdamai dengan istrinya bertemu mata setelah hampir seminggu di tinggal tidur sendirian.     

"Mengapa janinnya masih sekecil ini?" Wiryo punya prediksi berbeda dengan perkiraan usia kandungan Aruna. Dia pernah di tipu beberapa saat sebelum Aruna ketahuan benar-benar hamil.     

Dengan nada perintah, Wiryo meminta Andos mendorong pintu kamar cucunya lebih lebar.     

"Kau melewatkan janjimu," Desah Wiryo mendapati Aruna yang baru saja selesai menjalankan USG.     

"Oh, Opa.." Aruna berusaha bangkit.     

"Buat apa anda kesini?" kalimat tanya bernada menyebalkan di utarakan Mahendra sambil berdiri memastikan Aruna tetap terbaring tenang. sayang sekali, istri Mahendra malah duduk dan menyambut kedatangan Wiryo dengan salam hangat. "Terima kasih sudah mengunjungi saya Opa?" Aruna ingat dengan janjinya terkait Wiryo yang berkehendak ikut serta ketika jadwal pemeriksaan baby.     

Wiryo tersenyum kecil, menatap Aruna sesaat. "Apa ukuran janin sudah sesuai usianya?" ungkapan ini berasal dari kalimat Wiryo. Aruna yang polos dan jarang sekali menjalankan kebohongan tak bisa berbuat banyak, dia benar-benar merinding seketika. Panik, takut ketahuan bahwa usia kandungan tak sesuai dengan kebohongannya pada tetua keluarga Djoyodiningrat.     

"Apakah jenis kelaminnya sudah dapat di ketahui?" Tanya Wiryo sekali lagi kepada sang dokter. Padahal dokter belum sempat menjawab pertanyaan pertama darinya.     

"Aah.." ibu hamil panik tersebut merasakan rasa sakit sekali lagi, panik bisa memicu sakit perut.     

Ya, perutnya terasa tak nyaman dan melilit, seolah betul-betul diremas oleh kecemasan.     

"Wiryo keluarlah!" Sukma datang sekonyong-konyong, merebut foto janin yang sempat di ambil Wiryo. Perempuan paruh baya tersebut begitu kalut melihat keluhan yang di tunjukkan Aruna, ibu hamil yang memegangi perutnya.     

"Tolonglah! Buat istriku tenang, jangan bikin aku frustrasi hari ini," Ujar Mahendra, yang sejak pagi di siksa oleh rasa bersalahnya sendiri.     

.     

Kamar itu akhirnya kosong menyisakan Aruna yang terpejam setelah di tenangkan Oma Sukma. Nenek-nenek ini mengelus berulang perut Aruna. Bahkan membuat lelucon kecil yang kadang tidak lucu, namun Aruna menyadari hal tersebut menghibur sekali. Sebab Sukma penuh cinta terhadapnya.     

Hendra tidak bisa bicara bebas dengan sang dokter ketika di hadapan istrinya. Giliran mengantar pulang, lorong-lorong rumah induk yang dia lewati menjadi saksi betapa dirinya sebagai calon ayah menghujani sang dokter dengan berbagai pertanyaan.     

"Dia kram tadi pagi, itu pertama kalinya. Istriku merintih terlihat sangat ketakutan, " ujar mata biru menghentikan langkah kaki dokter.     

"Ibu hamil sering mengalami hal tersebut, nanti ketika kandungannya cukup besar, bisa jadi bukan hanya kram perut, kram kaki lebih sering di alami, yang terpenting jaga, jangan sampai terlalu capek apalagi dihadapkan dengan kondisi resah. Bahagia saat hamil sangat penting," monolog Dokter tidak memuaskan terlalu prosedural di benak Mahendra.     

"Apakah hubungan suami istri, bisa jadi pemicunya?" Hendra penasaran, dia sadar perbuatannya cukup meresahkan, "istriku hamil dalam kondisi yang tidak baik, dia baru sembuh dari tragedi hebat, dan banyak hal yang tak menyenangkan dia alami" kalimat Mahendra semacam kalimat ratapan dan penyesalan yang teraduk jadi satu.     

"untuk ibu hamil dengan riwayat kram perut sangat di sarankan mengurangi aktivitas suami istri yang berlebih, atau tahan dulu sampai memasuki trimester berikutnya, lebih baik lagi bicara dan pastikan istri anda nyaman sebelum melakukan hubungan intim dan rileks sebelumnya," dokter tersebut menarik bibirnya.     

.     

.     

"Hendra.."     

"Hem.."     

"Aku mau ke kampus,"     

"minum obatmu dulu," Hendra mengaduk campuran air beraroma jahe dan jeruk lemon hangat.     

"ini bukan obat?" Aruna merasa aneh ketika lelaki tersebut tidak memberikannya tablet -obat pereda flu- dari dokter. Aruna sudah minum vitaminnya, namun tidak dengan obat tersebut.     

"Tidak.. baby tidak di izinkan minum obat mengandung bahan kimia," tukas mata biru menyerahkan minuman racikannya sendiri.     

"Bukan kah itu saran dokter," Aruna mencium Aromanya lalu memandangi mata biru.     

"Bukan saran ku" terdengar angkuh, Hendra duduk di hadapannya. Di hadapan Aruna yang susah payah menelan apa yang di sodorkan suaminya.     

"Hen.. setelah ini kita berangkat ya?" ada kening mengerut.     

"Kemana?"     

"Kenapa kau bertanya?" suara Aruna bernada kekecewaan. "Bagaimana kamu lupa? Aku sudah izin pada mu kemarin?"     

"Bagaimana bisa kau minta aku mengizinkan mu? Dengan kondisi mu yang seperti ini??" Nada suara Mahendra naik turun meredam diri. Berusaha tetap tenang. Sebab Aruna sudah menunjukkan gelagat ingin marah.     

"kita sudah membicarakan ini kemarin, Hendra! "     

"tapi kondisimu memburuk hari ini!" sempat ada nada meninggi yang lagi-lagi di tekan dan tertelan kembali.     

"siapa yang membuatnya memburuk? Aku kah? apa aku yang punya sedikit keinginan ini," dia menghela nafas, "masih tampak menyulitkan untukmu?!" Aruna marah pada akhirnya.     

"Aruna.." Hendra memanggil nama istrinya supaya ingat ini semua demi kebaikan Aruna sendiri.      

"Apa aku pernah menolak mu? " emosi ibu hamil yang tak stabil menjadikan Aruna kehilangan kendali.     

"Aku terima tanpa protes sedikit pun saat kamu mengharap hasrat mu terpenuhi, Hendra!" dia menatap tajam suaminya.     

"Aruna jangan berkata seperti itu please!" mata biru tersembunyi di dalam pelupuk yang menutup rapat, sejenak.     

"Kenapa? Kamu baru sadar sekarang, kalau kamu semalam menyiksa ku dan baby? Sekarang kau juga ingin menyiksaku dengan aturan-aturan mu??" dia meledakan rasa lelahnya.     

"Hentikan, atau kamu.."     

"Apa??"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.