Ciuman Pertama Aruna

III-176. Tentu



III-176. Tentu

0"Aruna jangan berkata seperti itu please!" mata biru tersembunyi di dalam pelupuk yang menutup rapat, sejenak.     
0

"Kenapa? Kamu baru sadar sekarang, kalau kamu semalam menyiksa ku dan baby? Sekarang kau juga ingin menyiksaku dengan aturan-aturan mu??" dia meledakkan rasa lelahnya.     

"Hentikan, atau kamu.."     

"Apa??" Suara Aruna mendesak dan berwujud Amarah.     

Di sisi lain Hendra mengunci mulutnya, dia meraih gelas Aruna. Lalu berjalan ringan menuju arah keluar kamar. Entah apa isi kepala Aruna. Perempuan tersebut berlari lebih cepat lalu membuka pintu lebar-lebar, memastikan dirinya berada di luar.     

Mahendra mengerutkan keningnya.     

"Apa kau berpikir aku akan menguncimu?" kalimat tanya ini menandakan kekecewaan.     

"Kamu bisa melakukan apa pun, bukan -kah, kamu pandai mengekang ku?" Hendra yang keluar sambil membawa nampan bekas makan istrinya di mana di atasnya menyajikan beberapa peralatan makan yang berisi sisa makanan. Hampir tak tahan mendengar ucapan Aruna. Mata biru berasa ingin membanting nampan tersebut.     

"Aku keluar mencari udara segar, aku keluar supaya.. huuuh.. minimal salah satu dari kita bisa mengurai kemarahan, sadar tidak?! Hari ini pertama kalinya kau membentakku!" tangan Mahendra bergetar. Lelaki yang lahir sebagai pewaris tunggal ini tidak pernah menerima kata-kata kasar dari perempuan. Satu-satunya yang berani berdebat dengannya hanya kakeknya seorang. Dia kecewa, keinginannya tidak dituruti dan malah mendengarkan ungkapan kemarahan.     

"Tuan biar saya," Tika yang datang sebab sebelumnya dipanggil oleh Aruna. Seperti biasa bertugas merias sang nona. Tampak gugup bukan main, setelah mengetahui Ada yang bertengkar di hadapannya.     

"tak usah Tika, ikut aku ke dalam!" monolog yang barusan diujarkan Mahendra, membuat Aruna mengurungkan niatnya adu mulut.     

Nona muda ini berjalan masuk ke dalam kamarnya kembali, Tika yang kebingungan memilih mengikuti Aruna.     

Berbeda dengan Aruna yang mulai menikmati polesan riasan. Mahendra meletakkan nampan di pantry utama Rumah induk dengan kasar. Suara gelas yang menumpahkan air turut serta membuat panik asisten yang biasanya stand by di pantry.     

Tak ada yang berani mendekati tuan muda marah tersebut. Semua orang di rumah induk tahu, walaupun dia jarang marah, sekalinya dia marah seisi rumah bisa kacau. Dia pernah marah dengan kakeknya, dan menghajar semua ajudan yang dikerahkan tetua Wiryo. Malam pengantinnya yang berakhir mengerikan. Mendorong semua penghuni rumah induk, lebih waspada menghadapi tuan muda yang dulunya terlihat jarang bicara, cuek termasuk jarang pulang sebab memilih tinggal di kamar hotel yang satu lokasi dengan kantorannya.     

Kala muka muram tersebut, mendapatkan senyuman. Mantan sekretarisnya meletakkan air putih, "minum dulu, mengapa ekspresimu seburuk ini?" Anna duduk di hadapan Mahendra, pada meja panjang pembatas pantry.     

"Hah! Tak usah bertanya," Hendra menolak air yang disodorkan Nana.     

"bersabarlah Hendra, yang kamu hadapi ibu hamil, emosinya tidak stabil," suara Gayatri menenangkan. Berkedip menatap putranya dari arah samping. Hendra mengingat malam yang terjadi seminggu sebelumnya, ketika dirinya dan Gayatri memberi kesempatan satu sama lain untuk bicara lebih banyak.     

"Nana, tolong singkirkan nampan ini," pinta Gayatri. Dan perempuan yang tadinya duduk nyaman di hadapan Mahendra dengan terpaksa mengundurkan nampan bekas makan.     

"Aruna ingin menemui teman-temannya, dengan kondisi seperti itu," kalimatnya Mahendra disambut dengan mata berbinar termasuk senyum mengembang. Putra Gayatri berkenan menumpahkan gundah-gulana kepada ibunya.     

"dia sendiri yang paling bisa mengukur kekuatan nya, bukan kamu," sebaik mungkin Gayatri merajut komunikasi. Dia bahkan berusaha menyembunyikan rasa gugup yang konsisten menyerang dirinya kala berada di sekitar Mahendra.     

"aku merelakan diriku, menutup mata dengan semua pekerjaan, membuat banyak orang terjebak kesulitan, demi dia, demi kesembuhannya, Apa itu tidak cukup?" kepala Hendra terbang ke kantor pusat DM Group. Mengingat deretan pesan yang dikirim Surya kala sahabatnya tersebut tak bisa membuat keputusan penting. Termasuk ungkapan kekecewaan beberapa kolega, yang tak bisa menemuinya secara langsung.     

"sekarang apa yang paling Anda inginkan?" kalimat Gayatri terdengar sangat sopan, "kesembuhan Aruna bukan?" intonasi suaranya merendah, "bisa jadi membuatnya bahagia, dengan menikmati hal-hal menyenangkan. Membuatnya cepat pulih, bangkit dari kejadian buruk yang menimpanya," Gayatri berusaha menyentuh hati Mahendra. Mata biru yang awalnya menatap lurus ke arah berbeda. Kini bertemu mata dengan ibunya. "Andai Anda bisa merasakan perasaan ibu hamil, mommy yakin, anda tak mampu marah pada Aruna," Nana sudah duduk kembali di hadapan Mahendra.     

"kalau aku boleh bicara, saya yakin semua ini karena nona masih kekanak-kanakan, jadi dia.."     

"tepat," kata ini memotong monolog Nana, Gayatri hampir mustahil memotong pembicaraan orang lain. Tapi tidak untuk detik ini.     

"istri Anda masih muda, tergolong sangat muda, lihatlah teman-teman seusianya, saat ini teman-teman seusianya tengah asik jalan-jalan, atau menikmati masa-masa kuliah, sedangkan Aruna kita, dia harus di hadapan kan dengan mengandungnya.." Hendra tak lagi mendengarkan ucapan mommy-nya. Akan tetapi Gayatri tidak berkecil hati kali ini. Sebab Hendra, meninggalkannya setelah dia merasa cukup menangkap pesan ibunya. Gayatri berbangga, ucapannya bisa menyentuh hati putranya.     

"Susi, antar aku ke dokter Diana," ucap Gayatri menunjukkan ekspresi semangat.     

"jadwal Anda masih besok nyonya," Suara Susi berasal dari telepon seluler.     

"Aku ingin menemuinya sebagai rekan, bukan pasien,"     

.     

.     

"Herry, tolong siapkan mobil paling nyaman untukku dan istriku," Herry paham kalau sudah kata nyaman yang dikeluarkan tuannya. Artinya dia menginginkan Maybach 62s melengkapi perjalanannya. Seperti ketika lelaki bermata biru mengamankan istrinya selepas keluar dari sidang perceraian mereka yang ricuh.     

.     

Tanpa disadari Aruna, Mahendra menyiapkan dirinya sendiri. Dia berjalan keluar masuk kamar kala istrinya sibuk memilih pakaian.     

.     

.     

"sudah siap?" Aruna hampir tersentak, ketika ia menuruni tangga suaminya bersiap menunggu kehadirannya.     

"apa kita sudah baikan?" kalimat ini mengikis kebekuan yang hadir di antara langkah dua orang menelusuri rumah induk, menuju pintu keluar.     

"emang.. Apa yang terjadi?" Hendra melirik sejenak istrinya, lalu mengusap rambut perempuan mungil tersebut.     

"aku pikir kita marahan,"     

"kita sedang menambah bumbu penyedap,"     

"apa maksudnya?" sarkas Hendra, kadang terlalu di luar jangkauan daya pikir Aruna.     

"katanya, kalau suami istri tidak pernah bertengkar, artinya pernikahan kita kurang bumbu,"     

"kok aku baru dengar? Jangan-jangan itu teori mu sendiri," Mahendra menggaruk sudut lehernya, selepas mendengarkan ucapan Aruna. Sejak pagi semuanya serba salah.     

_Ingat.. Aruna ibu hamil_ Mahendra mendesahkan nafas berupaya menjaga emosinya.     

.     

.     

Maybach baru saja melewati graha utama kampus Tripusaka, kampus istrinya yang saat ini penuh dengan gelombang manusia. Terutama di seputar graha tersebut. Hari ini, hari wisuda gelombang terakhir.     

Mahendra mencengkeram lengan Aruna, setelah istrinya berbinar menatap keberadaan perempuan yang sering dipanggil ibu HRD oleh Damar. Bahkan salah satu temannya Agus, termasuk kumpulan teman nongkrong Damar yang terakhir ia temui di cafe milik Damar, Datang satu persatu.     

Hendra menggelengkan kepala, "keluar di saat yang tepat, di luar panas, temanmu masih prosesi wisuda, jadi temui dia ketika dia sudah ada di sana," Aruna hanya bisa menekuk mulutnya.     

Kedua telapak tangan perempuan ini bahkan menyentuh jendela mobil, tatkala se-gerombolan anak muda menggiring tawa mereka menuju hamparan rumput yang biasa digunakan sebagai alas duduk.     

Dea, Laras dan Lily pun sudah datang. Mereka terlihat sedang bercanda, sebab ekspresi tawanya bisa ditangkap Aruna.     

"aku belum boleh keluar?" sekali lagi izin tersebut belum mendapatkan kata 'iya'. Mahendra konsisten menggelengkan kepala.     

"sampai Damar keluar, tujuanmu bertemu Damar, -kan," mendengar titah Mahendra, Aruna hanya bisa mengangguk.     

.     

"mengapa kamu ingin sekali bertemu Damar?" pria yang hatinya saat ini telah berdesir hebat. Sebab lama-kelamaan kenyataan ia tak bisa menyembunyikan rasa cemburunya yang entah bagaimana belum mau pergi menjauh.     

Terlebih ketika menangkap gerak-gerik Aruna yang ingin bergabung bersama teman-temannya daripada berada di dalam mobil bersama dirinya.     

Mahendra bukan cemburu pada sosok Damar. Dia lebih tersiksa sebab kehidupan pernikahan yang ia suguhkan tak seindah apa yang terlihat di luar sana.     

Andai Aruna benar-benar ia lepas kala itu, sangat mungkin perempuan tersebut detik ini akan tertawa ringan bersama teman-temannya dengan alas rumput di ujung sana. Jauh sekali dengan dirinya sendiri yang hampir mustahil duduk di atas rumput tanpa dilapisi alas lain.     

"aku belum mengucapkan Terima kasih dengan benar pada Damar, terakhir kali melihatnya, dia dikepung para pemburu berita setelah keluar dari sidang perceraian kita. Aku ingin hatinya lega, dia pelu tahu, em.. aku bahagia bersamamu," monolog Aruna membuat Mahendra menjerat kuat pegangan kursinya.     

"Huuh.." ada nafas berat yang terbit dari bibir seorang lelaki, "kau bahagia bersamaku?"     

"Tentu,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.