Ciuman Pertama Aruna

III-178. Memburu Pemuda Jahil



III-178. Memburu Pemuda Jahil

0"Jangan memeluk ibu hamil sembarangan," Mahendra menampakkan senyum manis dengan lesung pipi yang sengaja dia tunjukkan, matanya ikut-ikutan menyipit. Mahendra tersenyum terlalu berlebihan.     
0

Lelaki bermata biru ingin memamerkan keberadaan buah cintanya di dalam perut Aruna. Mahendra menangkap pinggang istrinya, memeluk dan mengelus lembut perut sang istri.      

"Cih!" cela Damar melihat perilaku Mahendra yang jelas-jelas ingin menunjukkan kemenangannya sebagai suami Aruna.     

"Hen.. sudah, Ah' " Aruna memerah karena malu.     

Damar bergantian memeluk teman-temannya yang lain, kalimat selamat hadir menghujani pemuda tersebut. Beberapa foto diambil, di mana Aruna ikut serta bergabung bersama teman-temannya. Mendorong Alvin yang mengekori dirinya dengan payung.     

"Ih' tutup payungnya, atau gunakan saja sendiri!" gerutu Aruna pada ajudan Alvin.      

"Nona, sore ini cukup panas," bujuk Alvin.      

"Aku tidak akan mati sebab sengatan matahari," melihat Aruna yang kesal dengan keberadaan payung peneduh. Alvin terpaksa menutupnya lalu menurunkan payung dari tangannya. Hendra pun juga sama, ikut-ikutan meminta payung di atas kepalanya segera diturunkan.     

"Apa.. menghalau panas, -Memalukan?" tanya Tuan muda Djoyodiningrat.     

"Entahlah Tuan," ajudan Mahendra sama tidak pahamnya dengan pola pikir Nona-nya.      

.      

"Aruna.. kemarilah!" Aruna yang berdiri di ujung paling tepi, ketika pengambilan sesi foto bersama -yang pandu oleh bang Bay- perempuan tersebut mendapat panggilan dari Damar. Pemuda jangkung tersebut terlihat santai, meminta Aruna berada di dekatnya.     

Tampaknya Damar memang sedikit berbeda dari kebanyakan teman-teman Aruna yang terlihat kurang nyaman diperhatikan lelaki bermata biru.      

Bisa jadi karena pemuda ini sudah pernah baku hantam bahkan mengetahui kelemahan yang diidap mata biru. Di dalam benak Damar salah satu faktor yang membuat Aruna harus memilihnya, dia bisa kesulitan bernafas andai istrinya benar-benar pergi meninggalkannya.     

Detik ini, kala sesi foto yang menyajikan 2 baris, di mana yang satu baris berjongkok di muka sedangkan baris satunya berdiri, dan tepat di tengah-tengah mereka terdapat Aruna serta Damar.     

Tiba-tiba celah di antara Damar dan Aruna menyusup lelaki tinggi tegap. Sampai-sampai foto yang ditangkap bang Bay bukannya foto indah berhiaskan senyum melainkan dua mata pria yang saling mengancam satu sama lain.      

"Danu! Dan kau yang tinggi, hadap kemari! Atau hasilnya tak akan memuaskan!" tampaknya bang Bay kesal. 2 orang yang di belakang sulit sekali menunjukkan ekspresi memuaskan.      

"Kau! Yang matanya biru, berdirilah di belakang Aruna!, nah seperti itu, kamu tetap kelihatan," teriakan bang Bay, sejalan dengan mengambil foto.     

Mahendra yang berdiri di belakang istrinya, kedapatan memegang bahu perempuan mungil tersebut. Dia tidak begitu fokus pada kamera, lebih banyak menghabiskan waktu waspada dengan gerak-gerik Damar yang ingin menyentuh istrinya.      

.     

.     

"Gus foto -in kami dong," setelah beberapa orang undur diri menyisakan sekelompok kecil tim surat ajaib dan tentu saja Mahendra yang tidak pernah lepas mengawasi istrinya.      

 Damar berharap foto berdua saja dengan  Aruna.      

"Foto ini bakal membungkus rasa bahagia ku," bersama senyumnya yang kadang terlihat main-main, Damar mendorong Aruna mengiyakan permintaan nya.      

Sekali lagi robot penjaga itu mendekati mereka, "Aduuh! Bisa nggak, sedetik aja aku pinjam istrimu," keluh Damar.      

"NO!" tegas menyingkirkan tangan Damar dari bahu Aruna.     

"Jadi nggak nih!" Agus mulai bosan menunggu selesainya perdebatan.      

"Kita foto bertiga saja," Aruna tersenyum pada keduanya, menautkan lengannya di masing-masing lengan laki-laki yang berdiri tepat di kanan kirinya.     

"One two Three, cheese..!" Agus memencet kamera.      

"Sekali lagi ya, gaya yang lain!" sang fotografer memberi petunjuk.     

Damar melepas lengan -nya dari tangan Aruna. Kemudian pemuda tersebut berniat merangkul punggung sang rona kemerahan. Secara spontan, lelaki bermata biru mengangkat lengan memastikan Damar yang berkeinginan memeluk punggung istrinya, hanya mendapati lengannya (Hendra) yang terselip diantara niat seorang pemuda merengkuh punggung istrinya.      

"Hais!" lagi-lagi Damar mendesis, bukankah mereka bertiga sudah jadi teman baik saat ini?. Sepelit itu kah Mahendra tak mengijinkan Aruna tersentuh sejengkal pun.      

"Agus! Ambil foto cepat dan beruntun, ya!" pinta Damar setelah sesi foto bertiga tersebut menghadirkan rasa kesal di hati.      

"oke?!" Agus mengangguk.     

"Go!".     

"Muach.." secara mengejutkan kecupan lembut mendarat di pipi Aruna.      

Dan detik berikutnya, suara kemarahan Mahendra melengking di telinga.      

"SIAL!!" lelaki bermata biru memburu larinya pemuda yang tertawa terbahak-bahak. Ia melangkah kencang mengitari rerumputan pelataran kampus. Toga-nya jatuh dan diabaikan,  balutan baju hitam yang masih membungkus Damar berkibar-kibar membuat adegan berlarian tersebut terlihat dramatis bercampur menggelikan.      

"Hahaha.." Lily tak bisa menghindari tawanya, "Damar larinya yang kencang.." Lily ikut bahagia akhirnya suami Aruna yang posesif bin suka menakut-nakuti dirinya kena batu juga.      

"Damar Ayo.." Dea bertepuk tangan menyemangati pemuda yang di buru bos suaminya, bos yang hobi beri jadwal lebur.      

"Bro.. ayo bro ha-ha-ha.." yang lain ikut bersemangat mendukung pemuda yang meliuk-liuk mengelilingi plataran kampus. Seperti dua bocah yang bermain kejar-kejaran, buket bunga yang jatuh dari genggaman Damar. Diraih Mahendra, di ujung sana terlihat Hendra beberapa kali berhasil memukul kepala Damar menggunakan buket bunganya sendiri.      

"Tuan.. apa anda butuh bantuan?" suara Herry mencuri perhatian.      

"Ih! Apaan sih!" Hina Lily, menatap Herry, mengisyaratkan sebuah makna, "Please deh! ini cuma main-main, "     

"Tuan izinkan kami membantu Anda," suara Agus terbit mengutarakan isi hati ajudan suami Aruna, sungguh menyebalkan sindiran Agus, Dan ia benar-benar didekati Alvin.      

Damar yang kehabisan langkah, membelok arah, ia berlari menuju kerumunan teman-temannya..      

Tanpa berpikir panjang, ia meraih tubuh aruna, bersembunyi di balik punggung perempuan mungil tersebut.      

"Aruna lindungi aku!" suara nafas keduanya terdengar ngos-ngosan di telinga Aruna. Suara mereka Naik turun tidak ada yang mau mengalah, sehingga tubuh mungil tersebut bergeser digerakkan Damar dari belakang supaya tidak tertangkap Mahendra.      

"Sudah.. sudah!" Aruna menghalangi lengan Mahendra yang berniat meraih baju Damar.      

"Hendra Sudah!" tampaknya yang bersikukuh tak mau melepaskan buruannya adalah mata biru.      

"Kamu bisa menciumku nih! kalau kamu tak terima sama kejahilan Damar, cium pipiku, nih! berulang kali, beres.. iya kan?" tawar Aruna meredam kemarahan mata biru.      

Rayuan Aruna berhasil, Hendra mau menghentikan berhasratnya menjerat Damar.      

"You..! buka matamu!" kemudian lesung pipi Mahendra hadir, tepat sebelum dia meraih dagu istrinya dan menyesap bibir perempuan.      

"Hais! Argh!!" Damar berteriak kesal.      

Hendra menemukan kesadarannya. Melepas tautan bibirnya, lalu memeluk tubuh istrinya dari samping.     

Kejadian konyol ini bikin geli bercampur merah padam. Aruna benar-benar di belenggu pria posesif. Akan tetapi, tak ada yang bisa memungkiri, lelaki campuran Jawa England tersebut menunjukkan ekspresi cinta yang teramat besar pada tiap-tiap tindakannya.      

.     

.     

"Aku reservasi rumah makan di sekitar sini, sebenarnya.. em, cafe ku," pinta Damar setelah mendapati gerak-gerik suami Aruna yang ingin undur diri.      

"Sorry, Aruna belum mampu beraktivitas terlalu lama, em.. kau tahu ibu hamil?" monolog Mahendra ramah.      

Damar mengangguk, "Semester pertama?" Tanya Damar berikutnya.      

"Yah.." jawab Hendra. Menatap pemuda yang melihat keberadaan Aruna. Perempuan tersebut bercakap-cakap dengan Dea dan yang lain. Tampaknya dia tengah berpamitan.      

"Kau, em.. aku tidak pandai bicara," ujar Mahendra.      

"Bicara saja, seburuk apa pun kosa katamu, akan aku dengarkan," celetuk Damar.      

"Hai!.. " protes Hendra. Damar tertawa ringan melirik mata biru.      

"Aku minta maaf, tidak sepenuhnya berhasil menghalau berita kurang baik tentang,"     

"Tenang saja, aku tidak peduli dengan semua itu," Damar memotong monolog Hendra.     

"Kau berhenti, em.. musik," ini pernyataan Hendra yang terasa canggung.      

"Entah, aku bisa merangkai musik tapi kesulitan membuat lirik, dan aku tidak berniat kembali ke dunia hiburan, itu bukan cita-citaku, santai saja"     

"Iya.. kau lebih cocok sebagai penulis, aku.. em.. pembaca karyamu,"      

"Benar -kah? Ha.. haha" Damar penampakan gigi rapinya.     

"Yaa.. aku membacanya diam-diam,"      

Damar tak kuasa menahan rasa geli di perutnya.      

"Menulislah sekali lagi, aku pasti membelinya," entah mengapa kedua laki-laki ini seolah saling menguatkan.      

"Itu tidak mudah, kau mengambil visualisasi seniku," keduanya bertemu mata.      

"Itu tidak mudah, kau tiba-tiba datang di kehidupanku, menjadikan mimpiku sirna," Mahendra sedang menirukan kalimat Aruna yang mirip dengan kata-kata Damar.     

"Itu, em.. ucapan Aruna yang paling membekas, hampir mirip dengan ucapan mu," keduanya kembali menatap seorang perempuan yang melambaikan tangan, lambang perpisahan untuk teman-temannya.     

"Namun, sekarang, dia menemukan mimpi baru, Istriku.. merelakan mimpi yang lama lalu membangun mimpi barunya,"     

"Damar," Suara Aruna menyapa hadir di antara keduanya.     

"Hendra.." perempuan mungil ini menoleh pada suaminya.      

"Jangan terlalu lama.. aku menunggumu di mobil," Mahendra menyingkir ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.