Ciuman Pertama Aruna

III-179. Liontin Merah



III-179. Liontin Merah

0"Damar," Suara Aruna menyapa hadir di antara keduanya.     
0

"Hendra.." perempuan mungil Ini menoleh pada suaminya.     

"Jangan terlalu lama.. aku menunggumu di mobil," Mahendra menyingkir melangkah menuju mobil.     

.     

.     

Dia berada di ujung sana, terlihat bercakap-cakap dengan senyum manisnya. Seperti dua orang yang saling merindu, aku melihat sorot mata Damar yang tak mau lepas menatap istriku. Aku tahu tatapan mata damar tak ubahnya diriku yang dulu, menyimpan banyak rasa di hati akan tetapi tak berdaya, mustahil di ungkapkan.     

Dari kejauhan ku amati Aruna mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya, dia menyerahkan sebuah kotak kecil yang aku tidak tahu isinya. Dan Damar terlihat menggelengkan kepala menolaknya.     

Lalu kemudian mereka saling menatap dan berbicara lebih dalam, bahkan sempat kulihat mereka berpelukan.     

Aku tidak pernah membenci damar. Sampai detik ini, saat aku bahkan memiliki buah cinta di dalam perut Aruna perasaanku masih sama tentang pemuda itu. 'apakah mungkin, Aruna akan lebih bahagia. seandainya Aruna memilihnya daripada aku?' dan hatiku selalu berkata 'bisa jadi cinta pertama ku bakal berlipat-lipat kali lebih bahagia bersamanya, berada di dekat pria tersebut'.     

Entahlah, aku, kehilangan banyak rasa percaya diri ku. Semenjak Aruna penuh luka, bahkan aku yang telah merelakan semua pekerjaanku, serasa sia-sia, tetap saja belum mampu membuat Aruna bahagia. Lagi-lagi keluargaku, keadaanku, diriku sendiri, selalu saja membuat perempuan yang kini berlari kecil menuju keberadaan ku, -kesulitan.     

Aku ingin membuat Aruna bahagia, tapi aku tak tahu caranya.     

.     

.     

"bagaimana Jogja? Menyenangkan?" mendengar kalimat tanya Aruna, Damar mengangguk.     

"bukan menyenangkan, tapi menenangkan," pemuda ini tengah merevisi kalimat Aruna.     

"ku yakin kamu sudah punya banyak teman di sana," ini pernyataan basa-basi, keduanya tahu itu. Dan Damar menggelengkan kepala.     

"mustahil, kau tak pandai mendapatkan teman baru,"     

"tidak untuk saat ini,"     

"Kenapa begitu?"     

"entahlah.. aku meyakini satu hal, -sekarang," Damar tersenyum mengamati sisi samping Aruna. Yang mengarahkan wajahnya lurus ke depan, "semakin banyak ikatan semakin banyak perpisahan, semakin sedikit ikatan semakin sedikit perpisahan, termasuk ikatan persahabatan," pemuda ini melengkapi kalimatnya.     

"analogi macam apa itu, hehe," kekeh kecil Aruna berniat mencairkan suasana.     

"analogi, yang aku dapatkan setelah kesulitan melupakan seseorang," pemuda ingin menarik lurus bibirnya, sejenak ia mendapatkan tatapan Aruna.     

"apa seseorang itu aku," Aruna lebih terbuka kali ini, dulu ia tak berani memprediksi kalimat yang keluar dari mulut Damar. Namun detik ini semuanya berbeda. Dia punya tujuan yang jelas, dengan meminta waktu pada Mahendra, untuk mengizinkannya mengobrol berdua saja dengan Damar. Aruna mau menutup kisahnya bersama Damar menggunakan cara terbaik.     

"Iya" suara Damar paruh namun tegas.     

"mengapa kamu mencoba melupakanku? Simpan saja terus, aku tak pernah sedikit pun berniat menghilangkanmu, betapa serunya punya kenangan tentangmu, aku menyimpannya baik-baik, " monolog Aruna membuat pupil mata seseorang membesar.     

"Benarkah??" Damar hampir tak percaya.     

"Ya.. itu yang aku lakukan, dan Aku berharap kamu juga melakukan hal yang sama," Aruna mengiringi kalimatnya dengan anggukan.     

"memulai hal baru tidak selamanya harus melupakan yang lalu, " Aruna tersenyum, kedua mata mereka saling memandang satu sama lain.     

"itu yang membuatku suka padamu, ah bukan suka, tergila-gila," dia yang bicara mewarnai kalimatnya dengan tawa, "seperti laki-laki yang berada di mobil itu. Ku tahu, saat ini, pasti ekspresinya khawatir, dan tak mau melepas tatapannya darimu,"     

Aruna mengerutkan keningnya, perempuan ini tidak mengerti maksud kalimat Damar.     

"cara berpikirmu yang simple, dan pembawaan mu yang tulus, aku selalu membandingkan orang baru yang aku temui dengan mu, yaa.. aku kesulitan menemukan yang lain," _Jadi bagaimana caraku, membuka diri selain melupakanmu?_ sebagian kalimat Damar disimpan untuk dirinya sendiri.     

"hehe, semakin lama hee.. orang-orang semakin ribet, dengan hal-hal yang tak penting," Aruna membelokkan arah pembicaraan, dengan bumbu canda, sayang sekali ujung-ujungnya malah garing.     

Dan Damar kehilangan daya sekedar menanggapi Aruna. Perempuan ini menyadarinya, dia bergerak mendekat, lalu memeluk Damar. Tentu Damar serta merta di terpa rasa terkejut luar biasa. Aruna berkenan memeluknya, walaupun pelukan perempuan ini tak erat.     

"sekarang, aku sudah bahagia, aku minta maaf, karena dulu aku selalu, em…" Aruna menggigit bibirnya, dia sendiri tak tahu mengapa mengucapkan terima kasih pada Damar tak semudah bayangannya. "e.. aku selalu menceritakan resah ku padamu, Hingga kamu terjebak, aku yang.. em.. layak disalah,"     

"hai.. bukan.. bukan seperti itu," Damar menolak pernyataan Aruna, "aku yang menyukaimu, jauh-jauh hari sebelum kau sadar, jangan lupakan bagian itu, jika mencari kesalahan, semua orang salah," pemuda ingin merengkuh pundak Aruna.     

"tapi aku merasa bersalah," ucapan Aruna berikutnya.     

"Aku tidak suka kata-katamu," Damar menatap Aruna, ada ekspresi kesal.     

"kamu mau aku berhenti merasa bersalah?" tanda tanya mengakhiri kalimat Aruna berikutnya.     

"kamu ingin aku menemukan orang baru?" bukannya memberi Jawaban, Damar malah balik bertanya.     

"Ya.., kamu masih pandai membaca pikiranku," jawab Aruna. Lalu Aruna mengeluarkan sesuatu dari kantong celananya.     

"walaupun aku tidak pernah memakainya, benda ini, sangat berkesan untukku," Aruna mengeluarkan liontin merah. Liontin yang dulu adalah kado ulang tahun dari Damar. Liontin yang diberikan Damar di akhir pesta Blue oceans. Liontin yang membuatnya harus minum air keran, sebab di kunci Mahendra di kamar mandi seharian.     

"benda ini tidak tepat berada ditanganku, aku yakin, suatu saat pemilik aslinya bakal datang kepadamu," Aruna menarik tangan kanan Damar, letakkan kotak perhiasan tersebut di atas telapak tangan Damar.     

"Jangan lupakan aku, hanya cukup di relakan," perempuan ini tersenyum di akhir kalimat nya. "Terima kasih, kamu sudah banyak berkorban untuk ku, dan aku sama sekali tak bisa membalasnya," sekali lagi raut wajah Aruna di liputi haru.     

"Kau bicara apa? Aku yang harusnya-"     

"stop, aku belum selesai bicara," Aruna menarik bibirnya dan tiba-tiba saja sok sokan menyebalkan, memotong kalimat Damar. "Aku ingin kamu merasakan bahagia seperti yang aku rasakan. Untuk itu, tetap jadi Damar yang ada di dalam kepalaku," tunjuk tangan kanan Aruna mengetuk pelipisnya, "yang aku simpan sebagai kenangan manis dari seseorang spesial,"     

Mata Damar berbinar mendengar kalimat Aruna. Ucapan-ucapan Aruna begitu menenangkan. Bahkan ketika dirinya tak seberuntung pesaingnya, perempuan ini mengatakan bahwa ia akan disimpan sebagai kenangan spesial. Sama seperti doanya di peron stasiun kota Bandung. Tempatnya merelakan Aruna pergi kembali ke Jakarta sendirian (season I).     

Kalimat berikutnya yang hadir, berupa canda tawa ringan hingga lambaian tangan.     

.     

.     

Berikutnya Aruna bisa melangkah lega, bahkan berlari kecil menuju mobil suaminya. Mahendra terlihat menuruni mobil, lalu membuka pintu untuk perempuan tersebut.     

Anehnya, sepanjang perjalanan laki-laki di sampingnya terdiam.     

"Apa yang terjadi?" mendengar pertanyaan istrinya, Mahendra belum mau melepas raut wajah ditekuk itu. Akan tetapi, diam-diam pria ini menggerakkan ekor matanya melirik sang istri.     

"kamu.. masih cemburu aku bicara sama Damar?" pria yang Aruna ajak bicara menggelengkan kepala.     

"Em.." perempuan ini terdiam sejenak mencoba menebak, "karena tadi aku terlalu lama?"     

Ada yang mengangguk, lalu berkenan menoleh kepada Aruna.     

"Dasar!" Kata ini, Aruna ucapkan sambil menahan rasa geli. Ada sesuatu yang Aruna sadari, mengapa dirinya pada akhirnya tidak bisa melepas Mahendra. Padahal laki-laki ini tak lebih baik dari Damar, secara keseluruhan. Kecuali cara mencintainya yang unik tersebut, angkuh, dan dominan.     

"kemarilah.. kamu butuh obat pereda, -bukan?" tawar Aruna.     

"kamu yang kemari.." Hendra bicara, mulutnya masih mencucuh, "duduklah di pangkuanku," matanya mengerjap-ngerjap seperti seekor kucing penuh harap.     

"Cih!" Aruna mendesis, namun perempuan ini mengikuti permintaan suaminya.     

Sudah dapat diduga Apa yang dilakukan oleh Mahendra. Pria tersebut memeluk erat tubuh Aruna. Menghirup aroma tubuh istrinya, seperti pasien sesak nafas yang baru saja mendapatkan oksigen.     

"di depan ada ajudan jangan membuka kancing bajuku Hen.." yang diajak bicara menggelengkan kepala, melepas 2 buah kancing tanpa permisi. Lalu membenamkan wajahnya di sana.     

Aruna menyusupkan jemarinya, di sela-sela rambut, memainkan rambut coklat tersebut, _cara mencintai yang tidak tahu diri, mengapa aku memilih pria seperti ini?_ kadang kala Aruna dibuat bingung sendiri.     

"Hendra.. jangan menggigit!" Suara Aruna menggetarkan isi mobil.     

"Huk.. huk guk," lupa 2 orang yang duduk di kursi depan golongan lelaki jomblo, Herry dan Alvin. Terlebih detik ini, Herry yang tengah meneguk air, sedang tersedak hebat. Mukanya merah, tersiksa.     

"Hen.. lepas.." Aruna berusaha merenggangkan pelukan suaminya, namun pria tersebut menggeleng-gelengkan kepala. ketika wajahnya diangkat lagi-lagi dia menyuguhkan mata membulat dan mengerjap-ngerjapkan mirip kucing yang sedang merintih kelaparan.     

"Tuhaan.. semoga baby tak semanja Dadynya,"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.