Ciuman Pertama Aruna

III-181. 15 Menit



III-181. 15 Menit

0Kiki menyadari, mungkin saja dia bisa bertanya pada Vian terkait kabar Thomas. Sayang sekali gadis ini meyakini Thomas tak ingin menemuinya. Kalaupun Thomas mau berjumpa dengan dirinya dan keluarganya, dia tentu sudah membalas pesan-pesan Kiki.      
0

"Ah?? AAAGRH.....!"     

Gadis ini berteriak ketika Sebuah mobil melaju dan tiba-tiba berhenti di depan motornya. Sehingga ia perlu membuat keputusan mendesak per-sekian detik.     

Selain  mencengkeram kuat-kuat rem yang berada di tangan kanan dan kiri. Kiki membanting motornya ke sisi tepi, sehingga gadis itu terjungkal di rerumputan.     

Untung sekali malam ini cukup sepi, sehingga kejadian yang baru saja menimpa Kiki tidak menarik kehebohan. Tepat ketika gadis ini bangkit bersama baju kotor dan kaca helm yang retak.     

Dia mendengar seseorang tertawa terbahak-bahak. Tawa lelaki yang tak asing, benar sekali Vian keluar dari dalam mobil mewahnya.     

Entah mengapa malam ini, Kiki kehilangan daya untuk marah. Dia buru-buru memeriksa motornya, memastikan apakah motor pemberian Thomas baik-baik saja.     

Ternyata yang terjadi sebaliknya, walaupun dirinya tak cedera parah, akan tetapi bumper motor bagian kanan tergores cukup panjang.     

Dan untuk pertama kalinya, gadis tersebut akhirnya menangis juga.     

"Hiks.. hiks.."      

Dia tidak sanggup melihat motornya tak lagi sempurna, motor matic tersebut sudah berdiri tegak. Sayangnya pemiliknya malah terduduk lesu di atas tanah. Meratapi goresan panjang yang merusak penglihatan.      

"Kau tak apa-apa? Hai.." Suara Vian menunjukkan ekspresi penyesalan.      

"Hai.. jangan menangis.. aku akan membuatnya.." pria tersebut mendekati gadis yang tengah tersedu-sedu memeluk motor, "-Tampak bagus seperti semula," tukas Vian.      

Vian tengah berusaha meredakan kegelisahan Kiki, pria tersebut menekuk kakinya, selepas berjalan mendekati Kiki.      

"Bomb, tak apa.. aku akan membuatnya cantik lagi.." Kiki tak menghiraukan bujuk rayu Vian.      

Perempuan ini kalut luar biasa. Hatinya campur aduk akhir-akhir ini dan kian kacau setelah seharian di ganggu seseorang yang tampaknya punya hubungan pelik dengan Thomas. lelaki bernama Vian yang entah apa niatnya, berharap bisa berjumpa mata dengan Kiki.      

"Bomb bagaimana tubuhmu?, apa kau terluka?," Vian memeriksa baju kotor Kiki, dia berharap gadis pemarah ini baik-baik saja.      

"Bomb, bajumu robek," Vian mengangkat lengan kiri Kiki yang terlihat menampakkan jaket Hoodie bagian siku sedikit koyak dan kotor.      

"Haaah.. diam kau!!". Kiki melepas helm berkaca retak dari kepalanya. Perempuan tersebut berdiri dan menjatuhkan begitu saja helmnya.     

Mengetahui Kiki berdiri, Vian ikut menyusul bangun dari posisinya. Anehnya perempuan yang tingginya tak seberapa dibandingkan dengan lelaki bermata sendu, berani meraih kerah baju Vian.     

Hal berikutnya yang Kiki lakukan adalah menarik tubuh Vian, hingga kian mendekat ke arahnya. Beberapa detik kemudian ia jauhkan kepalanyanya sendiri. "Bam!" Dalam waktu singkat kiki mengayunkan kepalanya sekuat tenaga.      

"Ah.. auuu.." Vian meringis memegangi kepalanya.     

Gadis kasar tersebut berhasil membuat balasan setimpal. Membentur kepala Vian sekuat tenaga menggunakan kepalanya. Bukan hanya itu, ia tak bisa dipandang sebelah. Butuh waktu lama bagi Kiki untuk dapat menjatuhkan tubuh Vian yang kemudian dia pukuli secara membabi-buta.      

"Stop! Bomb!"      

Gadis itu benar-benar mirip dengan sebutan nya. Bomb yang meledak selalu berhasil memporak-porandakan berbagai macam benda di sekitarnya.     

Seperti gadis bernama Kihrani yang memukuli lelaki secara membabi-buta, bahkan ketika kedua tangannya sudah terperangkap pun. Vian masih mendapat gigitan di lengan.      

Bomb benar-benar meledakkan dirinya, hingga ia puas, nampak seluruh wajahnya kemarahan. "Huuuh huuuh.." bukan hanya Kiki yang terengah. Vian pun jadi kacau, nafasnya naik turun.      

Dia akhirnya berhasil menghentikan ledakan Bomb, dengan cara tidak tahu diri. Memeluk gadis itu, sampai dia tak bisa lagi bergerak dan berakhir lelah sendiri.      

"Pergi kau! Pergi sejauh-jauhnya.. makhluk Astral!" Hinaan Kiki menyadur kalimat random yang ada di otaknya.      

"Dengarkan Aku!" Vian mencoba menenangkan si pemarah, "Aku menemuimu dengan maksud baik, ".     

"Aku tak perduli!" suara Kiki masih naik-turun penuh kemarahan, sembari merapikan dirinya.      

"Kau boleh tak perduli padaku, tapi Thomas membutuhkan bantuanmu," sekian detik gerak tubuh Kiki terhenti. Sebab mendengar kalimat Vian.      

"Terserah," Kiki meraih kembali helm yang kacanya retak. Dengan sekali tarik, kaca helm nya copot keseluruhan.      

Vian kedapatan tertegun melihat kekuatan gadis itu menarik kaca helm dengan sekali tarikan.      

"Sejujurnya aku ingin minta bantuan padamu, waktu Thomas tinggal 2 hari, mungkin termasuk hari ini," seiring ucapan Vian, gadis berambut hitam legam yang kini ikatan rambutnya berantakan, sudah berdiri dan mulai menarik ikatan kecil di rambutnya.     

Vian menyusul dan ikut menegakkan kakinya, "Thomas tidak mau bicara, membuat kita kesulitan membantunya," ujar Vian mencoba meyakinkan Kiki yang sedang menyisir rambutnya menggunakan jari tangan.      

"Sudah aku bilang! Aku tidak peduli!" ucap Kiki, tangkas memutuskan mengepang rambutnya sendiri.     

"Kalau bukan karena Thomas aku tak sanggup menemuimu," Vian akhirnya ikut-ikutan marah.      

"Sebenarnya aku atau kau yang mencari masalah?!" sungguh sialan, bisa-bisanya Vian menganggap dirinya (Kiki) gadis onar yang tak layak di temui.  "Bukankah kamu yang selalu cari gara-gara denganku? Cih!"     

"Itu karena kau sulit diajak bicara," Vian mengimbangi kalimat protes Kiki.     

"Haah! Apa kau tak sadar aku sedang bekerja?!"     

"Aku cuma minta waktu 5 sampai 10 menit, yah paling lama 15 menit," keluh Vian.      

"Yang benar saja kamu! 15 menit menyuruhku duduk di dalam mobil mu?! Aku bisa dipecat,"     

"Cuma 15 menit Apa salahnya?"     

"Entahlah.. Antara kau yang bodoh atau aku yang bodoh. Atau jangan-jangan kehidupan kita yang terlalu berbeda," Kiki malas berdebat.     

Selepas ia selesai mengepang rambutnya. Gadis tersebut mengenakan helm lalu menaiki motornya. Giliran akan mundur untuk mencari pijakan berkendara. Anehnya motornya tak bisa bergerak.      

Vian mencengkeram, sisi belakang motor.      

"Aaa!! Apalagi sekarang, aku lelah tahu!" sesungguhnya tubuh gadis yang terjatuh ini mulai merasakan nyeri.      

"Aku tidak bodoh," protes Vian. Kiki yang menoleh ke belakang menatap sinis Vian.      

Sedikit takut melihat ekspresi serius lelaki berwajah sendu tersebut. "Apa yang salah dengan 15 menit?". Wajah seriusnya berubah linglung, tampaknya dia tidak mengerti pola kehidupan Kiki.      

"Huuh," Kiki membuang nafas, akhirnya menyadari mungkin pria ini benar-benar tidak tahu, "Boro-boro 15 menit, sepanjang sift kerjaku, seorang kasir tidak berani duduk,"     

"Oh, begitu ya.."     

***     

"Hen.. lepas.." Aruna berusaha merenggangkan pelukan suaminya, namun pria tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Ketika wajahnya diangkat, lagi-lagi dia menyuguhkan mata membulat dan mengerjap-ngerjapkannya, mirip kucing yang sedang merintih kelaparan.     

"Tuhaan.. semoga baby tak semanja Dady nya,"      

Mendadak pria yang mengerjap-ngerjapkan matanya tersebut, berubah ekspresi. Seolah ia tengah terkejut.     

"Sayang, kalau baby lahir dan dia manja. Terus aku bagaimana?" pertanyaan yang aneh, akan tetapi bagi yang mengenal Hendra. pertanyaan semacam ini merupakan kebiasaan sehari-hari nya.     

"Ya tidak bagaimana-mana, kamu tetap jadi manusia, cuman tambah satu gelar selain Presdir, yaitu.. Dady.. Hendra," di ujung kalimatnya Aruna tanpa excited.      

Sekali lagi ekspresi Mahendra tak selaras dengan istrinya. Dia menampilkan raut wajah resah.      

"Kalau nanti baby lahir, siapa yang kamu utamakan,"     

"Tentu bayi kita lah.." Aruna menggeser tubuhnya, dia bangkit dari pangkuan Mahendra. Sambil mengaitkan dua buah kancing yang sempat dilepas si mesum berkedok suami.      

"Kenapa bukan aku?" protes Mahendra, "Harusnya tetap aku yang utama,"      

"Ya Tuhan! kamu ini kenapa sih! Selalu saja aneh," Aruna menepuk jidatnya sendiri.     

"Ini tidak aneh sayang, aku yang menjadikan baby itu ada, maka dari itu aku yang utama," Terserah Hendra mau berbicara seperti apa, Aruna tak sanggup mencerna pikirannya.      

"Sebentar. sebentar.. jangan-jangan kamu membayangkan baby kita cowok, dan kamu merasa takut saingan?" Aruna mencoba meluruskan isi kepalanya yang berantakan akibat kalimat-kalimat protes Mahendra.      

"Iya," mata biru mengangguk, "Maka dari itu, Aku selalu berharap dan berdoa setiap saat supaya baby kita perempuan, kalau perlu anakku semuanya perempuan, jadi aku tidak punya saingan, aku satu-satunya yang di sayang," monolog Mahendra cukup mencengangkan.      

Akan tetapi mampu membuat ibu hamil tersebut tersenyum cerah, ternyata Hendra sangat jauh berbeda dengan kakeknya. Aruna merasa tak perlu lagi khawatir oleh konfrontasi tetua Wiryo.      

"Hen.."     

"Hem..?"     

"Aku juga berharap baby kita terlahir sebagai putri kecil nan cantik dan punya mata biru memikat, seindah matamu," dia yang bicara tersenyum cerah.      

Aruna menemukan banyak hal hari ini, yang memungkinkannya segera memenuhi permintaan tetua Wiryo, -10 prinsip hidup-.      

"Alvin,"     

"Ya Tuan.."     

"Tolong hentikan mobil kita di mall depan," Alvin mengangguk.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.