Ciuman Pertama Aruna

III-182. Arah Pukul Sembilan



III-182. Arah Pukul Sembilan

0"Alvin,"     
0

"Ya Tuan.."     

"Tolong hentikan mobil kita di mall depan," Alvin mengangguk.     

Sepasang suami istri telah sampai di pintu utama pusat perbelanjaan nomor 1 kota metropolitan. Perempuan mungil dibawa berjalan menuju showroom jual beli perhiasan.     

Dua orang ajudan masih setia mengekori mereka tatkala tuan dan nona nya memutuskan memasuki kerumunan lalu menuju showroom perhiasan brand ternama.     

Entah mengapa mata para ajudan awas, bahkan salah satu dari mereka membuat panggilan kepada ajudan lain yang seharusnya berjaga di sekitar mobil.     

Hendra begitu cerah, mata biru tampak lebih bersemangat. Dia menarik tangan istrinya menuju etalase yang menawarkan berbagai jenis perhiasan, terutama permata dan berlian yang berkilauan.     

"ambil yang kamu inginkan, sayang," tawar suami Aruna. Lelaki tersebut mengarahkan telunjuknya pada sebuah liontin berwarna kebiruan.     

Senyum Aruna tidak terelakkan, tampaknya Mahendra tahu Aruna mengembalikan si merah pada Damar. Dan pria ini, ingin menggantikannya dengan hal lain yang berkali-kali lipat harus lebih menawan, dibanding milik Damar.     

Bersama datangnya ajudan lain, Hendra mendapatkan bisikan, "tuan, sepertinya anda mengenal seseorang yang berdiri di arah pukul sembilan," Mahendra mengerutkan keningnya, ia menoleh ke arah yang di tuturkan Herry. Kian penasaran saat seseorang -di pukul sembilan. Samar-samar memiliki kontur wajah yang sama dengan dirinya. Dia juga membawa sekelompok pengawal.     

Pengawal-pengawalnya terlihat menonjol, dibanding ajudan ajudan Mahendra yang hari ini mengenakan outfit casual dan tak begitu menonjol, kecuali diamati dengan sungguh-sungguh. Ajudan ajudan Mahendra kadang kala terlihat seperti sekelompok teman yang sedang jalan bersama.     

.     

.     

"ayo lah Syakila, cepat pilih salah satu," suara Gibran terdengar capek.     

"Aku tidak suka, aku juga tidak ingin membelinya," gadis bernama Syakila menggelengkan kepala. Perempuan ini selalu konsisten menolak pemberian tunangannya sendiri. Ia di wajibkan memilih satu paket perhiasan demi tampil pertama kali di depan publik bersama Gibran. Lebih tepatnya tampil pada launching produk digital Tarantula, yang rencananya turut serta dihadiri Mahendra.     

"jangan mempersulit ku, please!" Gibran lelah menawarkan barang-barang kepada gadis tersebut.     

"Aku tidak ingin berdebat dengan mu, kita sudah sepakat kau harus hadir pada agenda-agenda penting sebagai tunanganku," kembali ujaran Gibran berharap bisa meluluhkan hati perempuan kurus tersebut, supaya cepat-cepat memilih perhiasan yang ia inginkan. Sebab mereka, setelah ini perlu mencari gaun. Semua serba mendadak, bukan sekali atau dua kali Syakila menolak. Sehingga Gibran memaksanya untuk ikut belanja hari ini.     

"sejak kapan kita memiliki kesepakatan seperti itu?" gadis kurus tersebut pandai sekali protes. Syakila memang cenderung keras kepala.     

.     

"bagaimana kalau aku pilih yang ini?" Aruna menemukan pilihannya. Namun pria yang ia ajak bicara malah sibuk mengamati sepasang kekasih yang sedang berdebat.     

"Heen.. cantik nggak?" Mahendra baru sadar setelah tangannya ditarik-tarik Aruna.     

"yang mana, sayang?" konsentrasi mata biru berpindah, ke arah istrinya. Akan tetapi, semuanya jadi berbeda ketika Aruna yang pada akhirnya tertegun. Ia berjalan mendekati perempuan yang di rasa mengenalinya.     

"Aruna.." ini panggilan Mahendra, bukan lagi sayang sebab ia kurang nyaman memperhatikan gerak-gerik Aruna yang berjalan mendekati seseorang di pukul 9.     

"Syakila? Kamu Syakila kan? " Aruna bertanya santai, dan bersahabat. berbeda dengan Mahendra yang buru-buru meminta pramuniaga menyiapkan liontin pilihan istrinya supaya bisa segera dia bayar.     

"Kak Aruna," Syakila sama tertegun nya dengan Aruna. Gadis yang sempat berfoto bersama Aruna tersebut terlihat senang bisa bertemu kembali.     

Tapi anehnya raut wajah Syakila berubah total, setelah Syakila melirik pria yang berdiri di sampingnya.     

"kamu kemari bersama siapa? Bersama Juan kah?" kalimat tanya Aruna tidak mendapat balasan.     

"sayang, ayuk.. " Mahendra berjalan sekian langkah mendekat. Meminta Aruna menjauh dari wajah yang ia kenali tersebut.     

Tampaknya bukan sekedar syakila yang kini membeku. Gibran yang bertemu mata dengan Mahendra sama-sama mematung.     

Ajudan ajudan mereka, terkesiap satu sama lain.     

"em.. saya.." ini kalimat jawaban Syakila.     

"sayang.. go.!." sekali lagi Mahendra meminta istrinya merelakan pertemuannya bersama Syakila.     

"Syakila… cepat pilih salah satu!" entah mengapa Gibran ikut-ikutan memerintahkan syakila supaya segera membuat keputusan terkait perhiasan yang harus dia pilih.     

Mendengar suara Gibran yang kurang menyenangkan , Aruna menarik bibirnya, lurus. "kalau begitu aku pamit dulu ya.." ucap Aruna mengelus lengan Syakila.     

Mahendra yang terlihat memasang wajah serius, segera merengkuh istrinya. Keduanya berjalan menuju kasir.     

dan lagi-lagi kalimat perdebatan terdengar antara Syakila serta pria yang tadi terlihat kurang menyenangkan.     

.     

"Hendra, apa kau kenal laki-laki yang bersama Syakila?"     

"tidak usah memikirkan hal-hal yang tidak perlu," anehnya Mahendra merasa kurang nyaman dengan pertanyaan Aruna.     

.     

.     

"aku putuskan, yang ini, warna biru seperti punya kak Aruna kayaknya bagus juga," celetuk Syakila setelah pasangan suami istri keluar dari showroom perhiasan. Syakila sengaja bertanya pada pramuniaga, Aruna beli perhiasan apa.     

"kamu mengenal mereka?" kalimat telisik Gibran.     

"kami pernah makan bersama," lugas Syakila menjawabnya.     

"makan bersama?" kening Gibran spontan menurut.     

"iya.. makan malam bersama,"     

"benarkah? Bagaimana itu bisa terjadi? Apa papamu yang memintanya?"     

"tidak.. kali ini lebih berharga dari sekedar menuruti permintaan papa,"     

"lalu?"     

"kami makan, dan foto bersama,"     

"yang aku tanyakan bukan kejadiannya? Tapi! Bagaimana makan malam bisa terjadi,"     

"Gesang.. tiba-tiba berjumpa rombongan keluarga Kak Aruna, lalu kami diundang makan malam "     

"apa?" Gibran hampir tak percaya dengan kalimat yang ia dengar. Bukankah Gibran dan Gesang sudah saling sepakat supaya tidak lagi melangkah ceroboh. Salah satunya dekat dengan keluarga joyodiningrat.     

"kita kembali sekarang!" titah Gibran buru-buru.     

"kita tidak jadi beli gaun?" sebenarnya perempuan ini suka. Ketika Gibran menginginkan kembali ke gedung perkantoran nya. Artinya Syakila tak perlu susah payah memilih baju untuk pesta tarantula.     

"aku akan siapkan semuanya, kamu tinggal pakai. Memintamu memilih sendiri membuang-buang waktu," Gibran tiba-tiba marah. Entah apa yang ada di kepalanya. Emosinya secara mengejutkan ber-kebalikan dengan kebiasaannya yang cenderung tenang.     

***     

"Huuh," Kiki membuang nafas, akhirnya menyadari mungkin pria ini benar-benar tidak tahu, "Boro-boro 15 menit, sepanjang sift kerjaku, seorang kasir tidak berani duduk,"     

"Oh, begitu ya.." Vian sejenak merasa bersalah. Dia yang masih setia memegangi motor Kiki, merubah cara komunikasinya terhadap gadis pemarah tersebut.     

"izinkan aku bicara baik-baik sekali saja," Kiki belum mau turun dari motornya. Vian melangkah lebih dekat kepada Kiki.     

"Thomas, tidak mau menceritakan hal buruk yang menimpanya, tanpa kalimat pembelaan yang keluar dari pernyataan Thomas. Kami sangat kesulitan menemukan pelaku yang kabarnya sengaja membunuh Thomas." ketegangan di tubuh Kiki meredam. Gadis ini duduk terdiam di atas motornya. " kamu sendiri tahu kan? Dia, bukan bunuh diri, melainkan ada yang berniat menghilangkan nyawanya," Kiki akhirnya mau menatap Vian.     

"tapi Thomas tidak pernah membalas pesanku, bukankah itu artinya.." kalimat ini terputus. Ditimpa oleh penjelasan Vian.     

"karena dia dikurung, Thomas tahanan, Thomas tidak memegang handphone,"     

"tahanan? Maksudnya apa?"     

"intinya Thomas pernah melakukan kesalahan fatal, aku jelaskan pun tak ada gunanya untukmu" telapak tangan kiri Vian menepuk ringan bahu Kiki. "yang kami butuh kan sekarang, minta dia menceritakan kronologi yang menimpa dirinya, kita semua ingin dia selamat dari sanksi yang bakal dijatuhkan pimpinan kami,"     

"em.. mengapa harus aku?" Kiki sejujurnya sulit mencerna keadaan yang diceritakan Vian. Walaupun begitu, Kiki sadar dia pun sebagai seseorang yang pernah mengenal Thomas berharap Thomas tidak mengalami kejadian buruk.     

"lalu aku harus bagaimana?" Kiki secara tersirat menyetujui permintaan Vian.     

"besok aku bisa menjemputmu,"     

"sepertinya aku enggak bisa, aku tidak bisa absen dari pekerjaanku, atau aku bakal kehilangan pekerjaanku"     

"em.." kebiasaan Vian meraba bibirnya sendiri ketika berpikir tersaji di hadapan Kiki, "bagaimana kalau sekarang? Lebih cepat lebih baik," Vian memberikan penawaran.     

"baik, aku akan izin pada bapak," ujar Kiki benar-benar mengetik pesan untuk keluarganya.     

"melajulah dengan mobilmu aku akan mengikuti di belakang menggunakan motorku," celetuk Kiki, ketika diminta masuk ke dalam mobil Vian.     

"Tinggalkan saja motormu, aku sudah menghubungi anak buah ku, mereka bakal mengamankan nya," Vian menggerakkan tangan kanannya. Sekali lagi meminta kiki masuk ke dalam mobilnya.     

"tunggu sampai anak buahmu datang, baru aku rela meninggalkan motorku,"     

"oke.. kalau itu maumu," Vian mengangkat kedua bahu dan telapak tangannya. Sulit berdebat dengan gadis bernama asli kihrani.     

"oh ya sekarang lepas hoodie mu.." perintah Vian.     

"kenapa? Apa yang salah dengan Hoodie ku?"     

"kau ingin Thomas melihatmu dalam keadaan berantakan seperti ini??"     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.