Ciuman Pertama Aruna

III-183. Couple Goals



III-183. Couple Goals

0Anna masih berdiri di seputar garasi, dia belum bisa percaya mobilnya benar-benar raib entah ke mana.     
0

Informasi yang dia curi dengan susah payah dari ajudan Mahendra ada keterkaitannya dengan seseorang yang saat ini Anna cari, pasti dialah yang membawanya pergi. Siapa lagi kalau bukan Darko.      

Setiap jengkal rumah megah bersusun tingkat ini sudah ia periksa baik secara terang-terangan maupun diam-diam.     

Bukan cuma di bagian dalam rumah. Halamannya yang luas dan melelahkan untuk di kelilingi tersebut, baik itu kebun bagian depan, hingga taman samping yang menawarkan danau. Semuanya tidak menunjukkan tanda-tanda adanya Darko.      

Bagaimana bisa Darko bertindak tanpa diberikannya perintah. Apakah Darko sudah bisa inisiatif?     

Kini Anna masih berdiri di tengah-tengah garasi. Mengamati handphone yang ada di dalam genggaman tangannya.     

Mungkinkah dirinya layak meminta tolong adiknya untuk melacak Darko? Kalaupun dirinya sendiri harus mencari. Bagaimana caranya?      

Tanda tanya tersebut memenuhi kepala Anna. Andaikan dia bisa meminta tolong Pradita, mudah saja Darko di temukan.     

Namun, hal tersebut bakal menjadi ancaman untuk dirinya sendiri, yang jelas-jelas mulai tercium baunya melalui penyelidikan para ajudan yang sengaja di kumpulkan Mahendra. Meminta bantuan Pradita pasti akan jadi masalah baru.     

Apakah Mahendra mulai curiga, kalau rumah ini berbahaya?      

"Ha! Sial!" perempuan tersebut mengumpat, memijakkan kaki kirinya dengan kasar ke lantai garasi yang dia kira sepi.      

"Kenapa Anna berada di sini?" suara Andos menyapa, lelaki tersebut menuju salah satu mobil. Tampaknya ia akan keluar dari rumah induk.     

"Mencari mobilmu? Atau mencari sesuatu?" Pria yang berperawakan besar dan berkulit sedikit gelap tersebut mempertanyakan ekspresi terkejut Anna.     

Ia memencet sebuah tombol lalu membuka salah satu pintu mobil.      

"Rumah ini, mulai berbahaya bagi perempuan, apalagi gadis sepertimu, masuklah jangan berlama-lama di tempat ini, kecuali-".     

Kalimat Andos terputus di telinga Anna, sebab wanita bermata bulat tersebut mengangguk ringan lalu berlari, Anna memilih pergi.      

***     

"Kita makan dulu atau pulang?". Mahendra membuat penawaran untuk Aruna.     

Pria tersebut mulai mencium gelagat lelah pada istrinya. Aruna memeluk salah satu lengan Mahendra, berjalan malas dan meletakkan kepala di lengan bagian atas, menempel malas.      

"Mau aku gendong?" penawaran ini dibalas gelengan kepala.      

"Kita pulang saja," ini jawaban untuk pertanyaan Mahendra yang pertama.      

"Tapi aku juga lapar," berkebalikan dengan permintaannya pulang, Aruna mengeluhkan lapar.      

"Alvin, pergilah ke foodcourt carikan makan untuk istriku," Alvin mengangguk, "Termasuk makan untuk teman-temanmu (Ajudan yang bertugas)," titah Mahendra bertambah.      

Selain Alvin yang bergerak cepat, salah satu ajudan juga tengah menuju parkiran mobil, harap-harap cemas semoga mobil segera sampai di pintu pusat perbelanjaan ini tepat waktu. Sehingga Tuan dan Nona nya tidak terlalu lama menunggu.      

Herry, dan Mahendra yang menyadari mobil masih antri untuk sampai pintu utama Mall.      

Pria bermata biru meminta istrinya duduk, dan sebuah selebaran yang ia pungut digunakannya untuk mengipasi sang istri.      

"Hen.. apa sih fungsinya kamu kipasin aku," Aruna protes.     

Buat apa lelaki bermata biru menciptakan angin kecil di seputaran wajah istrinya. Padahal Mall ini merupakan bangunan pencakar langit yang setiap lantainya didesain dingin.      

"Aku bingung harus melakukan apa, kamu lapar, ingin pulang, tapi kita malah berdiam diri di sini. Jadi aku bingung," Monolog Mahendra mendorong mata menyipit dan tawa yang tak bisa disembunyikan Aruna.     

Mahendra tipe orang yang bingung ketika tidak punya aktivitas. Saking bingungnya ia akan melakukan hal-hal di luar prediksi. Memotongi kuku kaki, mengecat rambut istrinya sendiri, sampai ikut-ikutan belajar merajut, membuat sepatu kecil untuk calon baby. Walaupun hasil akhirnya konsisten berantakan, tak karu-karuan, Hendra memaksimalkan masa cutinya.     

"Apakah besok, kamu jadi menghadiri pertemuan penting?" tanya Aruna, dia mendengar informasi tersebut dari pembicaraan sekilas antara kakaknya Anantha dengan pak Surya ketika petemuan tim startup Surat Ajaib tempo hari.      

"Maafkan Aku, belum minta izin padamu," Mahendra menghentikan gerakan mengipasi wajah istrinya. Lalu ia memilih duduk di samping sang istri.      

"Nggak apa-apa berangkat saja, aku malah bertanya-tanya, kapan kamu berhenti cuti kerja," mendengar ucapan Aruna.     

Mahendra terlihat tengah berpikir, "Apa kamu sudah benar-benar sehat?"      

"Tapi, kalau memang pertemuan itu lama, Aku mau Herry berada di dekatku." ada bumbu permintaan di kalimat Aruna, "Kamu mau kan Herry?".     

"Saya terserah Tuan saja," Ajudan satu ini menyenangkan, walaupun dia jarang bicara.      

"Tampaknya Aku punya saingan baru selain Damar," gerutu Mahendra.      

"Oh, saya akan mengalah, tenang saja Tuan, " bukan cuma Aruna, Mahendra pun ikut tertawa mendengar ucapan herry, terlalu diplomatis.     

.     

.     

Tanpa disadari, sebenarnya ada seseorang yang memperhatikan sepasang suami istri Djoyodiningrat. Gibran melihat Aruna dan Hendra yang sedang bercanda dengan ajudannya.      

Pengamat tersebut tak lain adalah Gibran, dia juga sedang menunggu mobilnya datang.      

"Apa saya perlu melakukan sesuatu Tuan?" pengawal Gibran menyadari sejak tadi Tuannya tertegun mengamati sudut yang sama.      

"Oh' tidak," dia menggelengkan kepala, Lalu memindah tatapannya kearah shakila.     

Shakila lebih sibuk memainkan handphone. Di barengi perasaan sedikit kecewa, Gibran melempar pertanyaan yang bersemayang di ruang pikirnya kepada salah satu pengawal, "Setahuku mereka dikabarkan bercerai?" pertanyaan ini masih berhubungan dengan apa yang diamati barusan.     

"Menurut sa-" ucapan pengawal Gibran tenggelam.      

"Mereka couple goals," tiba-tiba saja Shakila turut nimbrung percakapan ringan Gibran.     

Shakila ingat betul, bagaimana lelaki bermata biru memperlakukan istrinya saat menonton teater. walaupun baru pertama kali jumpa Syakila menyadari pasangan tersebut di liputi banyak cinta.     

"Perjodohan bisa berakhir seperti itu, menarik," Gibran menangkap mata Shakila. Gadis itu lantas menurunkan pandangannya.     

"Ikatan couple goals bisa tercipta pada kita, bagaimana menurutmu -Shakila?" Pria yang saat ini sedang bicara, menyentuhkan ujung jemarinya di dagu Shakila, sehingga wajah gadis itu terangkat terpaksa bertatap mata dengan Gibran.      

Shakila menyingkirkan tangan Gibran, "Tidak.. " ia menggelengkan kepalanya, "Kita berbeda," ekspresi pesimis gadis itu benar-benar nampak nyata, "Kak Gibran, takkan bisa menggeser Gesang, walaupun dia pergi meninggalkanku, atau menyerah, aku akan tetap mencintainya,��     

"Ternyata kau yang angkuh, bukan adik ku,"      

"Apa yang kakak katakan 100% benar,"      

Gibran kembali melempar pengamatannya, pria tersebut menamati sepasang suami istri yang kini bangkit dari duduknya lalu melangkah mendekati mobil mewah mereka.      

"Bagaimana jika ujungnya kau dan Gesang hanya berakhir sia-sia?" tanya Gibran.      

 "True love doesn't have a happy ending. It doesn't have an ending at all." Ujar Shakila membungkam Gibran.      

(Cinta yang sesungguhnya tidak memiliki akhir yang bahagia. Dan tidak memiliki akhir dalam segalanya)     

***     

Mobil yang dibawa Vian berakhir di depan gedung pencakar langit bertuliskan Djoyo Rizt hotel.     

Kiki yang baru turun dari mobil Vian mendongakkan kepalanya ke atas, gadis ini jelas sedang terkesima.     

Lagi-lagi dia menata bajunya. Menyesal mengapa dia tidak bergati baju terlebih dulu.     

Gadis ini menyadari di dalam tas punggungnya terdapat Hoodie, -walaupun kotor karena tadi terjatuh- Kihrani merasa dengan mengenakan sweater berpenutup kepala tersebut, akan lebih menguntungkan dari pada berjalan memasuki lobi di lengkapi seragam kerjanya.      

"Hai.. Sudah aku bilang jangan digunakan," Hoodie Kiki direbut Vian.      

"Eem.. tapi.."     

"Tenang saja, aku sudah mempersiapkan baju yang layak untukmu," Pernyataan Vian sejalan dengan gerakan tangannya mendorong punggung Kiki supaya mau menapaki lobi Djoyo Rizt hotel.      

Gadis tersebut di minta mengikuti gerak langkah Vian. Kiki di bimbing menaiki lift. Anehnya Vian menawarkan penutup mata, selepas laki-laki itu menempel sebuah kartu pada sensor lift lalu menekan 2 angka secara bersamaan. Via sekali lagi meminta kiki menutup matanya.     

"Mengapa mataku harus ditutup? Kau.. jangan-jangan.."     

"Jangan berpikir negatif, 2 kali kita terjebak salah paham, aku menyerah kalau harus menemui tragedi ketiga," Vian mengangkat tangannya.     

"Mengapa mataku ditutup?" Kiki memburu alasan Vian.      

"Tempat tersebut,berbeda, seharusnya tidak di izinkan orang luar datang sembarangan, apalagi gadis sepertimu,"     

"Ya sudah, aku tak perlu datang ke tempat itu,"      

"Thomas ada disana," Vian menyodorkan penutup mata.     

"Sudah sejauh ini, kalau kau mau mundur silahkan, aku akan memencet lift, agar kita kembali naik ke atas," penawaran Vian meresahkan, Kiki bingung seketika.      

"Ting" ternyata lift sudah sampai dasar.      

Vian bergegas membalik tubuh Kiki. Kemudian mengikat penutup mata di kepala Kiki. Dia memastikan tangan gadis tersebut tidak akan menarik penutup mata.     

Kiki tidak di izinkan memahami ke mana ia dibawa pergi. Tombol kode memasuki lantai D di pencet Vian. Selepas kornea matanya di baca, vian kembali membimbing Kiki yang tidak di izinkan melihat apa pun saat memasuk bagian dalam lantai D.      

Sebelum menemui Thomas, Kiki berakhir di ruang kerja Vian.     

"Ganti baju mu," lelaki berhidung lancip tersebut menunjukkan letak kamar mandi setelah sebelumnya menyerahkan baju di tangan Kiki.      

"ini kantormu Vian?" Kiki di izinkan membuka penutup Mata.     

"Akhirnya kau memanggil namaku, dari mana kau tahu namaku Bomb?"     

"Rahasia," Kiki masuk ke dalam Toilet di ruang kerja divisi penyidik internal.      

"Apakah itu si pemarah?" Pradita mempertanyakan perempuan asing yang dibawa Vian. Vian mengangguk.      

"Gadis biasa? Penjaga toko? Dari mana Thomas mengenalnya?".     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.