Ciuman Pertama Aruna

III-188. Aroma



III-188. Aroma

0"Maaf.. aku lupa.. harusnya tadi kamu tidak perlu memakannya,"     
0

"tapi tadi kamu ngomongnya memaksa, jadi aku coba saja.. dari pada di marahi," dan Aruna menangis.      

"Tadi aku sibuk, sayang. aku nggak sadar.." Mahendra membuat alasan. "Sudah.. masak begini saja menangis.." Lelaki bermata biru memprotes raut muka penuh duka istrinya. Pria ini menyadari hal pertama yang penting untuk tumbuh kembang janin dan kesehatan istrinya ialah perasaan bahagia itu sendiri.      

Mahendra berusaha memberikan suasana segar, dia sibuk membasuh wajah istrinya menggunakan tisu basah yang baru di beli Herry. Pria ini juga mendekatkan Aromaterapi ke hidung Aruna.      

"Besok, akan aku ingat baik-baik bahwa kamu tak suka Ayam," Hendra mengamati istrinya. Ekor mata Aruna menatap Suaminya sinis.     

"sungguh, aku pasti mengingatnya baik-baik," Mahendra mengulanginya pernyataannya.      

***     

Monitor ruang abu-abu di matikan. Vian mendapati gadis berambut hitam lebat tersebut telah usai mengikat rambutnya. Vian tidak akan bertanya apa pun. Berdasarkan saran Pradita setelah mengamati komunikasi ruang abu-abu antara Thomas dan Bomb yang ternyata punya nama cantik Kihrani. Vian mengurungkan niatnya menjalankan introgasi kepada Bomb sampai dia nanti benar-benar berada di mobilnya pada perjalanan pulang.      

"Tolong kamu pakai sendiri kihran," Vian menyodorkan penutup mata. Gadis tersebut menatap telisik Vian. Dia tahu dirinya tidak mungkin keluar tanpa di berondong pertanyaan.      

Sembari mengikat penutup mata, Kiki berujar, "Thomas punya alasan, mengapa dia tidak menceritakan masalahnya kepada kalian," mata Kiki sudah tertutup sempurna dan lengan perempuan tersebut di tarik oleh Vian.      

"huuh, kenapa dia tidak percaya pada kami?" Vian dengan sengaja melempar pertanyaan menggelitik, supaya Kihrani bicara lebih banyak.      

"Karena.. em.."      

"Ting" suara lift terbuka, tak lama Vian membuka penutup mata Kiki.      

"Seseorang yang mencelakai Thomas, kata Thomas sangat tidak terprediksi," ini kalimat Kiki, gadis itu menundukkan wajahnya mengingat Thomas. Dia yang tadi menutup rapat-rapat gelisah nya ketika berjumpa dengan Thomas akhirnya tak terbendung di detik ini.      

"Tidak terprediksi?" Vian memburu Jawab. Kiki mengangguk lesu dan di liputi rasa duka mendalam.      

"Apa maksudnya tidak terprediksi?" kembali Vian menggali di informasi.      

"Em.. menurut Thomas, pelakunya di kenal sangat baik, dan mustahil berbuat buruk," Kiki menjelaskan garis besarnya matanya merah lagi.      

"Sebaik apa? atau siapa dia?" buru Vian.     

"Thomas tidak memberikan nama, apa lagi ciri-cirinya," Kiki yang tak sanggup membendung air di pelupuk matanya, untuk kesekian kali gadis tersebut menghapus lelehan Air mata.      

"hanya itu yang dia katakan?" Vian mengeluarkan sapu tangan.     

"Dia tidak banyak cerita," Gadis tersebut sempat menolak sapu tangan, dan dengan menyebalkan Vian menghapus air mata Kiki menggunakan sapu tangan dengan cara lelaki itu sendiri.     

"tapi. Tadi, kalian duduk berdekatan, -lama," Suara Vian berapi-api.     

"Bukan berarti kami membahas kasus Thomas mulu,"      

"Ah' berarti kalian punya hubungan yang spesial,"      

 "jangan sok tahu!"      

"Oh' kamu marah? kalau marah berarti benar dong, kamu dan dia membahas hal-hal pribadi?" kalimat Vian seperti pria kesurupan. Kiki mengamatinya dengan kesal.      

"kenapa sih kamu marah," Keduanya keluar dari Lift dengan suasana hati yang buruk.      

"Thomas aku mau.. oh maksudku.. Vian aku mau pulang sendiri," kalimat ini meluncur dari mulut Kiki setelah ia merasa terganggu oleh Vian yang lama-lama menunjukan gerak-gerik ingin berdebat dengannya Kiki. cukup lelah hari ini dia belum istirahat sama sekali, terlebih belum makan malam.      

"Tidak.. aku akan memulangkanmu sampai rumah.." tegas Vian.      

"Aku tak mau, aku ini perempuan, cuma pelayan toko, pulang malam di bawa mobil. Warga kampungku bakal menggunjingkan ku, tahu apa kau?" Nafas kiki naik turun, ingin rasanya meledak. "Udah di kira di telantakan, suaminya pergi melarikan diri. Huuuh kenapa nasibku gini banget sih," Kihrani menghayati nasibnya, terlampau sial.      

_Padahal belum menikah, semua tetangga mengira aku di telantarkan suamiku_ Kihrani serasa ingin berlari ke kamar mandi, benar-benar ingin menangis sejadi-jadinya malam ini. terlebih dirinya terlalu lapar.     

"kau sudah menikah??" Vian tercengang. menarik tangan kiki, pria tersebut memutar arah pandangan Kiki, dia mendapatkan tatapan penuh makna.     

"Ya," ujar Kiki melepas tarikan Vian, dan gadis tersebut berlari cepat mencari kamar mandi tatkala Vian masih terbungkus perasaan terheran-heran.     

***     

Mobil Mahendra telah sampai di depan lobi Djoyo Ritz Hotel, hari yang menggelap membuat pelayan Hotel yang bergerak cepat memberikan pelayanan, sempat tertegun, cukup lama CEO mereka tidak terlihat.      

Kedatangan Mahendra dan tentu saja istrinya menjadi daya tarik tersendiri. sayang sekali detik ini Aruna tidak kelihatan cerah apa lagi bersih, dia masih layu sebab baru muntah serta beberapa bagian bajunya menampakkan berbercak.      

"Herry antar istriku naik ke hunian kita di lantai tertinggi," Ini titah Mahendra.      

"baik tuan," Herry mendapatkan kartu pembuka hunian Mahendra. sebab tuannya langsung menuju perkantoran DM grup di lantai 5.      

"Aku nggak sanggup, aku nggak mau," suara Aruna membuyarkan rencana.      

"Apa lagi sekarang?" Mahendra yang sudah beranjak pergi terpaksa berbalik badan.      

"Aku nggak mau sendirian, sudah ku bilang -kan, aku nggak bisa sendirian, apalagi.." Aruna memanjangkan kalimatnya dia tak sanggup melanjutkan ucapannya. dan hal tersebut memicu kesadaran Mahendra. Hotel yang juga perkantoran tersebut adalah tempat tragedi mengerikan yang menimpa istrinya.      

"apa kamu pulang saja sayang.." tawar lelaki bermata biru.      

"Enggak. aku mau di sini saja," jelas Aruna.     

"tadi katanya tak mau," mahendra di bikin pusing oleh ibu hamil yang lama kelamaan kian manja. Aruna jarang merengek, kecuali akhir-akhir ini.      

"Aku menunggumu.. di situ.." Perempuan bermata coklat tersebut mengalihkan tatapannya ke arah deretan kursi nyaman lobi Djoyo Ritz Hotel.      

"Aku ingin istriku membaringkan tubuhnya, kamu sudah capek. sadarlah!" Sejak pagi Aruna kurang sehat, "lihat hidungmu! masih merah karena flu," Mahendra tidak setuju.      

"Aku maunya duduk di situ," Aruna merasa nyaman di tempat yang luas dan ramai versinya. hibuk lalu lalang tamu yang datang dan pergi entah mengapa membuatnya merasa lebih aman dari pada berada di ruangan sendirian.      

"Herry menemanimu," Tukas Mahendra.      

"Sorry hendra.. aku nggak mau," Aruna membuang muka, berjalan tegas mendekati sebuah sofa kemudian duduk. Dia menyandarkan tubuhnya di sama, secara spontan dua orang lelaki mengikutinya, "kecuali kamu mau Herry menemaniku dalam satu kamar," tantang Aruna.      

"Aku tidak berani nona," ini suara herry, sejujurnya dia paling resah ketika di hadapkan pada keadaan yang membingungkan semacam ini.      

"Siapa dia? di bolehkan melihatmu tidur! jangan aneh-aneh, Please!" mahendra protes.      

"ya sudah, kita impas -kan?" kalimat Aruna membuat dua pria di seputarannya saling memandang, "biarkan aku istirahat di sini, aku merasa nyaman di keramaian" Perempuan ini mengabaikan kedua lawan bicaranya, dia  bersantai memejamkan mata membiarkan Mahendra pergi di liputi ekspresi kecewa.      

"Aku tidak akan lama, hanya meeting sebentar dengan Surya," tegas Mahendra. "herry panggil yang lain, pastikan ibu hamil ini tak rewel," Herry mengangguk.     

"pak Surya belum pulang juga? duuh kasian Dea,"      

"Nona.. Tuan Hendra sudah pergi," Aruna tidak sadar Hendra keburu menghilang.      

***     

Aruna pergi ke kamar mandi dengan bantuan Alvin dia mendapatkan baju ganti. cukup malu sebab harus memelototi ajudan mahendra yang menginginkan berdiri dekat toilet perempuan, mereka terlalu berlebih. Aruna tahu dia takut memasuki ruangan sendirian, akan tetapi untuk toilet tentu saja ini bukan masalah takut. toilet kebutuhan primer dan tak bisa disinkronkan dengan rasa takut.      

"Huush.. jangan dekat, dekat!" usir Aruna yang malu bukan main mendapatkan perhatian berlebih semacam ini. Dua tahun jadi istri Mahendra, kehidupannya biasa-biasa saja selain karena jarang keluar. Pada tahun-tahun terberat mereka, Aruna pisah rumah dengan Suaminya.      

Aruna baru saja masuk kamar mandi, tempat ini bersih, tentu saja standar hotel berbintang yang punya prosedur operasional terbaik di kelasnya. Aruna mengamati pengharum ruangan, benda tersebut berdesis, pengharum ruangan yang disajikan hotel suaminya mirip lampu ajaib. Pengharum unik tersebut dulu terasa biasa saja di hidungnya kecuali aroma jeruk itu.      

Perempuan ini lekas berlari ke bilik kamar mandi sambil menyumpal hidungnya menggunakan kedua telapak tangannya. pada caranya mengenakan baju secepat dia bisa, dari bilik sebelah terdengar pintu yang ditutup kasar hingga Aruna sempat menjingkat. kemudian perempuan ini mendengarkan suara tangisan.      

Dia baru selesai mengenakan baju, sayangnya belum sempat terkunci sempurna sebab ukuran bajunya hampir tak muat. Alvin salah ukuran.     

aruna berencana minta tolong pada seseorang untuk menarik resletingnya. Aruna keluar dari bilik masih sambil menutup mata, "Tok tok tok" ini suara ketukan perempuan Hamil.      

"yang di dalam.. anda tak apa-apa? apa saya boleh minta.. uk.. ue.." Aruna menarik diri dan kini sudah di atas wastafel, dia muntah lagi dan kali ini lebih parah dari sebelumnya.      

Gadis menangis baru saja membasuh air mata, buru-buru keluar mencari tahu apa yang terjadi pada seseorang yang menginginkan pertolongan.      

"Ya tuhaaan.. apa yang.. .... …      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.