Ciuman Pertama Aruna

III-190. Bukan Dongeng



III-190. Bukan Dongeng

0Vian berkeliling mencari di mana gadis bernama Kiki, dia menyusuri seluruh bagian lantai satu Djoyo Rizt hotel sayang sekali tidak bisa menemukannya. Bahkan pria ini sempat menanyakan nomor handphone gadis tersebut kepada Pradita dan setelah nomor itu di hubungi hasilnya sama saja. Sama-sama tidak ada Harapan sedikitpun.      
0

Interogasi belum sempat di jalankan dengan sempurna, gadis yang harusnya menjadi Nara sumber, malah melarikan diri. Padahal Vian sudah mendatangkan perempuan itu dengan susah payah. Hasilnya nol besar. Suara desis kemarahan pria tersebut terdengar.     

Pria tersebut memicingkan mata, dan berniat pergi ke rumah Kiki sesuai inisiatifnya sendiri. Sekalian mencari tahu rasa penasaran yang memupuk dirinya.     

"Yang benar saja dia sudah menikah?!" kesal hati mempengaruhi pria yang berjalan menuju mobil di tempat parkir.     

***     

"Kamu butuh dokter?" desah nafas Mahendra terdengar. Seiring caranya melepas jam yang melingkar di pergelangan tangan, lalu ia letakkan di atas nakas. Sebelum akhirnya duduk di tepian ranjang tempat Aruna terbaring.      

Aruna yang menatap lesu menggelengkan kepala. Bersama gerakan Mahendra membuka baju di tubuhnya.     

"Siapa yang memberimu baju aneh ini?"      

"Alvin salah menyiapkan ukuran baju, jadi seseorang yang aku temui meminjamkan hoodie," suara Aruna sejalan dengan tatapan yang tertuju pada pria bermata biru.     

"Bagaimana kondisi kantor?"     

"Ya.. begitulah.. tidak bisa di katakan baik," Hendra bangkit meletakkan baju atasannya di sofa tak jauh dari ranjang.      

"Pergilah ke kantor, jangan terus-terusan khawatir padaku,"     

Lelaki bermata biru mendekat selepas mendengarkan kalimat aruna. Kian dekat lalu berharap bisa menautkan bibirnya.      

"Hen.. aku sangat kotor, huuh.." Perempuan lemas tersebut bangkit dari duduknya, "Biarkan aku mandi air hangat, mungkin dengan begitu semuanya jadi segar dan aku tak muntah lagi,"      

"Akan aku mandi kan kamu?!, Tapi syaratnya, isi perut mu dengan camilan atau apa saja," Mahendra merengkuh tubuh Aruna.     

Perempuan tersebut mengikat kakinya di pinggang Mahendra. Si pria Masih sempat menghirup leher saat dia membopong perempuannya menuju pintu kamar mandi.      

"Bagaimana dengan susu coklat hangat?" Aruna membayangkan harum susu di hidungnya.      

"Ide yang bagus, asal kamu cepat pulih,"      

"Di tambah roti bakar, bertabur selai kacang?" tawar ibu hamil tersebut.     

"kamu juga mau?"     

"Ya.. " hoodie yang Aruna kenakan di turunkan dari tubuh perempuan oleh suaminya.      

"Kamu mengenakan Hoodie sebab resleting ini tak bisa di tutup?" pertanyaan Mahendra mendapat anggukan.      

"Apa berat badanku naik? Sepertinya banyak sekali naiknya?"      

"Tidak juga, kamu tetap cantik di mataku," Mahendra menurunkan resleting, meminta Aruna mengangkat kedua tangannya, sekali lagi punggung penuh luka itu tersaji di hadapan Mahendra.      

"Jadwal operasi mu sudah dekat, apa istriku sudah siap?"      

"Tentu," Aruna terdengar bersemangat.      

"Maka dari itu, buat dirimu sehat, jangan terus-terusan membuatku khawatir," Mahendra menyerahkan sikat gigi, sejalan dengan cara Aruna menggosok giginya lelaki bermata biru menekan tombol shower yang menyajikan rinai air hangat.       

"Lihat perutmu.." Mahendra meraba tempat bersemayam buah hatinya. Sesuatu di dalam sana mulai mendesak permukaan perut Aruna sehingga timbul kedepan. _cantik sekali_      

"Aku tak sabar melihatnya membesar," Mahendra tiada henti mengaguminya.     

Aruna meraih keran air lalu membersihkan mulut dari busa pasta gigi. Secara singkat tubuhnya di balik, lelaki bermata biru melangkah, memojokkan istrinya ke dinding ruang bershower.     

Tak butuh waktu lama perempuan tersebut sudah di bawa terbang oleh sesapan yang di hadiahkan Mahendra ke bibirnya, lalu turun menuju salah satu puncak lingkaran.      

"Aaah.. kenapa berhenti?" pertanyaan ini terbit dari Aruna, yang tiba-tiba mendapat sentuhan lain berupa rasa licin sabun dari pada sesapan bibir lelaki.      

"Kamu butuh istirahat,"      

"Tapi aku mau?"     

Mahendra menggelengkan kepala     

"Tidak untuk malam ini," Mahendra menatap sendu, mengingat perut kram istrinya.      

"Aku akan menukarnya dengan malam yang nyaman untuk tidur,"       

"Hehe.. tiap hari aku juga tidur dengan nyaman,"     

"Malam ini lebih nyaman lagi.. " tawar Mahendra.     

"Benarkah?" Aruna setengah mengejeknya, "Caranya?".     

"Aku akan menceritakan sebuah kisah tentang lelaki yang cinta mati pada perempuan sampai membunuh seorang Adipati, lalu menikahi perempuan itu," mendengar monolog Mahendra, bukannya merasa kagum, Aruna tak kuasa menahan tawanya.      

"Aku tahu sekarang, kenapa kamu terkadang cenderung konservatif," cela Aruna. Sebenarnya ia ingin berkata suaminya terlalu ketinggalan zaman, tapi takut Mahendra marah.      

"Karena aku suka menceritakan hal-hal kuno?"     

"Iya.. dongengmu terlalu kaku, berat dan tidak mengikuti zaman," sentil Aruna yang kini membantu membalurkan sabun di pundak lebar suaminya.      

"Coba beritahu aku, seperti apa definisi dongeng di dalam otakmu?" Mahendra membalik tubuhnya. Menangkap dua mata coklat milik istrinya.      

"Dongeng? Em.. entah.." ucapnya sambil membersihkan sabun dari badan dengan air shower.     

"Jangan mencoba menertawakanku kalau kamu bahkan belum bisa membedakan dongeng, Legenda, mitos dan fabel.. Aku tidak pernah mendongeng," Mahendra menyentil kuncup yang tersaji di hadapannya.     

"Ish' nakal!" dia mendapat pukulan di punggung sebelum keduanya keluar dan menyelimuti diri dengan piyama handuk.     

"Lalu kisah pria yang membunuh Adipati demi menikahi istrinya masuk apa? Legenda?" pertanyaan Aruna mendapatkan anggukan.      

"Sebelum mendengarkan kisah berat ini, isi perutmu dengan susu hangat," Mahendra menyerahkan gelas berisikan susu coklat.      

"Mengapa menatapku seperti itu?" Mahendra menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Aruna.     

"Kamu menginginkanku malam ini?" kembali Aruna bertanya.     

"Ya.. tapi aku siap menahannya," dia yang sedang bicara meyakinkan dirinya.     

"Tak masalah Hen.. asal lembut.."     

Mahendra menggelengkan kepala, dia akan berusaha menjalankan petuah dokter kandungan istrinya.     

"Kesehatanmu dan rasa bahagia mu lebih berharga, termasuk si kecil di dalam perut, dia harta kita dan aku siap menahan apa pun untuk kalian,"     

Aruna tersenyum dan lekas menghabiskan roti bakar pesanannya. Sebelum mengubur diri pada pelukan pria yang hari ini menghiasi seluruh guratan wajahnya dengan ekspresi penuh cinta.      

"Baik aku akan dengarkan legenda-"     

"Ken Arok dan Ken Dedes," jelas Mahendra.     

Dan Aruna tak bisa menahan tawanya, perutnya geli seketika. Ternyata suaminya ialah makhluk konservatif terunik, "hahaha.." tawa itu mengganggu jalan cerita.      

"Bisa diam tidak?" Mahendra terganggu gelitik tawa Aruna.     

"iya.. aku akan diam, hehe.."     

"Aku marah nih!"     

"Marah jangan bilang-bilang dong Bos,"     

"Aku beneran marah," Mahendra memutar tubuhnya ke arah belakang, dia memunggungi istrinya.     

Aruna bergerak cepat, perempuan tersebut menempel rapat di punggung suaminya.     

"Daddy cerita lagi dong.. Daddy jangan marah," suara Aruna di miripkan dengan suara anak kecil.      

"Bilang mommy mu.. Jangan suka menggoda seenaknya,"     

"Siap Daddy!, mommy tertawa karena Daddy sangat menyenangkan, "     

"Sungguh?"     

"Sungguh.. "     

"Tak bohong? "     

"Tidak"     

"Apa yang menyenangkan dari Daddy?"     

"Emm.." balita ala Aruna mengalami kendala, ia bingung mau jawab jujur.     

"Pasti karena Aneh, ngaku!"     

"Iya.."     

"Dasar si kecil.. berani sama-"     

Hendra berbalik, namun Aruna lebih sigap, perempuan ini menaiki tubuh suaminya dan tidur di atasnya.     

"Kalau istriku sudah begini aku pasrah.." ujar Mahendra mendapati Aruna menikmati degup jantungnya.      

"Kembalilah ke kantor aku akan baik-baik saja," tiba-tiba suasana jadi serius.      

"Aku akan pulang tepat waktu,"      

"Tak perlu menjanjikan sesuatu yang mustahil," kalimat Aruna membungkam Mahendra.     

"Karena aku yang tidak bisa jauh darimu, maka akuakan mengikuti mu kemanapun,"      

"Sejujurnya.. aku tidak-" ini suara Mahendra, intonasinya jelas awal dari ungkapan protes.     

"Huush.. jangan berpikir buruk dulu, kali ini aku yang akan menjadikan diriku aman. Kamu.."     

"Tok Tok Tok " pintu terketuk.      

"Siapa yang datang selarut ini?" konsentrasi Mahendra buyar. Sebab Aruna yang berada di atas tubuhnya, Aruna turun lebih awal.     

"Biar aku saja yang membukanya,"     

Aruna berjalan menuju arah suara pintu di ketuk. Setelah pintu terbuka, Alvin menundukkan kepala meminta maaf karena mengganggu istirahat nonanya.      

Tak lama seorang gadis hadir di belakang punggung Alvin.     

"Kak. Em.. saya Kihrani".     

"Panggil saja aku Aruna, sepertinya kita seumuran" jelasnya. Kiki mengangguk.     

"Kamu sudah makan?" tanya Aruna.     

"Sudah, em.. terima kasih," cukup lama Kiki tidak mengatakan kata terima kasih. Dan malam ini, entah bagaimana dia merasa harus mengucapkan 2 kata tersebut.     

"Apakah, Kihrani.. mau ambil Hoodie," ucapan Aruna mendapatkan anggukan. "Sebentar ya tunggu di sini,"     

Aruna masuk ke dalam sweet room.     

"Siapa sayang," Mahendra menyapa. Sebab pintu masih terbuka, Kiki pun mendengarkan suara laki-laki yang ia duga adalah tuan muda yang di ceritakan Thomas.      

Kamar mewah, bahkan lantainya di lapisi karpet tebal yang indah. Kiki sempat mengamati sekelilingnya. Tidak salah lagi, jelas sepasang suami istri ini ialah tuan muda beserta istrinya yang ada di Instagram maupun yang diceritakan Thomas.      

"Saya, benar-benar berterima kasih, sudah membantuku," Kiki tersenyum mendengar kalimat Aruna.      

"Boleh saya menyampaikan sebuah permintaan?"     

Pertanyaan Kiki menimbulkan kerutan di dahi Alvin.     

"Silahkan.. semoga aku bisa membantumu," Aruna terlihat sangat ramah di mata Kiki.     

Tanpa kenal lama pun orang akan sadar perempuan hamil tersebut tipe orang yang tidak suka mencari masalah.      

"Huuuh" Kiki, yang memperkenalkan diri atas nama Kihrani tengah berdoa, mengharap kebaikan pada detik ini.      

"Anda boleh tak percaya kata-kata saya," pernyataan gadis berambut hitam ini kian mencurigakan bagi Alvin.     

"Seseorang yang menjadi korban percobaan pembunuhan di hukum di bawah sana, di bawah lantai ini, namanya Thomas,"     

spontan Kiki di seret oleh Alvin.     

"ALVIN HENTIKAN!!"     

"Aruna..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.