Ciuman Pertama Aruna

III-180. Redam Emosi, Bomb!



III-180. Redam Emosi, Bomb!

0"klatak," dua buah minuman segar di letakkan seseorang di atas meja kasir. Dan perempuan yang bertugas sebagai kasir toko tersebut terlihat buru-buru meraih minuman ringan rasa lemon ke arah mesin pendeteksi harga.     
0

"Dua, lima belas ribu delapan ratus," pembeli yang tak sempat di lihat rupanya -sebab toko sedang padat-padatnya- menyerahkan kartu, dan si petugas berambut hitam pekat tersebut segera meraihnya, dia menggesek kartu pada Mesin EDC -Electronic Data Capture-, "Bapak, silakan pencet-" kalimat ini tersekat, petugas kasir yang tengah mempersilahkan customer-nya untuk memencet mesin EDC, mendapatkan senyum manis ganjil dari lelaki yang kini menatapnya lekat-lekat.     

Kiki tertangkap membuang arah pandangannya dan spontan ekspresi ramah yang wajib ia tunjukkan kepada customer berubah total. Gadis ini tiba-tiba memasang raut muka luar biasa ketus, "bisa anda lebih cepat?" ucap Kiki kepada customer berwajah lancip yang dengan sengaja memperlambat transaksi jual beli di antara mereka. Bagaimana bisa, Vian pura-pura lupa password cardnya.     

"Apakah anda sibuk nona?" selepas usai menapaki Tangannya di atas tombol-tombol EDC. Vian melempar tanda tanya.     

Sejujurnya Vian mengetahui tempat gadis ini bekerja sudah jauh-jauh hari, semenjak terakhir kali ia meninggalkan rumah di pinggiran sungai kota metropolitan. Vian meminta informasi dari anak buahnya, salah satunya di gadis bernama Kiki bekerja dan seperti apa kehidupannya.     

Kiki tidak menjawab pertanyaan Vian, dia buru-buru membungkus dua botol minuman dingin rasa lemon. Lalu menyerahkannya kepada pria yang masih tersenyum ganjil ke arah dirinya. tidak lupa gadis tersebut menyodorkan kartu milik pelanggan.     

"em.. saya mau.." Vian terlihat berpikir. Masih enggan meninggalkan meja kasir. "-mengisi pulsa handphone saya," barisan gigi rapi Vian terlihat. Dia lagi-lagi mencoba seramah mungkin di hadapan perempuan yang ekspresi ketusnya kian menjadi-jadi.     

"boleh tahu nomor handphone Anda?" Kiki mencoba bekerja sesuai prosedur. Walaupun jelas-jelas dia sedang terganggu.     

"oh oke," pria tersebut mengeluarkan handphonenya, selepas terlihat beberapa kali memainkan jari di atas smartphone -Vian yang cenderung membuat segalanya jadi lama- mengakibatkan customer lain yang mengantre di belakang barisan kasir Kiki Bergeser ke kasir sebelah, "085 334 78 79 xx" Vian menyebutkan nomor yang tidak asing di telinga Kiki. Sebab nomor tersebut adalah nomor Kiki sendiri, "aku mau, membeli pulsa rp500.000 untuk nomor ini," mendengar kalimat tersebut terdengar hela nafas gadis yang rasa kesalnya sudah mencapai ubun-ubun.     

Perempuan ini meletakkan dengan kasar kartu pembayaran milik Vian tepat di bawah berdirinya pria tersebut, "apakah yang kamu ingin menagih baju yang kamu belikan untukku, " Vian tidak menjawabnya. Vian malah menatap Kiki lebih dalam-dalam.     

"Ya," tegas Vian.     

"baik," nafas lelah terdengar sekali lagi, "kembalilah ke tempat ini setelah tanggal 1," gadis berikut bicara dengan nada serius, "mungkin aku bisa membayarnya menggunakan gajiku," _atau dengan menjual baju pemberiannya di aplikasi preloved, semoga lekas laku_ gumam Kiki.     

"Maaf, aku maunya di bayar sekarang!" kalimat permintaan dari Vian sungguh mengesalkan.     

"Anda mau menyiksa saya? Maaf, saat ini aku nggak punya uang sebanyak itu," lugas Kiki membalasnya.     

"Kamu bisa membayarnya dengan cara lain," Kiki mengerutkan keningnya mendengarkan pernyataan Vian, gadis ini mencium sesuatu yang di rasa tidak beres.     

"Ki, selesaikan urusan pribadi mu, di luar jam kerja," kata-kata ini berasal dari seorang laki-laki yang menepuk bahu Kiki -manajer toko tempat Kiki bekerja-.     

"Ah' baik pak," Kiki lekas merubah raut muka ketus menjadi ramah, "Ada yang bisa saya bantu, lagi?" suara prosedural ini kentara sekali, kalau dibuat-buat.     

"pulsa yang aku beli belum di transaksi kan," lagi-lagi Vian membuat Kiki ingin meledak saja. Mata Kiki melebar, namun ada senyum yang sama lebarnya. Untuk menutupi ekspresi kesalnya kepada Vian dari pengawasan manajer toko.     

"nomor yang anda sebutkan, Saya rasa salah," Kiki mencari ide supaya kelakuan Vian yang keterlaluan ini tidak berimbas kepadanya.     

"anda salah," Vian membuat panggilan ke nomor telepon Kiki. Otomatis, saku baju Kiki yang berisikan handphone-nya bergerak-gerak. Akibat dari mode bergetar yang Kiki pasang di smart phonenya.     

Spontan nafas kiki naik turun, antara terjebak harus menuruti permintaan customer serta pengawasan sang manajer yang saat ini melakukan pengecekan transaksi pada komputer tepat di samping Kiki berdiri.     

"Kau.. awas kau.." gerutu Kiki lirih hanya untuk Vian.     

Vian menarik bibirnya, "keluarlah sebentar, Aku ingin bicara denganmu," pinta Vian sama lirihnya hanya untuk Kiki.     

Lagi-lagi kedua alis Kiki dibuat menyatu oleh pria tersebut, "Aku sedang bekerja-" kalimat ini di lontarkan Kiki bersama transaksi pembelian pulsa handphone pesanan Vian, "-pulsanya kemungkinan besar sudah masuk bapak.., ada lagi yang bisa saya bantu?"     

"anda melakukan kesalahan," ucap Vian mengamati setruk, "saya beli lima ratus ribu bukan lima puluh ribu," Vian menatap Kiki, jelas ini konfrontasi.     

"Ah' apa??" Kiki grogi seketika.     

"apa yang kau lakukan Kiki?" Manajer Kiki mengambil alih hingga wajah perempuan berambut hitam legam ini merah padam.     

.     

"Lain kali jangan sampai hal-hal semacam ini terulang!" akhirnya Kiki mendapat teguran.     

Sebab Vian yang ternyata menunggu di dalam mobilnya, bukan pulang. Mobil Vian terparkir di depan sebuah minimarket tempat Kiki bekerja. Lelaki berwajah sendu tersebut pantang menyerah, berulang kali keluar masuk untuk beli sesuatu demi bisa bicara dengan Kiki.     

.     

"Jam berapa kamu pulang?" Vian beli Snack Kiki terbungkam tak berminat membalas apa pun yang di lontarkan Vian.     

.     

"Kenapa kerjamu lama sekali??" beli alat pencukur kumis.     

Kiki tak peduli.     

.     

"bisa tidak kau keluar sebentar saja, hanya 5 sampai 10 menit," beli detergen saking bingungnya, tidak ada punya ide.     

"Pergilah kau! Dasar pengganggu!" kesal Kiki hampir membanting Detergen andai saja tidak ada CCTV.     

.     

.     

"Redam emosi, Bomb" kata Vian, beli es krim dua buah, satu untuknya yang satu untuk Kiki.     

Bomb adalah kenari hitam berjambul dalam serial kartun angry bird, nama latinnya Passeriformes Corvus.     

"Apa yang kau lakukan orang Aneh! Dasar kau! Menyebalkan! Pergilah kau!" umpat Kiki geram bukan main, sayang sekali suara kemarahan harus dia barengi senyum bernada rendah sebab masih dalam mode bekerja.     

.     

"Ki.. apa kau kenal dia? Dia penggemarmu?" teman kasir sebelah mendekat selepas Vian lagi-lagi mendekam di mobil. Tak ada tanda-tanda meninggalkan pelataran minimarket tempat Kiki bekerja.     

"Yang benar saja.. siapa aku, punya penggemar seperti dia. Em.. sejujurnya.. " kalimat Kiki sempat terhenti.     

"Sejujurnya.. apa Ki? Jangan bikin penasaran!" gadis berseragam serupa Kiki menatap temannya penuh telisik.     

"Dia rentenir yang nagih hutang," jawab Kiki.     

"APA??" wajah ngeri langsung hadir di raut muka teman Kiki.     

"maka dari itu bantu aku.. keluarkan motor ku. please.." tangan Kiki menyatu, membuat permohonan, dia merayu temannya dengan wajah harap-harap cemas, "Rencananya aku nanti bakal lari diam-diam, lalu bawakan motorku di ujung jalan sana," Kiki mencari cara menghindari Vian.     

"Jadi, orang itu? yang namanya Sasono? Rentenir kampung mu yang kabarnya sengaja menjebakmu agar kamu mau di nikahi?" teman Kiki berwajah duka.     

"iya.. benar.. benar.. itulah Sasono," penjelasan Kiki rancu banget.     

"aku sih mau saja dinikahi, pria barusan ganteng Ki.. cakep banget malah," ternyata teman Kiki sama mengawurnya.     

"dia pria hidung belang, istrinya se-lusin, kamu mau?" Kiki menakut-nakuti.     

"no no no, mending 1 nggak tampan tapi tulus," balas teman Kiki.     

"nah, makanya, bantuin aku dong,"     

.     

.     

Malam itu, tepat pukul setengah 10 malam. Vian yang tertidur tidak sadar ketika Kiki berlari dengan memanfaatkan jaket hoodie, gadis tersebut mengambil langkah cepat menyusul temannya yang sudah menunggu dirinya di ujung jalan.     

Kiki merasa jadi juara, saat motornya melesat menembus angin malam pergi jauh terbebas dari laki-laki yang bernama Vian.     

Fisiknya lepas dan terbebas, sayangnya kehadiran Vian membuatnya kembali terjerat oleh kenangan. Tentu saja kenangan tersebut ialah memori Thomas, yang entah bagaimana kabarnya pria tersebut.     

Kiki menyadari, mungkin saja dia bisa bertanya pada Vian terkait kabar Thomas. Sayang sekali gadis ini meyakini Thomas tak ingin menemuinya. Kalaupun Thomas mau berjumpa dengan dirinya dan keluarganya dia tentu sudah membalas pesan-pesan Kiki.     

"Ah?? AAAGRH.....!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.