Ciuman Pertama Aruna

III-168. Terlalu Manis



III-168. Terlalu Manis

0Sekelompok anak muda berjalan beriringan, mengekori langkah Herry. Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan suami Aruna sehingga mereka semua diminta berkumpul.     
0

Tim surat ajaib diminta naik menuju lantai 2. Sesaat kemudian memasuki lorong-lorong rumah yang berakhir pada sebuah pintu, yang mana ketika pintu dibuka menyajikan ruang meeting.     

Semenjak kembalinya Aruna ke rumah induk untuk kedua kalinya. Perempuan ini tidak sama seperti pernikahan mereka yang pertama. Dulu ia seringkali menghabiskan waktu dengan rasa penasarannya berkeliling rumah Megah, hingga naik ke lantai tertinggi mencari tahu ada apa saja di dalam rumah yang berdiri kokoh sendirian pada lereng bukit tepian kota metropolitan.     

Saat sekelompok anak muda masuk, dimana Aruna menjadi salah satunya. Suaminya bangkit, merelakan tempat duduknya, berjalan mendekati Aruna lalu memberinya pelukan termasuk kecupan di pelipis. "walaupun kesannya meeting, aku mau teman-teman semuanya rileks saja," Hendra menggunakan kata teman-teman, kata asing yang ia sadur dari isterinya, "Anggap saja kita sedang ngobrol," Mahendra melempar senyum kepada tim Surat Ajaib yang memberinya tatapan telisik, penuh rasa penasaran.     

Mahendra menarik tangan istrinya, sehingga perempuan ini berakhir duduk di sampingnya, terpisah dari teman-temannya.     

Sejalan dengan kedatangan para asisten rumah induk yang menyajikan makanan ringan di hadapan para tamu. Wajah-wajah tegang tersebut mencair, sebuah kudapan bergoyang di hadapan tiap-tiap mata. warnanya kuning cerah dan terselip buah-buahan pada sela-selanya, tidak bisa dibiarkan, terlalu menarik minta segera di sendok dan dicicipi. Seperti apa rasanya.     

Tertangkap senyum penuh makna Surya di ujung sana, yang tengah duduk mengiringi Dea. Senyum sarat makna itu, sebuah komunikasi implisit yang hanya bisa diterjemahkan 2 orang laki-laki. Surya mengirim kode pengakuan, betapa cerdasnya cucu Wiryo mengawali komunikasi dengan memberikan rasa nyaman pada tim surat ajaib.     

"silakan dicicipi, sambil menunggu yang lain," lagi-lagi suara ini muncul dari lelaki bermata biru.     

Di sisi lain seperti juga teman-temannya, Aruna segera meraih sendok, ibu hamil tersebut terlihat lebih rakus daripada yang lainnya.     

Tangan Mahendra menyapa perut perempuan, mengusap-ngusap perut Aruna yang tengah asik melahap puding.     

" sebenarnya saya ingin mendiskusikan sesuatu dengan kalian, di tempat yang lebih nyaman," Mahendra tahu lawan bicaranya adalah sekelompok anak milenial yang tidak tertarik dengan hal-hal berbau formalitas.     

"sayangnya akan sulit menyajikan ide yang sudah di siapkan, di slide show, tidak keberatan kan teman-teman? saya ajak ngobrol di tempat seperti ini?" anggota tim surat ajaib menggelengkan kepala pertanda 'tidak keberatan'. Mereka mau tak mau harus menggelengkan kepala, walaupun tentu saja isi kepala mereka berkecamuk penuh tanda tanya.     

"Aku mau lagi," Aruna konsisten fokus pada makanannya. Hendra menoleh dan disambut langkah mendekat salah seorang asisten rumah tangga yang kemudian undur diri menghilang di balik pintu demi memenuhi permintaan nona muda.     

.     

Tidak butuh waktu lama Timi berserta 3 orang lain yang kabarnya membantu tumbuhnya surat ajaib duduk di seputaran tim surat ajaib. Kedatangan mereka pun disambut dengan kudapan segar. Dan Aruna melahap porsi keduanya.     

Timi beserta 3 orang lainnya lebih serius, mereka menikmati kudapan sambil membuka notebook, sesekali terdengar berdiskusi.     

"Maaf, apa aku terlambat"     

"Kakak?" Aruna tak percaya laki-laki yang baru saja muncul dari balik pintu adalah Anantha. Mantan gadis ini berdiri, dan berlari memeluk kakaknya.     

Anantha yang mendapatkan pelukan Aruna turut mengelus-elus punggung si bungsu, "aku sudah terlambat, nanti kakak bisa memelukmu lebih lama," ucapan Anantha merenggangkan tubuhnya, mengamati wajah Aruna.     

"saya juga minta maaf, jalanan sangat padat," ternyata bukan hanya Anantha yang datang. Aditya suami Aliana menyusul di belakang punggung Anantha. Pria berkacamata tersebut menepuk pundak Anantha, "Nona kami harus bekerja," sarkas nakal tersebut membuat Aruna melepas pelukannya.     

Dipanggil nona oleh kakak-kakaknya sendiri membuatnya geli.     

.     

Mahendra sempat membuka meeting hari ini dengan mendefinisikan maksud dan tujuannya. Dalam kalimat pembuka Mahendra ada satu hal yang sempat dikutip Aruna, "Aku ingin surat ajaib tak lagi menjual aksesoris atau jasa, Aku ingin surat Ajaib menjual brand," hampir semua orang kecuali Aruna, Lily termasuk Tito dan Laras mengangguk-ngangguk.     

Jangan ditanya apa yang dilakukan Dea, perempuan berhijab itu tengah cemberut sebab setiap kali meletakkan benda di atas meja tangan suaminya spontan membenarkan letak benda-benda yang berada di meja Dea. Bisa jadi Dea merasa tidak nyaman ketika makan puding maupun sekedar meletakkan bolpoin di atas meja. Dea diperlakukan layaknya anak kecil yang selalu kurang tepat dan butuh bantuan Kakaknya alias Surya. Perempuan tersebut memilih memendam gundahnya sendiri.     

"sejujurnya aku tidak paham," Lily, gadis yang hobi mengujarkan isi kepalanya secara santai.     

"kita kan jualan benda dan jasa, apa itu jualan brand??" Timi sempat melirik Lily dan tak bisa menyembunyikan keinginannya untuk tersenyum jahil.     

Senyum jahil Timi dibalas tatapan permusuhan oleh Lily.     

"setahuku Lily mahasiswa ekonomi?" maksud Mahendra, harusnya Lily paham pernyataan tersirat Mahendra mempunyai makna tertentu.     

"Aku lebih suka mengaplikasikannya secara langsung daripada mempelajari teori," beginilah Lily, gadis yang bebas mengekspresikan dirinya.     

"aku juga nggak mengerti?" ucapan lily diperkuat Aruna.     

"Aaa…" Mahendra baru sadar dirinya tidak meeting dengan anak buahnya.     

"nanti, setelah meeting ini saya janji akan menjelaskan hal-hal yang belum kalian pahami," ini suara Aditya, pria yang sedang belajar menjadi sekretaris Mahendra. Jabatan terakhirnya adalah leader, memimpin tim pemasaran. Sekelompok tim yang bertugas merancang strategi pemasaran untuk tiap-tiap anak perusahaan Djoyo Makmur Group.     

Dan sudah dapat diduga, raut muka Lily berubah cemerlang. Aditya mencukupi rasa penasaran Lily atas keingintahuannya. Lily tahu kakak ipar Aruna yang dulu pernah mentraktir teman-teman Surat Ajaib begitu mengagumkan di bidangnya.     

Berbeda dengan Lily yang harus menunggu berakhirnya meeting baru akan dijelaskan, Mahendra menundukkan kepalanya menyusupkan penjelasan ditelinga Aruna, "seperti dirimu yang sudah mempengaruhi psikologis konsumen mu, maka sebagai konsumen, aku cenderung percaya dan menganggap setiap tindakan mu terlampau profesional untuk menjadikan ku bertekuk lutut, dan kau menciptakan daya magis yang sangat berbeda di banding perempuan lain, sehingga tidak ada yang bisa menggantikanmu," analogi Mahendra bukannya mempermudah Aruna untuk raih pemahaman. Perempuan hamil ini terserang pening seketika.     

"Ah, entah lah, kepalaku jadi pusing," kekeh tawa Mahendra terbang ke udara, memenuhi ruangan.     

"baiklah kita mulai saja meetingnya," ujar lelaki bermata biru selepas ia usai tertawa.     

Anantha bangkit dari duduknya. Kakak Aruna merapikan penampilannya yang jelas sudah rapi. Meraih pointer, dan mengawali presentasinya dengan ungkapan maaf, "aku minta maaf atas sesuatu yang dulu pernah aku paksakan pada kalian, hari ini aku hadir menawarkan rencana berbeda, kamu boleh tidak percaya padaku. Tapi adik iparku lah yang bertanggung jawab (Mahendra) atas tawaranku untuk kalian kali ini,"     

"lihatlah persentasiku, Jangan melihat sejarah buruk kita di masa lalu," dan dengan lincah slide demi slide penawaran berupa, di bangunkannya produk digital berlogo paus biru meloncat bersama percikan air menjadi penawaran di luar ekspektasi.     

Surat Ajaib di gambarkan sebagai toko online aksesoris dan pernak-pernik perayaan, yang menawarkan koleksi bridal shower, baby shower, undangan pernikahan, paket hantaran dan produk ungkapan isi hati untuk pria dan wanita. Berpusat di ibukota, Surat Ajaib juga di rencanakan bakal merambah ASEAN.     

"Bahkan aku belum berani bermimpi sejauh ini," gumam Aruna. Lily terlihat menelan salivanya, selepas mengumbar keterpanaan.     

"kado kecil untuk istriku yang merelakan impiannya demi mengandung bayiku," gelombang suara Mahendra menyusup di telinga.     

"Hen, apa ini yang kamu sebut memanfaatkan helikopter untuk mencapai bukit tertinggi?" Mahendra hampir tidak ingat bawa dia pernah berdebat dengan Aruna menggunakan analogi Helikopter versus mendaki gunung dengan kaki dan jerih payah sendiri untuk mencapai puncak tertinggi.     

Berbeda dengan Aruna, yang menyimpan baik-baik ungkapan Mahendra terkait ' mengapa kamu tidak mencoba membangun mimpi yang lebih besar,'     

'jika kamu awalnya hanya ingin menaiki gunung, mengapa kamu tidak mencoba menemukan petualangan baru, lebih jauh lagi. seperti berkeliling dunia menggunakan helikopter atau menggapai puncak yang tak bisa lagi di jangkau helikopter,'     

'selalu ada cara menemukan mimpi baru, masalahnya mau atau tidak,' (Season I, Sumber Mata Air)     

Hendra benar-benar menyediakan helikopter untuknya, untuk menggapai mimpi barunya, "Terima kasih, kadonya, terlalu hebat," dia menangis.     

"Kenapa kau menangis.." Mata biru terkejut.     

"Aah.. sudah lah abaikan, aku hanya terharu,"     

"Apa aku salah?"     

"Tidak bukan begitu.."     

"lalu kenapa menangis? Jangan membuatku panik,"     

Aruna meminta suaminya mendekat, "kau.. em.. terlalu manis,"     

"Aku tidak suka gula," kali ini tawa Aruna yang memenuhi ruangan sambil memukul bahu suaminya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.