Ciuman Pertama Aruna

III-149. Muffin



III-149. Muffin

0"Mommy,"     
0

Deg     

Suara ini berasal dari sisi kiri Aruna. Semua mata sontak direnggut oleh berdirinya sosok lelaki bermata biru, setelah menyadari dirinya di perhatikan orang orang di sekitar, Hendra duduk kembali.     

"thank you for giving birth to me," ucap Hendra tanpa sadar menggetarkan banyak hati tersembunyi. Pria ini bahkan terserang gugup meraih sendok yang berjajar di hadapannya, tak lama diletakkan kembali, dia grogi, lagi-lagi membuat gerakan janggal, memutuskan mengambil kue muffin coklat dan buru-buru menikmatinya begitu saja.     

Aruna tahu suaminya sedang gugup, cara Hendra menutupi ekspresi canggungnya dengan menjalankan aktivitas tidak penting seperti yang baru saja ia tunjukkan. Termasuk membatasi arah pandangnya terhadap orang-orang di sekitarnya.     

"Apa muffin-nya enak?" perempuan yang menyadari kecanggungan menyerang seluruh anggota keluarga, lekas memutuskan memecah kebekuan.     

"Ya. Lumayan.. kau mau mencobanya sayang?" mata biru segera menoleh, menatap Aruna, Aruna membuka mulutnya, tentu saja hal tersebut di sambut Hendra dengan mendekatkan muffin ke bibir perempuan yang tengah menyipitkan mata.     

"Emm.. manis,"     

"no sugar is better, baby,"     

"Tidak.. tidak.. gula membuat kita bahagia," Aruna mengikis kecanggungan Hendra. Semua orang di lingkaran ini sangat paham. ibu dan anak tersebut sedang berjuang melawan sulitnya membuka diri satu sama lain. Mommy Gayatri pun sama. setelah mendengarkan ucapan Mahendra wajah merah seketika, menunduk dan beberapa kali matanya terlihat mengerjap. Perempuan ayu tersebut berupaya keras tidak meneteskan air mata. Andai Dokter Diana tahu apa yang terjadi detik ini tentu sang dokter akan berbahagia, malah mendorong Gayatri supaya menangis sekalian.     

Tiap ekspresi Gayatri adalah harta karun keberhasilan di mata Diana. Tangan Gayatri masih bergetar. Meraba meja seolah ingin merapikan beberapa benda namun serba salah. Mirip sekali dengan kelakuan Hendra ketika rasa bingung dan canggung teraduk jadi satu.     

Pada percakapan Aruna dengan Mahendra -suaminya, Aruna tak menduga akan berakhir mengharukan, efek kalimat sederhana yang di lontarkan Hendra membekukan isi ruangan. Aruna bahkan sadar yang sedang berkaca-kaca -tanpa terbebani- malah oma Sukma, perempuan paruh baya disebut tiba-tiba memeluknya, "kau yang terbaik yang di kirim Tuhan pada kami, Allah mengabulkan doa-doa ku," ucap syukur Oma Sukma bikin Aruna salah tangkap.     

"Iya, baby yang terbaik," Aruna mengelus perutnya. Pasti ini tentang perut berisi janin yang sejak tadi di kagumi oma Sukma.     

"apa pun jenis kelaminnya, baby akan jadi yang terbaik," Aruna bicara sambil mencoba menelan muffin yang ia gigit. Kalimat ini ialah sarkasme untuk lelaki paruh baya yang semalam mengonfrontasi dirinya terkait jenis kelamin bayinya.     

"Oma setuju," Tandas Sukma, Aura positif Sukma langsung terbit dengan sekali sentil. Sukma nenek yang teramat ramah, dia mudah bahagia dari hal-hal sepele bahkan mudah sekali terharu lalu sekejap berikutnya tiba-tiba bersemangat.     

Untungnya Wiryo terdiam, Aruna memutar otaknya bagaimana supaya Oma duduk kembali ke sisi Wiryo. Semalam dirinya mendapatkan tantangan pertama, mengembalikan Oma Sukma yang sempat marah untuk segera berdamai dengan opa Wiryo.     

Di tengah-tengah pikiran Aruna yang melayang, Aruna melihat gerak tangan Oma Sukma meraih telapak tangan putrinya. Kumpulan asisten rumah tangga mulai sibuk meletakkan hidangan untuk tuan rumah. Dibalik kebisingan tersebut, Aruna mengamati bagaimana cara seorang ibu menjaga dan melindungi hati putrinya hanya dari sentuhan tangan.     

Mengharukan, tentu saja. Sebab pria yang duduk di sampingnya. Secara mengejutkan menghabiskan 3 buah muffin manis yang jelas-jelas tidak ia sukai. Hendra tidak suka makanan yang memiliki kandungan gula berlebih.     

"Hendra stop! Nanti kamu kenyang sebelum sarapan," Aruna memegang tangan Mahendra.     

Pagi ini tampaknya sarapan akan jadi kacau, tanpa komando yang biasanya dipimpin oleh tetua Wiryo. Masing-masing anggota keluarga terutama Wiryo sendiri, meraih piringnya dan mulai makan begitu saja. Padahal asisten rumah tangga belum selesai sepenuhnya, menyajikan makanan.     

"Huuh," berawal dari embusan nafas, saking banyaknya adegan membingungkan pagi ini. Putri Lesmana menemukan ide, "oma, mengapa anda tidak duduk di kursi Anda?" perempuan yang diajak Aruna bicara -terdiam.     

"Duduklah di tempat anda, jangan sampai tempat anda aku gantikan,"     

"Hehe.. kalau kamu mau," kalimat ini disampaikan Sukma menggunakan nada unik, jelas sekali oma sedang menyentil seseorang.     

_ribet sekali lingkaran setan keluarga ini, mirip sinetron!_ Aruna berdiri, berjalan pergi dari tempat duduknya, hal itu menyita perhatian Mahendra. Lelaki Mata biru tidak terima.     

"Baiklah mulai sekarang aku nyonya besar," konyol sekali, "hentikan makan kalian," terlalu berani menirukan logat Sukma, "jangan lupa mensyukuri apa yang kita dapatkan hari ini," kalimat yang diterbitkan kali ini, biasanya diucapkan Wiryo.     

"kau berani memarodikan ku??" Wiryo meletakkan sendoknya. Menatap Aruna.     

"Aku sedang berusaha opa," balas Aruna santai.     

"berusaha memarodikanku?" Wiryo menatap Putri Lesmana dengan ekspresi tercengang. Bisa-bisanya anak ini tidak punya sopan santun.     

Tanpa disadari bukan hanya yang ada di meja makan, yang diam-diam mengintip mereka, alias para asisten rumah induk terjerat rasa penasaran.     

Nona sangat berani, kasak-kusuk terjadi.     

"berusaha memenuhi permohonan Opa!" monolog Aruna terlalu berani.     

"permohonan??" Wiryo tercengang. Menduga-duga apa yang membuat Putri Lesmana dengan percaya diri, berperilaku frontal padanya.     

"Iya, siapa yang semalam memohon pada saya? bahkan memberi misi pada saya. Misi utama, mengembalikan oma Sukma pada pelukan anda,"     

"Apa?" wajah Wiryo merah padam, bukan karena marah, sebab telinganya ikut memerah, "aku tidak bicara sampai se-.. aku tak mengatakan seperti-" Wiryo kehabisan kata.     

Lelaki ini tidak bisa berkata-kata, sebab Sukma tengah membulatkan matanya lebar-lebar, menangkap keberadaan Wiryo dengan raut muka tercengang.     

"jangan mengelak, saya bicara jujur, iya kan opa?"     

"Ah, sudahlah.." Wiryo mengayunkan tangan kirinya seolah tak lagi berkenaan lanjutkan percakapan.     

" Saya minta maaf, bukannya saya lancang, tapi anda tidak memberi batasan-batasan -cara apa yang harus saya gunakan," Aruna tersenyum lebar, Hendra lupa rasa canggungnya. Lesung pipinya malah terlihat. Sang cucu sedang menekan perutnya supaya tidak menertawakan kakeknya.     

"Misi harus di selesaikan dengan hasil maksimal, tak peduli apa pun caranya, kali ini berlaku juga, -kan Opa??" Wiryo terkekeh tak percaya, dia di rundung putri mantan ajudannya.     

"Sukma kembalilah ke tempat dudukmu, atau kita akan jadi bulan-bulanan, anak ini," suara Wiryo mengamati sekilas istrinya.     

"Coba, kau.. Hu..h Anda.. sadar tidak, bahwa ucapan Anda semalam, sangat buruk," Sukma masih merajuk.     

"Ya.." hanya itu yang terdengar dari ucapan Wiryo. Terlalu rendah volumenya.     

"Aku rasa Oma hanya butuh satu kata, tapi bukan. 'Ya'," ini kalimat Aruna mulai serius mendamaikan keduanya.     

"Cobalah minta maaf!" ini suara Hendra. Berani juga Mahendra memberikan masukan kepada kakeknya. Sepertinya setelah melihat kekonyolan istrinya lelaki bermata biru menurunkan egonya Terhadap tetua Wiryo.     

Sayang sekali, pada akhirnya kelima anggota keluarga ini membeku. Sebab tetua Wiryo lebih memilih diam.     

Aruna kecewa, dia sudah memutus urat malunya, Lagi-lagi tak berhasil. Berdiri meninggalkan tempat duduk Oma Sukma.     

"Aku minta maaf, aku sadar, kemarin aku yang mengawali pertengkaran," Hendra bersuara. Aruna sudah mencapai tempat duduknya. Wajahnya sontak lesu.     

Padahal Hendra sudah turut membantu memecah suasana. Tampaknya opa Wiryo belum tergerak hatinya untuk mengawali minta maaf ke pada Oma Sukma.     

Aruna kelihatan sekali ekspresi kesedihannya, misi pertamanya gagal, dia tak tahu cara apa lagi yang harus di pakai, sudah seberani ini nyatanya tiada guna.     

Aruna tidak tahu Oma Sukma memperhatikan duka ibu hamil yang enggan makan, hanya karena misi pertamanya menemui kegagalan.     

"Demi cicit ku, aku akan duduk di kursiku," Sukma mengejutkan. Aruna lekas menaikkan wajahnya, dia serta merta terlihat bahagia, Oma Sukma mengambil keputusan mengalah.     

***     

Selepas melempar baju di kepada perempuan, yang berdiri sambil mengamat-ngamati ingin melarikan diri. Vian sedang mengamankan beda tajam. Seperti pencukur kumis, ke dalam saku celananya.     

"Kau ingin aku yang menggantikan bajumu, atau kau ganti baju sendiri?, He.." ada tawa berupa hinaan yang di terbitkan suara Vian. Sembari melepas tangan Kiki yang terikat dasi, Vian membisikan sesuatu di telinga Kiki, "cobalah melarikan diri. kalau kamu bisa, asal kamu tahu, semakin kamu berontak     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.