Ciuman Pertama Aruna

II-61. Gelas Kaca



II-61. Gelas Kaca

0.     
0

"ARUNA!! PULANG!!" mata tentara kamikaze merah padam penuh kemarahan menarik tangan mungil kasar hingga gadis itu tanpa sadar tersungkur di lantai.      

"oh ya Tuhan.." Hendra segera bangkit berusaha menyelamatkan istrinya. Gadis tersungkur diraih dan dibantu untuk berdiri. Bersamaan dengan mata seorang kakak yang seolah-olah akan membakar keduanya.      

"Lepaskan tanganmu dari adikku!!" Anantha mendorong dadah Hendra sekuat dia bisa.      

"Ayo Aruna kita pulang! Bisa-bisanya kau melakukan ini. Jangan jadi gadis bodoh" dan Anantha menarik lengan Aruna membawanya pergi keluar dari restoran. Belum sampai lima langkah Aruna mencoba melawan.      

Sedangkan di sisi lain lelaki bermata biru yang sedang kalut berusaha mendekati kakak Aruna: "Aku mohon jangan seperti ini!"     

"aku tidak ada urusan denganmu. Urusanku dengan adikku" Anantha mencengkeram tangan Aruna lalu berusaha untuk menariknya sesegera mungkin. Untung restoran ini adalah tipe restoran sweet room yang bisa dipesan dalam satu room eksklusif khui customer VIP dan Hendra menyiapkan hal itu spesial untuk Aruna. Jadi hanya mereka dan para waiters saja yang menyaksikan kericuhan 3 orang ini.      

"Please! Kumohon! Jangan berlaku seperti ini pada kami. Bagaimanapun juga kami masih suami istri" Hendra memegangi lengan Ananta berupaya untuk meredam kemarahan kakak tertua Aruna. Dia hampir tidak tega melihat istrinya sudah terlihat mulai ingin menangis.      

"lepaskan tanganmu dariku!" putra sulung Lesmana mengeraskan suaranya. Dia mencoba menggertak pewaris tunggal Djayadiningrat. Sebagai bentuk tindakan bahwa dirinya tidak merasa takut sedikit pun pada adik iparnya.      

"Jika kau ingin marah, marah saja padamu"      

"Aku tidak ada urusan denganmu." Anantha Bicara seperti itu sambil mencoba menarik tangannya dari Hendra. Tapi suami adiknya sama sekali tidak bergeming, bagaikan dua orang yang ingin menghancurkan satu sama lain. Apalagi ketika Anantha mulai bergerak melepas pergelangan tangan Aruna. Hendra menyadari pria itu seolah ingin memukulnya saja.      

sejalan dengan tangan gadis mungil  dilepas kakaknya, Hendra pun melepas tangan Anantha. Hendra berupaya merengkuh istrinya. Tanpa disadari tentara kamikaze itu mengayunkan kepalan tangan tepat di wajah Mahendra.      

Hantaman yang kuat tanpa aba-aba, hampir membuat mata biru Limpung terjatuh. Untung dia segera menyeimbangkan dirinya. Menyentuh dan menemukan bibirnya terasa aneh, ada cairan yang asin seperti darah.      

Suami Aruna menegakkan tubuhnya. Menghela nafas dalam-dalam, Ingin sekali dia membalas perilaku kakak iparnya.      

Dan niat itu dia telan dalam-dalam mencoba sekuat mungkin diurungkan. Mahendra tahu dia masih berharap suatu saat punya hubungan yang erat dan dekat dengan seluruh keluarga istrinya.     

 Dia menjaga rasional di otaknya, berupaya keras redam emosi di dadanya. Ananta akan sangat marah dan bisa mempersulit Aruna kalau sampai Hendra turut membalas perilaku Ananta padanya.      

"Cih, kenapa kau diam saja?"      

"Aku Tak habis pikir, laki-laki yang kabarnya pandai sekali berperilaku kasar pada istrinya. Rela mendapat pukulan karena istrinya pula, tak usah berpura-pura aku melakukan di hadapan ku. Atau aku semakin jijik padamu" hinaan yang sangat tajam Ananta lempar begitu saja tanpa memikirkan perasaan lawan bicaranya.      

"Kak.. Aku tidak mau pulang dengan kakak" dan hari ini untuk pertama kalinya Ananta mendapati adiknya melawan kehendak kakaknya. Sesungguhnya Aruna sedang kecewa dengan kalimat yang dilontarkan Ananta terakhir.     

"Kau sudah terpengaruh Aruna?!" dalam tatapan Ananta sebelum kembali menarik tangan adiknya. Pria itu seolah menghantarkan ungkapan 'kau harus segera pergi dari sini atau pikiranmu semakin kacau'     

Barulah tangan mungil tersebut kembali dicengkeram dan ditarik kakaknya.     

"Kak lepaskan aku! Please! lepaskan aku kak!" gadis ini meraung-raung berusaha untuk melarikan dirinya dari terjerat kakaknya, tangan yang tidak mau berkompromi.      

"Aruna, Aruna akan tersakit kalau kamu seperti itu" Ananta tidak mau mendengar ungkapan yang berusaha terus disuarakan suami adiknya. Pria bermata biru mencoba membuntuti laki-laki itu. Bicara sebaik dia bisa, masih besar harapannya pria keras kepala ini akan tetap jadi keluarga.      

Sayangnya, setelah sampai di lift, Hendra terdorong. Lebih tepatnya didorong sehingga tak lagi bisa membuntuti kakak beradik putra putri Lesmana.      

Suami Aruna menekan tombol lift lain berulang, dugaannya lift di depannya masih lama untuk terbuka. Hendra berlari menggunakan tangga darurat, baru sampai lantai 1 dan keluar dari lobby. Pria ini mendapati mobil Ananta sudah mulai bergerak. mata biru sempat memukul punggung mobil yang membawa istrinya, nyatanya mobil itu melesat lebih cepat.      

"Argh!" ada seorang laki-laki tinggi tegap yang sedang membuang tangannya ke udara.      

"Argh..!!" dia berteriak melepas gundah di hatinya, Ingin rasanya menyuarakan protes. Tapi kepada siapa?     

_Cukup! Cukup! Ini sangat menyiksa.._ mata biru berjalan sempoyongan, dan berakhir duduk pada sebuah kursi di trotoar, coklat legam seperti hatinya yang kalut. Sejenak dia coba memejamkan mata membungkus rasa resah di dada.     

Satu hal yang kutahu.     

Aku tak bisa hidup tanpa dirimu.     

Berasa ada puluhan gelas kaca yang dilemparkan dari ketinggian.      

Kaca itu jatuh berserakan.      

Tepat sama, dengan kondisi hatiku.      

Menyerah?      

Hampir aku memilih pilihan pahit itu.      

Kadang aku lelah menanti kapan ini usai.      

Tapi, hari ini dalam hiruk pikuk kerumitan aku ter-yakinkan, kau pun ingin bertahan.      

Sungguh, ku akan menahan selama jalan suratan menulis dirimu tetap bersamaku.      

Atau aku protes saja penulis suratan itu, supaya dia tidak terlalu lama menyiksaku.     

***     

Koper-koper tertata rapi berbaris sebanyak tiga warna sekaligus, silver hitam dan merah pekat.      

Pengemas koper telah usai dari kesibukannya, rasa lapar menggerakkan dirinya untuk menyiapkan makanan. Hidangan berupa roti bakar dan coklat hangat terbang ke udara seakan memanggil perempuan yang sedang termenung mengamati koper-koper adiknya.      

"ayolah kita sarapan.. jangan terlalu dipikirkan, kita sudah pernah melakukan ini" penyajian hidangan berjalan dari pantry menuju tempat berdiri gadis pengamat koper berdiri.      

Leona menepuk pundak Nana, menjerat pundak itu, membawanya menuju meja pantry.      

"kau yakin akan melakukan ini?" tanya Nana pada adiknya.      

"ya. Sangat yakin.. apalagi kita sudah menjalankan kesepakatan" Leona menjawabnya santai sambil memainkan pisau garpu membuat gerakan mengoles selai di atas roti tawar.      

"Aku, akan bicara dengan Hendra supaya kau tidak pergi" getar Nana disela-sela suara lembutnya.      

"Ah, itu sangat mustahil"     

"aku sangat yakin Hendra pasti bisa aku bujuk"      

"Dia bukan anak kecil 12 tahun yang kamu kenal dulu" celetuk Leona, sudah mulai hafal kebiasaan Mahendra.      

"Apa dia sudah banyak berubah?" perempuan berparas cantik ini penasaran.      

.     

.     

__________________________     

Syarat jadi reader sejati CPA: \(^_^)/     

Bantu Author mendapatkan Power Stone terbaik ^^     

Gift anda adalah semangat ku. Silahkan tinggalkan jejak komentar, aku selalu membacanya.     

Review bintang 5      

Cinta tulus kalian yang membuat novel ini semakin menanjak     

-->     

(^_^) love you All, intip juga novel saya yang lain [IPK : Inilah Perjanjian Kita, Antara Aku Dan Kamu] dan [YBS: You Are Beauty Selaras]. Dengan gaya menulis berbeda dimasing masing novel.     

INFO : Instagram bluehadyan, fansbase CPA. Nikmati Cuplikan seru, spoiler dan visualisasi CPA     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.