Ciuman Pertama Aruna

III-49. Mencemari Mata



III-49. Mencemari Mata

0Tubuh besar dan kokoh Mahendra terkesan sedang menempel pada guling kecil.     
0

"Hendra.."     

"Hem.."     

"Aku terganggu dengan tanganmu yang berdarah, apa aku boleh menghubungi dokter pribadimu," kalimat ini muncul dari perempuan yang tubuhnya di dekap lelaki dengan tangan terluka akan tetapi hanya terbungkus kain putih sembarangan.     

"Tidak, besok saja.. aku lebih butuh kamu," kata Hendra dengan mata membuka sayu.     

Tadinya Aruna ingin mengungkapkan sesuatu, ungkapan rasa kekecewaan. Ungkapan seorang istri yang merasa suaminya tidak memperlakukannya dengan baik.     

Tapi dirinya telah memutuskan sepenuh hati menyerahkan diri pada Hendra. Sejak saat itu pula dia harus bisa menerima segala bentuk perilaku dan kondisi Mahendra.     

Sisi baik atau sisi buruknya. saat dia berada di puncak kejayaan atau di dasar keterpurukan. Saat dia bersedih ataupun Saat bahagia. Mahendra, akan dia usahakan untuk diterima.     

Aruna Sempat ingin berkata: "ingin ke rumah Ayah, sejenak melepas lelah," kalimat ini akhirnya tertelan sendiri.     

Dia tak bisa melakukan itu, bisa jadi Hendra sedang rapuh atau sedang berada dalam keadaan terpuruk, amat membingungkan.     

Dia seperti manusia berjubah emas, akan tetapi di balik jubah emas tersebut seolah menyembunyikan baju lusuh. Atau jangan-jangan menyembunyikan berbagai senjata berbahaya di balik jubah emas tersebut.     

Entahlah, Aruna minim informasi, namun satu hal yang harus ia ubah dari rasa penasarannya yang kian membuncah.     

'dirinya harus jujur pada Mahendra, terkait hal-hal yang dirasakan, supaya dia tidak tersiksa oleh khayalan yang mencekam terkait pribadi suaminya'     

"Aku merasa hari ini Kau berbeda," mata Hendra yang sempat kembali terpejam, kini membuka perlahan. Sayangnya dia tak bersuara, memilih diam.     

"Aku lebih suka Hendra yang memberiku cinta dengan raut wajah tersenyum dari pada raut muka menakutkan," kalimat Aruna ialah sindiran halus untuk suaminya.     

Dibalik selimut ada yang mengeratkan pelukan.     

"Apa kamu ingin tahu apa yang aku rasakan??" kata tanya berikutnya membuat pria tersebut kian membenamkan seluruh wajahnya di tubuh perempuan mungil ini.     

"Aku harap kamu tahu ada rasa tak nyaman yang menyakiti.." kalimat ini terhenti. Aruna merasakan ada yang mengelir basah pada permukaan kulitnya.     

Perempuan tersebut seakan tersumpal kembali. Bukan oleh lumatan.     

Dia yang menyekat suara Aruna diam tanpa suara, cukup lama, Aruna perlahan sadar mata biru melelehkan sesuatu.     

Dan perempuan ini tak mau membahas atau menjadikannya pertanyaan, dia memberi jeda rasa ingin tahunya. Sebagai bentuk menghargai kondisi hati Mahendra.     

"Aku.. " suara ini bergetar.     

Aruna tak bisa mendengar ini. Hendra tak pernah sekalipun menunjukkan kelemahannya. Gadis ini buru-buru memiringkan tubuhnya dan mendekap kepala lelakinya dalam dada.     

"Tidurlah.. aku tahu kamu lelah.." kata Aruna yang kemudian menyadari air mata tersebut bukan dugaannya.     

"aku mau kita tidur, aku juga ingin istirahat," kembali Aruna berucap menghentikan bibir bergetar Mahendra, dia perlahan mengelus rambut kecokelatan.     

Sampai-sampai diamnya mereka seolah memberi ruang deting jam. Jarum-jarum tersebut bergerak memutar sekian kali hingga akhirnya Aruna yang tak bisa mengistirahatkan pikirannya mendapati pria yang membasahi dada akhirnya hilang di bawa mimpi.     

Aruna bergerak perlahan merenggangkan diri, dan tubuh terkulai kokoh di sampingnya di benarkan posisi kepalanya, termasuk tangan terluka berdarah di tata sedemikian rupa supaya nyaman.     

Aruna tidak berani membuka kain putih itu, dia tidak sanggup jika menatap bagian dalamnya. Gadis itu hanya mengelusnya sesaat. Lalu meringkuk ikut mencari penenang dengan menghapus bekas duka di pipi suaminya. Yang kemudian mencoba menutup mata.     

-Aku tak tahu apa yang menjadi bebanmu? Mungkin -kah kamu lelah? Atau hari ini terlalu buruk? Tak apa aku tak akan bertanya. Akan ku cari sendiri apa yang menyelimuti kehidupan misteriusmu, yang kabarnya hitam itu," Aruna membuat ungkapan menenangkan diri.     

-Tak apa, aku bahagia, akhirnya kamu mau menunjukkan dukamu padaku- Aruna kembali menghibur dirinya dia antara polemik pelik yang menggerogoti hubungannya dengan Mahendra.     

***     

"Ada yang bisa saya bantu?" Lesmana to the point.     

"Aku dengar kau mengizinkan putrimu kembali pada Hendra?" Wiryo kian yakin setelah berita pencabutan gugatan telah sampai di telinganya.     

Mata Wiryo lebih dari dua, bahkan ketika surat rekomendasi yang harusnya sampai dulu ke meja tergugat untuk di tandatangani cucunya belum terjadi, Tetua lebih dari tahu.     

"Ya," jawab singkat Lesmana.     

"apa putrimu tinggal dengan cucuku atau?" Wiryo butuh informasi ini.     

"Iya, Aruna baru-baru ini memilih tinggal dengan Hendra," Lesmana bahkan mengetahui ini setelah kedatangan keduanya pada kelahiran putra Aliana.     

"kau tahu di mana mereka tinggal?" Sang kakek di landa penasaran.     

"Maaf sejujurnya aku bahkan belum pernah bertanya, apalagi mengunjungi putriku," Lesmana tak tahu apa-apa tentang kehidupan putrinya, terutama setelah putrinya memutuskan pindah dari rooftop surat Ajaib. Bagi Lesmana putri bungsunya lebih dari dewasa dia berhak menentukan pilihan.     

***     

Pagi telah menyapa dua anak manusia yang kian erat pelukannya. Pelukan kali ini bukan dari si lelaki, melainkan sebaliknya, yang memeluk ialah perempuannya.     

Mereka yang berpelukan erat bahkan tak mendengar kegaduhan di lantai bawah ketika Herry di bekuk bodyguard tetua Wiryo sesaat setelah ajudan ini menyadari sesuatu dan dia berusaha berlari memberi tahu tuannya.     

Kamar VVIP yang lebih mirip apartemen mewah dari pada kamar hotel sebab fasilitasnya bukan main-main tersebut secara tiba-tiba pintunya terbuka.     

Herry yang saat ini sedang mendampingi seorang asisten chief menyiapkan sarapan, terkejutnya bukan main.     

Tatkala Tempat yang tak bisa di buka dari luar kecuali bagi yang memiliki kode rahasianya menyajikan kehadiran kumpulan manusia yang tak di inginkan kehadirannya. Setahu Herry hanya tuannya dan dirinya termasuk pelayan khusus yang memiliki akses dengan card mereka.     

Anehnya pintu terbuka dengan mudahnya, mengantarkan suara langkah kaki serempak termasuk yang paling ngeri ialah tertangkap kedatangan tetua Wiryo. Lelaki yang di tuakan tersebut muncul dengan kursi roda otomatisnya dari balik punggung para bodyguard.     

Herry bukan lawan mereka ketika mereka berkumpul bersama.     

Dia di buat berlutut di hadapan tetua Wiryo.     

"Di mana tuanmu?!" Suara menyergap membuat dada Herry berdegup kencang. Ajudan ini berusaha tenang dan berdiam.     

"percuma kau melindunginya," kata Wiryo menatap asisten chief membuat sarapan.     

"bawa aku naik ke kamar utama," kata Wiryo menggerakkan kursi otomatisnya. Sungguh mudah sekali tertebak, Herry bergerak-gerak ingin terlepas dan hal itu kian meyakinkan Wiryo bahwa cucunya berada di tempat ini.     

Ketika roda-roda kursi Wiryo menyentuh lantai dua, tetua mengusung perintah membuka kamar utama.     

Kursi hitam legam tersebut bergerak secara otomatis. Dia mendapati cucunya terbungkus selimut di peluk seorang perempuan yang wajahnya masih tersamarkan.     

"Bangun!!" gertaknya.     

Tak ada jawaban Hendra malah menggeliat meringkuk mencari-cari tubuh perempuan untuk di pungut kehangatannya.     

"Dasar berandal!!" gertakan ini diiringi hempasan celana panjang cucunya yang di pungut Wiryo dari atas ranjang. Sungguh pemandangan yang mencemari mata, ketika lelaki tua ini mendapati celana yang fungsinya di dalam tercecer berserakan baik milik lelaki maupun perempuan, bukan hanya celana baju robek juga ada.     

Wiryo memejamkan mata, mengayunkan lebih kasar celana panjang cucunya, dan lelaki bermata biru mengerjap-ngerjap, membuka mata... ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.