Ciuman Pertama Aruna

III-65. Ditampar



III-65. Ditampar

1"Siapa lampir??" Susi penasaran.       1

"Nona Nana -lah," jawab Tika santai.      

"APA???" serentak Aruna dan Susi syok.      

"Apa kau gila?! Kembalikan!" Gertak Susi pada Tika.      

"Nggak! Nggak mau!" Tika berusaha menutupi hasil curiannya di belakang punggung.      

"Yang seperti gini nggak bagus Tika, kalau sampai ketahuan bagaimana?" Aruna mengerutkan dahinya.      

"Saya rias dulu nona Aruna, setelah itu aku janji akan ku kembalikan," Aruna tidak bergeming mendengar permintaan Tika, "Ayolah nona, aku sudah sejauh ini mencari make up."      

.     

Ketiga perempuan tersebut akhirnya setuju mengembalikan makeup, Aruna bahkan ikut-ikutan berjaga dari kejauhan membantu Tika dan Susi yang sedang beraksi, kembali memasuki kamar Nana.      

Telepon berdering untuk Tika, ketika Aruna menemukan Nana berjalan ke Arahnya. "Kak Nana mau kemana,"      

"Apa kita Akrab?" Balas Nana.      

-Sial,- umpat Aruna dalam hati.     

"Aku hanya ingin tahu di mana suamiku meeting," mendengar ini langkah Anna terhenti, dia yang bicara mendapat tatapan aneh dari Anna.      

"Suka sekali kamu mengatakan kata 'suami' apa kamu tidak punya panggilan lain buat Hendra?" Kalimat tanya menyebalkan versi Nana ditangkap menyenangkan oleh Aruna.      

"Ada. Mau tahu..??. kalau malam hari aku memanggilnya 'PUSS'," ucapan ini diterbitkan dengan senyuman lebar di bibir Aruna, kian lebar setelah tahu kedua asistennya berhasil keluar dari kamar nana, "mau tahu artinya,"      

Nana menggeleng, perempuan ini mengerti dia akan di ejek, dan memutuskan untuk melangkah pergi.      

"Pernah dengar, Pria Usil Suka Susu hehe.. nah, itu panggilanku buat Hendra, - ketika malam hari," mata Aruna menyipit, perempuan tersebut sedang mengurai geligik tawanya sendiri.      

Setelah Nana pergi, istri Mahendra didatangi dua asistennya. Tika menatap nonanya dengan tatapan berbangga, "Apa karena anda hamil, aku merasa anda sedikit berbeda,"  Tika mengenal Aruna yang dulu, nonanya bahkan tak berkenan bicara banyak dengan dirinya, dia gadis murung yang jarang tersenyum.      

"Entah-lah," jawab sekadar Aruna.      

***     

[Ruang kerja di Rumah Keluarga Diningrat]     

"Ada apa kak Gibran memanggilku," tanya Syakila mengikuti perintah Gibran untuk duduk di hadapannya.      

"Jangan lagi datang ke rumah ini, kalau niatmu sekedar menemui Gesang. Lakukan apapun terserah, di luar sana¡" ujar Gibran.      

"Kenapa?"      

"Masih tanya kenapa?? Kau tidak ingat dengan status kita," tatapan Gibran yang amat jarang berkenan bertemu muka dengan syakila terpaksa menatap sang gadis.      

"Maksudku," dia bicara sangat lirih, "kenapa kakak tidak memperingatkan Gesang, kenapa malah aku yang kak Gibran panggil," keluh Syakila.      

"Karena kamu yang terus menerus mencintainya," Kalimat berikut membekukan seorang gadis.      

"Begitu ya.." lelah syakila.      

"Gesang sudah berusaha pergi darimu, jelas sekali dia berusaha keras membuat keadaan masuk akal dengan menghilang sejenak, dan kau?!" Omelan Gibran sudah mirip kakak sedang memarahi adiknya.      

"Aku masih menyukainya," Syakila melanjutkan kalimat berikutnya dan keduanya terperangkap dalam kegetiran.      

"Baik! Mulai sekarang aku tidak akan  datang kerumah ini dan pura-pura menemui kak Gibran," kata Syakila mantap lekat Gibran, berniat untuk bangkit dari kursinya.      

"Kamu belum memberitahu Gesang tanggal pernikahan kita sudah disepakati kedua keluarga?" syakila menggelengkan kepalanya, ada hembusan lelah yang terbit dari kegelisahan Gibran.      

"Beritahu secepatnya atau dia kian kecewa jika tahu hal ini secara mendadak," Gibran membuat gadis yang awalnya seakan berdiri kembali duduk pasrah.     

"Aku takut Gesang meninggalkanku lagi,"      

"Kenapa kamu jadi perempuan model begini!!" untuk pertama kalinya Gibran bernada keras pada syakila.      

"Kenapa nggak kakak saja yang memberitahukannya!!" syakila sama kerasnya, "Tak bisa, benar -kan! Karena kakak nggak bisa menepati janji,"      

"Lalu bagaimana denganmu? Kau juga tak mampu melawan keluargamu, sama saja bukan?!," sergah Gibran.      

"Kita berdua berbeda dengan kakak, aku hanya anak pungut dari perempuan simpanan. Aku sudah lakukan segala cara, tapi apalah dayaku, ayahku saja tidak peduli denganku," suara syakila dari rendah perlahan kian meninggi.      

"Kenapa kamu hobi mengumbar kelemahanmu," Gibran terdengar tidak suka.      

"Lalu aku harus bagaimana?" Syakila pasrah dan lelah.      

"Menjauhkan dari Gesang," pinta Gibran.      

"Aku nggak mau! Sudah ku bilang aku nggak akan bisa!! Kenapa tidak kakak saja yang mengatakan pada papa Rio kalau kakak menginginkan wanita lain atau semacamnya!" mereka berdua sedang berdebat sengit. Di sisi lain, pada balik pintu, alias di balkon, seorang pemuda mulai mendengar keributan walau pun sekadar samar-samar. Gesang kini kesulitan berkonsentrasi pada game online yang ia mainkan.      

"Aku tidak bisa melawan perintah ketua dewan, walaupun dia papaku, kau tahu itu, yang paling benar untuk saat ini,  kau seharus memaksa dirimu menerima kenyataan, jauhi Gesang!" Gertak Gibran  tertangkap kian emosional. Gibran lelaki tenang, jarang menunjukkan kemarahan. Dia lebih mirip pria bertanggung jawab sekaligus tertekan. Menutup dirinya rapat-rapat tanpa celah.      

"Sudah ku bilang aku tidak bisa!" Mata gadis itu berkaca-kaca.      

"Kenapa kau tak membiarkanku mati saja! Kenapa kau selalu menyelamatkan ku!!" Suara frustasi lagi-lagi di kumandangkan Syakila.      

"PLAK!!" Dan pria di hadapannya mendaratkan tamparan, siapapun tidak suka dengan ujaran tentang bunuh diri termasuk Gibran. Ini hal tersebut sangat mengejutkan, bukan hanya Syakila yang terkejut sambil masih memegangi pipi merahnya.      

Sang pemuda yang teridentifikasi sebagai adik Gibran turut berdiri terdiam di balik keributan tersebut, ia juga tengah tertegun, "apa yang terjadi sampai kakak menamparmu?" anehnya Syakila yang disudutkan dengan pertanyaan oleh Gesang, bukan kepada sang kakak yang jelas-jelas menghadiahkan tamparan untuk kekasihnya.      

Syakila yang kecewa berdiri dan berlari, dia keluar sambil menyembunyi kan tangisnya.      

"Tanggal pernikahan kita sudah disepakati oleh ayah, dan Syakila tak mau kau tahu," Gibran menghembuskan nafas sambil kembali duduk.      

"Akhirnya, kamu tidak bisa memenuhi janjimu," Gesang menatap kakaknya.      

"Siapa yang bisa melawan Ayah," pasrah Gibran.      

"Kakak hanya tidak pernah melawannya, atau jangan-jangan Kakak sengaja," desakan yang terkesan biasa, akan tetapi sebenarnya saling menghujam keduanya.      

"Maksudmu?" tanya Gibran, kembali menampilkan geram.     

"Ah' semoga dugaanku salah, semoga kamu tidak mengharapkan syakila," tatapan Gesang berpindah ke arah pintu keluar.      

"Kami sudah memikirkan sebuah rencana, kami berniat pergi dari negara ini, karena aku baik, kuberi tahu kan kepadamu," ungkap Gesang sebelum akhirnya meninggal Gibran.      

Seorang kakak yang ditinggalkan sendirian di dalam ruang kerjanya memutuskan membuat panggilan, [buntuti syakila dan Gesang, pastikan mereka aman]     

Ada sesuatu yang tidak diketahui Gesang dan Syakilah bahwa ketua dewan mencium kedekatan mereka.      

***     

Perempuan dengan make up sempurna dan bau badan khasnya tengah berdiri di depan cermin. Dia bergerak berputar beberapa kali.      

Dress selutut melengkapi paras manisnya, dress yang merupakan hadiah dari sang mertua, dulu ia sembunyikan pada bilik berbeda sebab Hendra tidak suka melihat dres mommy, sehingga berhasil lolos, alias tak turut hilang.      

"Nona, sempurna," dukungan Tika mendorong rona merah pada pipi Aruna, tanda perempuan tersebut berbunga-bunga.      

Sambil menguatkan keyakinan, Aruna memberanikan diri memasuki ruang meeting suaminya, ruang meeting yang sontak membeku setelah mendapati orang asing menyusup di antara mereka.      

"Em.. aku cuma mau pamitan pada suamiku, maaf kalau mengganggu," mata-mata awas menatap Aruna.      

Hendra berdiri dari duduknya, perlahan mendekat sambil setengah memeluk. "Kalian pasti jarang bertemu, ini istriku, Aruna," Hendra memperkenalkan diri dengan mengusap rambut Aruna.      

"Lain kali ketuk pintunya, atau menelponku lebih dahulu," mata biru memperingatkan.      

"Aku cuma mau pamit berangkat ke rumah Ayah,"      

"Ya, aku tahu," Hendra memaksakan senyumannya, "lain kali temui aku sesuai instruksi,"      

"Ya," kata Aruna yang memutuskan keluar begitu saja. Mengusung langkah kecewa sebab kedatangannya di anggap salah. Ia mendapatkan respon yang tak sesuai ekspektasinya.      

Sang suami membuntuti hingga keluar dari ruang meeting bahkan menuju pintu keluar, "sayang sebentar, kau belum memberiku kecupan," Tangan Hendra berhasil menangkap telapak tangan Aruna.      

"Sibuk saja terus, sama seperti dulu, tidak ada waktu untukku," Aruna menarik tangannya, berjalan kedepan menuju tempat berdirinya Herry dan Roland yang menyambutnya, membukakan pintumobil.      

.     

.     

Lama Hendra mendekam di ruang meeting, nyatanya kian tak jenak. Apa lagi untuk berkonsentrasi, sama sekali tidak ada sisa selain mengingat ungkapan istrinya.      

"Ketika kelak aku mendapatkan kesempatan kedua, akan kuberikan segalanya termasuk waktu yang lebih banyak pada istriku," Hendra teringat ucapannya sendiri, dia seakan ditampar detik itu juga ... ... ...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.